Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Malam yang Tak Terlupakan
Pesta perayaan di desa itu berlangsung semarak, namun Elarya dan Kael, meskipun berada di tengah keramaian, hanya melihat satu sama lain. Di antara tawa dan percakapan yang mengisi udara, keduanya merasa seperti dunia ini hanya milik mereka berdua. Malam itu adalah malam mereka—malam pertama mereka sebagai pasangan yang sah, dan mereka memutuskan untuk merayakannya dengan cara mereka sendiri.
Angin malam yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga yang masih segar dari taman sekitar desa. Lampu-lampu gantung yang berkelap-kelip memberikan cahaya temaram yang sempurna, menciptakan suasana yang magis, hampir seperti sebuah mimpi. Elarya dan Kael berjalan perlahan, meninggalkan kerumunan untuk mencari tempat yang lebih tenang di sisi desa. Hati mereka berdegup dengan lembut, seirama, seiring langkah kaki yang ringan namun penuh arti.
"Aku tidak pernah membayangkan malam ini akan datang, Kael," kata Elarya dengan suara lembut, menoleh ke arah Kael yang berjalan di sampingnya. Matanya yang bersinar seperti bintang di malam hari bertemu dengan mata Kael, dan senyum tipis mengembang di bibirnya. "Seperti ada sesuatu yang luar biasa yang terjadi. Aku merasa seperti aku hidup dalam mimpi."
Kael tersenyum dan meraih tangan Elarya, menggenggamnya dengan penuh kehangatan. "Ini bukan mimpi, Elarya. Ini kenyataan. Dan ini adalah kenyataan yang aku pilih. Aku bersyukur setiap hari bisa bersamamu. Setiap langkah kita bersama, setiap momen yang kita lewati, aku merasa lebih hidup."
Mereka berhenti di tepi danau yang tenang, permukaan airnya memantulkan cahaya bulan yang perlahan naik tinggi di atas kepala mereka. Di tempat inilah mereka sering berbicara, berbagi cerita dan harapan. Kini, suasana itu terasa lebih intim, lebih mendalam—seperti alam semesta sedang merayakan kebersamaan mereka.
Elarya berdiri di dekat air, merasakan hembusan angin malam yang menyentuh kulitnya. Ia menatap Kael dengan penuh perasaan. "Kau tahu, Kael, aku dulu merasa seperti aku hidup dalam bayangan, seperti aku tak pernah sepenuhnya menjadi diriku sendiri. Tapi sekarang... saat aku bersamamu, aku merasa seperti aku bisa menjadi diri yang sebenarnya. Aku bisa mencintai tanpa takut."
Kael mendekat, menatap wajah Elarya dengan intens. "Aku merasa hal yang sama. Sejak kita bertemu, aku tahu hidupku tak akan pernah sama. Kita berdua bukan hanya berbagi perasaan, tetapi kita saling menguatkan. Kamu membuat aku menjadi pria yang lebih baik."
Tangan Kael kini memegang pipi Elarya dengan lembut, dan tanpa kata-kata lagi, ia mendekatkan wajahnya. Dengan lembut, bibir Kael bertemu dengan bibir Elarya dalam ciuman yang penuh kehangatan dan cinta. Ciuman itu tidak terburu-buru, tidak seperti ciuman biasa. Itu adalah ciuman yang penuh arti, penuh janji dan pengharapan untuk masa depan. Ciuman itu menyatu dengan angin malam, yang seolah-olah memperpanjang detik-detik kebahagiaan mereka.
Elarya merasakan dadanya berdebar lebih keras, seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk mereka berdua. Ketika mereka melepaskan ciuman itu, Elarya bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, dan meskipun terengah-engah, ia merasa sangat damai. "Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya," bisiknya. "Aku merasa seperti aku adalah diriku yang sebenarnya."
Kael tersenyum dengan mata yang penuh cinta, matanya penuh dengan janji. "Dan aku akan selalu membuatmu merasa seperti itu, Elarya. Selama aku hidup, aku akan selalu ada di sini, melindungimu, mencintaimu, dan membuatmu merasa bahwa kamu adalah bagian dari dunia ini."
