Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kepedulian seorang teman! Darius pergi?!
Malam itu, dalam gedung kantor yang tampak sunyi, Samuel terbaring dalam kondisi lemah di sudut ruangan. Lara dengan cemas menempelkan kain basah di dahinya, berusaha menurunkan demam yang tak kunjung reda. Scrappy menggonggong pelan, seolah memahami kondisi kritis majikannya. Samuel merintih, suaranya nyaris seperti bisikan, menunjukkan betapa lemahnya ia kini. Darius yang berdiri di sisi mereka menatap situasi itu dengan rasa bersalah dan kecemasan.
"Kita butuh obat untuk menghentikan infeksinya," gumam Lara, wajahnya pucat di bawah cahaya redup.
Darius mengepalkan tangan, tekadnya semakin kuat. Ia menatap Lara dan berkata dengan nada tegas, "Aku akan cari obat. Kau tetap di sini dan jagalah dia. Aku janji, aku akan kembali dengan yang kita butuhkan."
Tanpa menunggu jawaban, Darius bangkit, melirik pintu gedung dan kemudian pada Samuel sekali lagi sebelum melangkah pergi. Lara menatapnya dengan penuh harap dan khawatir, menyadari betapa berisikonya tindakan itu.
Darius melangkah keluar dari gedung, matanya memindai setiap sudut jalan. Di luar, udara dingin dan berkabut menambah suasana yang mencekam. Gedung-gedung yang runtuh dan jalan yang kosong membuat kota ini terasa seperti perangkap sunyi. Meski hati kecilnya diliputi keraguan, Darius menyingkirkan rasa takut, bertekad mencari obat untuk menyelamatkan Samuel.
Ia berjalan mengendap-endap di sepanjang tembok yang mengelilingi area itu. Hanya beberapa bangunan di sekitar yang tampak memiliki potensi untuk menyimpan persediaan medis. Dengan cepat, Darius mengingat gedung medis kecil di persimpangan sebelumnya; di sanalah ia berharap dapat menemukan yang mereka butuhkan.
Namun, baru beberapa langkah mendekati gedung itu, Darius tiba-tiba mendengar geraman samar. Dia berhenti, tubuhnya kaku sejenak saat melihat segerombolan zombie berkeliaran di dekat gedung yang ditujunya. Matanya memperhatikan setiap pergerakan mereka, menghitung jumlahnya dengan cepat — lima, enam… mungkin lebih. Wajahnya mengeras, tahu bahwa satu gerakan yang salah bisa membahayakan nyawanya.
Dengan langkah yang penuh kehati-hatian, Darius menunduk dan menyelinap di antara reruntuhan, mengambil jalur melingkar agar tidak berada dalam jangkauan pandangan para zombie. Napasnya tertahan, ia bergerak tanpa suara, berusaha menghindari segala yang bisa menimbulkan suara.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Darius akhirnya berhasil mendekati pintu samping gedung medis itu. Ia mengintip ke dalam, memastikan ruangan sepi sebelum memasukinya dengan hati-hati. Di dalam gedung, ruangan-ruangan kecil berjejer dengan rak-rak obat yang kosong dan sebagian besar hancur. Namun, tekadnya tak goyah.
Setelah mencari dengan cermat, akhirnya ia menemukan beberapa obat yang masih tersisa — antibiotik, antiseptik, dan beberapa perban. Darius tersenyum tipis dalam kesunyian, merasa sedikit lega. Tapi tugasnya belum selesai. Ia teringat kondisi Lara dan Samuel yang membutuhkan makanan, membuatnya memutuskan untuk memeriksa ruangan lainnya.
Dengan cermat, Darius memasuki dapur kecil di gedung itu dan menemukan beberapa kaleng makanan yang masih utuh. Meski tak banyak, namun cukup untuk bertahan dalam beberapa hari ke depan. Matanya berkilat penuh kemenangan, merasa bahwa upayanya tak sia-sia.
Namun, di saat itu pula, ia mendengar suara langkah berat di lorong di belakangnya. Darius segera bersembunyi di balik lemari, jantungnya berdetak cepat. Satu zombie memasuki ruangan, terhuyung-huyung dengan tubuh yang membusuk. Darius menahan napas, menunggu saat yang tepat untuk bergerak. Ketika makhluk itu menjauh, Darius menyelinap keluar ruangan dan kembali menuju jalan keluar.
Dengan hati-hati, Darius mengendap keluar dari ruangan, membawa tas berisi obat-obatan dan kaleng makanan yang berhasil ia temukan. Namun, sifat cerobohnya yang sudah lama ia coba kendalikan muncul begitu saja. Tanpa sengaja, ia menginjak pecahan kaca yang berserakan di lantai. Rasa sakit menyengat langsung menjalari telapak kakinya ketika kaca tersebut menembus sol sepatunya dan menusuk kulitnya.
Darius terjatuh, terjerembab di lantai dengan kesakitan. Tas di tangannya terlepas, dan dalam kejatuhannya, ia tak sengaja menabrak lemari besi yang berada di belakangnya. Lemari itu mengeluarkan bunyi nyaring yang menggema di seluruh ruangan, memecah keheningan yang mencekam. Wajahnya berubah pucat seketika, menyadari bahwa bunyi tersebut pasti telah menarik perhatian.
Tidak butuh waktu lama hingga geraman zombie terdengar semakin mendekat. Darius bisa mendengar langkah-langkah berat mereka menuju arah suara. Dengan napas tertahan, ia memaksa dirinya berdiri, mengabaikan rasa sakit di kakinya. Saat matanya melihat keluar jendela, ia melihat sebuah toren air besar di halaman samping gedung yang terhubung oleh jalan setapak.
Sebuah ide muncul di benaknya. Dengan terburu-buru, Darius mengambil selembar kain dari saku celananya, mencelupkannya ke dalam botol alkohol antiseptik yang ia temukan sebelumnya. Dengan tangan gemetar, ia menyalakan ujung kain dengan korek yang ia temukan di salah satu laci ruang medis. Bom molotov sederhana kini berada di genggamannya.
Darius merasakan adrenalin meluap saat ia mendekat ke jendela, menunggu waktu yang tepat. Zombie-zombie mulai memasuki ruangan, bergerak dengan tertatih namun jelas mengincar dirinya. Saat salah satu dari mereka hampir mendekat ke arahnya, Darius melemparkan bom molotov tersebut ke arah toren air di luar.
Botol itu melayang di udara, menabrak sisi toren dengan sempurna. Dalam sekejap, ledakan api menyala, menciptakan suara berderak disusul api yang membesar di sekitar toren. Panas menyengat terasa dari jarak jauh, dan tak lama kemudian, dengan suara yang memekakkan telinga, toren itu mulai terguling dan jatuh ke tanah, menghantam keras dengan ledakan yang menggelegar.
Zombie-zombie di sekitarnya langsung bereaksi, beralih ke arah ledakan tersebut, tertarik oleh suara dan cahaya api yang menyala-nyala. Darius tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan rasa sakit yang semakin menusuk di telapak kakinya, ia menahan rasa nyeri dan berlari menjauh, memanfaatkan kebingungan para zombie untuk meloloskan diri.
Ia terus berlari sejauh yang ia mampu, napasnya terengah dan kakinya hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Namun, bayangan Samuel dan Lara yang menunggu di gedung kantor memberi Darius kekuatan untuk terus berjuang. Saat akhirnya ia tiba di pintu masuk gedung, rasa lega meluap dalam dadanya.
Darius melangkah masuk, bertemu tatapan Lara yang cemas dan Scrappy yang menggonggong pelan, seolah menyambutnya dengan penuh harap. Sambil menahan rasa sakit dan kepenatan, Darius menatap Samuel yang terbaring lemah, lalu mengeluarkan botol obat yang ia bawa.
"Dengan ini… dia punya kesempatan," bisiknya lirih, menyadari bahwa ia hampir saja gagal, namun pengorbanannya tidak sia-sia.
***************
Dua hari berlalu sejak Darius kembali dengan obat-obatan dan makanan. Lara, yang diam-diam merawat Samuel, akhirnya menunjukkan rasa lega ketika melihat Samuel mulai menunjukkan tanda-tanda pulih. Warna wajahnya yang sebelumnya pucat kini mulai kembali, dan napasnya yang tadinya tersengal mulai terdengar lebih stabil. Namun, meskipun kondisinya membaik, Samuel belum sepenuhnya pulih dan masih belum mampu untuk berdiri.