Elarya menyandarkan kepalanya di dada Kael, merasakan kehangatan tubuhnya yang memberi rasa aman. Angin malam berhembus lebih pelan, seolah-olah dunia ikut merayakan cinta mereka. Mereka berdiri dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara alam yang lembut, dan satu-satunya yang mereka butuhkan saat itu adalah satu sama lain.
Setelah beberapa saat, Kael menarik Elarya kembali ke pelukannya. "Aku ingin kamu tahu, Elarya," katanya pelan, suaranya bergetar penuh emosi. "Malam ini adalah malam yang akan aku ingat sepanjang hidupku. Bukan karena kita merayakannya dengan pesta, tetapi karena aku tahu bahwa aku tidak akan pernah sendirian lagi. Kamu adalah rumahku."
Elarya menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Dan kamu adalah segalanya bagiku, Kael. Aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, tapi aku tahu satu hal—aku ingin selalu bersamamu, menjalani kehidupan ini bersamamu."
Kael menatap Elarya dengan penuh perhatian, lalu mengusap pipinya dengan lembut. "Kamu tahu, kita sudah melalui begitu banyak hal. Tapi kita masih ada di sini, bersama. Itu artinya lebih dari segalanya. Aku akan selalu berjuang untuk kita."
Mereka berdua kembali duduk di tepi danau, membiarkan ketenangan malam itu menyelimuti mereka. Sesekali, mereka berbicara tentang masa depan mereka, tentang harapan dan impian yang ingin mereka capai bersama. Namun, tak ada kata yang lebih penting selain "selalu," yang terucap dari bibir mereka, mengikat mereka lebih dalam dalam janji yang tak akan terputus.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang sempurna, di tepi danau yang tenang, mereka merasakan cinta yang lebih dalam dari sebelumnya. Cinta yang sudah teruji oleh waktu, oleh perjuangan, dan kini, oleh janji yang terucap. Tak ada yang lebih indah dari saat-saat seperti itu—momen yang begitu sempurna, seolah tak ada yang bisa menghalangi mereka untuk bersama.
Malam itu, meskipun dunia tampak begitu luas, Elarya dan Kael merasa bahwa mereka adalah dua bintang yang bersinar terang, tak terpisahkan, dan selalu bersama, melangkah ke masa depan yang penuh cinta.
Malam yang penuh dengan keindahan dan cinta tiba-tiba terasa berubah saat angin malam yang semula menenangkan kini berhembus lebih kencang. Gelombang danau bergolak, seolah menggambarkan perubahan yang mendalam. Elarya dan Kael yang semula terlarut dalam kebahagiaan, kini merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
"Ada sesuatu yang tidak beres," Elarya berbisik, merasakan ada kekuatan yang mengganggu kedamaian mereka. Ia menoleh, matanya menatap ke sekeliling dengan waspada. Keindahan malam yang semula memukau kini terasa semakin suram. Ada semacam bayangan yang bergerak di antara pepohonan, terlihat samar namun nyata.
Kael merasakan perubahan itu dalam diam. Ia tidak berbicara, tetapi tangan kanannya sudah siaga, menggenggam pedang yang masih terselip di pinggangnya. “Elarya, tetap dekat denganku,” katanya, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. “Ada sesuatu yang sedang mengawasi kita.”
Elarya menelan ludah, merasakan ketegangan itu merayap dalam tubuhnya. "Apa itu?" tanyanya, suara terengah sedikit mengkhawatirkan.
Tiba-tiba, dari kegelapan di balik pohon, sebuah sosok tinggi muncul dengan langkah tenang. Sosok itu berbalut jubah hitam, wajahnya tertutup oleh penutup wajah yang hanya menyisakan mata yang berkilat tajam. Suara desisan halus terdengar seiring sosok itu mendekat, dan aura gelap yang mengelilinginya semakin terasa menekan.
Kael berdiri tegak di samping Elarya, posisinya melindungi. “Siapa kau?” Suaranya tegas, namun ada kesan tegang di dalamnya. Elarya bisa merasakan gemuruh perasaan Kael yang mulai bergejolak. Dia tahu, sesuatu yang besar sedang menanti mereka.
Sosok itu tersenyum tipis, namun senyuman itu tidak membawa rasa nyaman sedikit pun. "Kalian sudah melangkah terlalu jauh," kata sosok itu, suaranya dalam dan mengandung ancaman. "Elarya, kalian tidak akan pernah bisa melarikan diri dari takdirmu. Takdir yang sudah lama ditentukan. Tidak ada pelarian."