Pagi itu, Darius duduk di lantai tak jauh dari Samuel, memegangi kakinya yang masih terasa nyeri akibat luka dari pecahan kaca. Dia melihat ke arah Samuel yang tengah terbaring di atas kasur darurat yang mereka buat dari kain-kain bekas yang mereka temukan di dalam gedung. Mata Samuel perlahan terbuka, dan ia menoleh ke arah Darius yang sedang mengikatkan perban di kakinya.
“Darius… terima kasih,” suara Samuel terdengar lemah namun tulus, matanya menyiratkan penghargaan yang mendalam. Ia tahu pengorbanan apa yang telah dilakukan Darius untuk menyelamatkannya.
Darius menatap Samuel, terlihat agak canggung menerima ucapan terima kasih tersebut. “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Kau yang mengajariku bahwa bertahan hidup bukan hanya soal keberanian, tapi juga soal memilih siapa yang layak diperjuangkan.”
Samuel tersenyum lemah mendengar kata-kata itu, ia sadar bahwa kini Darius benar-benar telah berubah. Keputusan Darius untuk mencari obat dan menghadapi bahaya telah mengukir rasa hormat dan tanggung jawab yang baru dalam dirinya. Mungkin, setelah semua yang mereka lalui, Darius akhirnya menerima bahwa Samuel memang sosok yang pantas untuk diikuti.
Saat siang semakin mendekat, Samuel mencoba untuk duduk tegak, meskipun masih kesulitan. Lara mendekatinya, membantu menopang tubuhnya agar bisa duduk lebih nyaman. Scrappy, yang tak pernah jauh dari Samuel, duduk di sampingnya dengan tatapan penuh setia. Anjing itu sesekali menjilati tangan Samuel, seolah memberi semangat padanya.
Lara mengusap pundak Samuel, mencoba memberinya semangat. “Kita hanya perlu menunggu beberapa hari lagi sampai kamu bisa berdiri dan berjalan, Sam. Setelah itu, kita bisa melanjutkan perjalanan.”
Darius yang mendengar ucapan Lara menyetujui dalam hati. “Benar,” ujarnya, “kita sudah sangat dekat dengan pos perlindungan. Hanya beberapa blok lagi, dan kita akan berada di tempat yang lebih aman.”
Samuel mengangguk pelan. Meskipun tubuhnya masih lemah, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala dalam dirinya. Dengan bantuan Lara dan Darius, ia perlahan-lahan mencoba melatih tubuhnya untuk bergerak sedikit demi sedikit. Meskipun pergerakan sederhana seperti mengangkat tangan atau menggoyangkan kaki masih terasa menyakitkan, ia tahu bahwa pemulihan membutuhkan proses yang lambat dan konsisten.
Di saat-saat seperti ini, mereka semua saling mengandalkan satu sama lain. Darius dengan peran barunya sebagai pelindung yang tangguh namun berhati-hati, Lara yang selalu setia merawat dan memberi dukungan, serta Scrappy yang menjadi penjaga setia yang selalu siap berada di sisi mereka.
Selama beberapa hari ke depan, Darius memastikan bahwa mereka memiliki persediaan makanan yang cukup, dan ia terus mengawasi keadaan sekitar gedung agar mereka tetap aman. Meskipun tidak ada lagi zombie yang mendekati gedung tersebut, mereka tetap waspada, berjaga-jaga agar tak ada bahaya lain yang mengintai. Setiap malam, mereka bergantian berjaga, memastikan tidak ada yang bisa menerobos pertahanan mereka.
Saat kondisi Samuel terus membaik, harapan mulai tumbuh di antara mereka. Kini, perjalanan menuju pos perlindungan sudah semakin dekat, dan dengan kekuatan serta persatuan mereka, mereka percaya bahwa mereka bisa melalui sisa perjalanan ini bersama-sama, bagaimanapun rintangan yang harus mereka hadapi di depan sana.