Elarya tertegun, hatinya berdebar kencang. "Siapa kau?" tanyanya dengan suara yang lebih tegas, meskipun dalam hatinya mulai tumbuh rasa takut yang tak bisa ditahan.
"Akulah yang menjaga keseimbangan dunia ini," jawab sosok itu, suaranya bergetar dengan kekuatan yang tak dapat dipahami. "Dan kalian, terutama kamu, Elarya, adalah ancaman bagi seluruh dunia. Cahayamu yang begitu kuat, bisa menghancurkan segalanya. Tak ada yang bisa menghindar dari takdir yang telah dipilih untukmu."
Kael merapatkan posisi, tangan menggenggam erat pedangnya. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya dengan nada serius. "Jika kau ingin bertarung, kami tidak akan mundur."
Sosok itu mengangkat tangannya, dan dalam sekejap, udara di sekitar mereka berubah tegang. "Aku tidak akan bertarung denganmu, Kael. Itu bukan pilihan yang bijak. Aku hanya ingin mengingatkanmu, dan Elarya. Bahwa cahaya yang kalian banggakan itu, adalah ancaman yang terlalu besar. Kalian tidak bisa terus mengabaikannya. Kami—kami yang lebih tua, lebih kuat, telah memperhatikan setiap langkah kalian."
Kael mengalihkan pandangannya kepada Elarya, yang kini tampak pucat. Cahaya yang selama ini menjadi kebanggaan Elarya ternyata juga menjadi kutukan yang tak bisa dihindari. Sementara Kael merasakan kekhawatiran yang mendalam, ia tahu betul bahwa ancaman yang ada di hadapan mereka bukanlah hal yang bisa dianggap remeh.
Elarya menggenggam tangan Kael dengan kuat. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya pelan, meskipun hatinya berdebar penuh kecemasan. "Jika mereka menginginkan aku begitu saja, bagaimana denganmu, Kael? Aku tidak bisa... aku tidak bisa kehilanganmu."
Kael menatapnya dengan intens, matanya penuh dengan keyakinan. "Kita akan melawan, Elarya. Tidak ada yang bisa memisahkan kita. Takdir kita adalah milik kita, dan tidak ada kekuatan yang akan menghalanginya."
Sosok itu tertawa pelan, namun tawanya terdengar kosong dan menakutkan. "Kalian pikir bisa melawan takdir? Tak ada yang lebih kuat dari itu, Elarya. Cahaya yang ada di dalam dirimu adalah kutukan bagi dunia ini. Dan aku, bersama mereka yang lebih kuat dariku, akan memastikan bahwa cahaya itu padam."
Elarya merasa kepalanya semakin pusing. Suara sosok itu begitu penuh dengan kebencian dan ancaman, tetapi dalam hati Elarya, ia merasa sesuatu yang lebih besar—perasaan bahwa meskipun ia mungkin telah menjadi bagian dari takdir yang lebih gelap, ia masih memiliki pilihan. Ada kekuatan di dalam dirinya yang tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikan hidupnya, bahkan takdir sekalipun.
Namun, sosok itu tidak membiarkan mereka berpikir lebih jauh. Dalam sekejap, ia melangkah maju, tubuhnya menyelimuti udara dengan kekuatan gelap yang membuat Elarya terhuyung mundur. “Jangan terlalu banyak berharap, Elarya. Semua ini sudah ditentukan.”
Kael, yang melihat Elarya terguncang, melangkah maju dengan penuh keberanian. "Kami akan memilih jalan kami sendiri!" teriaknya, menggenggam pedangnya lebih erat.
Sosok itu hanya tersenyum lebih lebar. "Jika kalian begitu ingin bertarung, maka kalian akan mengerti betapa kecilnya kalian di hadapan kekuatan kami."
Sebentar lagi, keadaan akan berubah. Elarya bisa merasakan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggu. Takdir mereka—takdir yang terikat dengan segel cahaya di dalam dirinya—akan segera diuji dengan cara yang belum pernah mereka bayangkan.
Dalam hatinya, Elarya tahu satu hal: malam ini bukan hanya tentang cinta, tetapi tentang keberanian untuk menghadapi kegelapan yang datang, apapun itu. Dan bersama Kael, ia siap untuk menghadapi apapun yang datang.
Angin malam yang semula lembut, kini berubah menjadi angin yang keras dan menderu, membuat dedaunan di sekitar danau beterbangan. Setiap pohon seakan bergetar, dan udara terasa semakin berat. Elarya berdiri dengan tubuh menegang, menyadari bahwa ancaman yang datang bukanlah sekadar kata-kata kosong. Sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak menuju mereka, sesuatu yang dapat menghancurkan dunia yang mereka kenal.
Sosok berjubah hitam itu bergerak lebih dekat, matanya yang memancarkan kekuatan gelap menatap mereka dengan penuh kebencian. Kael menarik Elarya ke belakangnya, menatap tajam pada sosok yang tak dikenal itu. "Kami tidak takut," kata Kael dengan suara yang serak, namun penuh keberanian.
Namun, tak ada jawaban selain tawa pelan dari sosok itu. Tawa yang dalam dan mengerikan, yang seolah-olah menghantam jantung mereka. "Kalian tidak akan bisa lari, tidak ada tempat yang aman," suara itu bergema, menembus ke dalam jiwa Elarya dan Kael, mengguncang keberanian mereka.
Tiba-tiba, dari balik pohon dan kegelapan yang mengelilingi mereka, muncul lebih banyak sosok. Mereka mengenakan jubah yang sama, wajah mereka tersembunyi dalam kegelapan. Seperti bayangan yang hidup, mereka bergerak dengan cepat, menyerang tanpa peringatan. Dalam hitungan detik, Elarya dan Kael dikelilingi oleh mereka, seakan terperangkap dalam jebakan yang tak bisa dihindari.
"Kael!" Elarya berteriak, merasa ketegangan itu semakin menghimpitnya. Ia merasa bahwa semuanya berubah begitu cepat, begitu kacau, dan tak ada yang bisa mereka lakukan untuk menghadapinya. Mereka terperangkap dalam gelombang kegelapan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Kael menggenggam pedangnya dengan lebih kuat, matanya membara. "Jangan takut, Elarya. Aku akan melindungimu. Kita akan keluar dari sini bersama."
Namun, suasana semakin kacau. Gelombang energi gelap yang dipancarkan oleh para sosok itu membuat udara terasa semakin panas, memuakkan. Elarya merasakan tubuhnya lemas, kekuatannya mulai terkuras. Cahaya yang selama ini ia miliki tampaknya tidak cukup untuk melawan gelapnya dunia ini. Setiap napas terasa berat, seolah ada kekuatan yang mencoba menariknya jauh dari Kael.
Sosok yang pertama kali muncul, yang tampaknya menjadi pemimpin dari kelompok itu, melangkah maju. "Cahaya yang ada pada dirimu, Elarya, akan menjadi milik kami. Kekuatanmu adalah ancaman yang terlalu besar, dan dunia ini tidak membutuhkan ancaman seperti itu," katanya dengan suara yang penuh kekuatan. "Aku akan memadamkan cahaya itu, dan kamu tidak akan bisa melawan."
Elarya merasa tubuhnya terhisap oleh kata-kata itu, seperti ada sesuatu yang menarik kekuatan hidupnya. Namun, sebelum ia bisa merasakan sepenuhnya, Kael sudah bergerak lebih cepat. Dengan satu gerakan, ia mengayunkan pedangnya ke arah sosok itu, memotong udara dengan kekuatan yang luar biasa.
Tapi sosok itu hanya tersenyum, dan dengan mudah menghindar dari serangan Kael. "Kau pikir kamu bisa menghentikan kami dengan pedang itu?" katanya, menertawakan usaha Kael.
Kael tidak gentar. Dengan semangat yang membara, ia terus bertarung, meskipun ia tahu bahwa musuh-musuh ini jauh lebih kuat dari yang pernah ia hadapi sebelumnya. "Aku akan melindungi Elarya dengan nyawaku," Kael berteriak, seraya bergerak lagi untuk menyerang.
Elarya merasakan ketegangan di dalam dirinya, namun ada sesuatu yang lebih kuat yang mulai bangkit dalam dirinya. Cahaya yang selama ini tersembunyi dalam dirinya, yang bahkan ia sendiri belum sepenuhnya mengerti, mulai pulih. Meskipun terombang-ambing dalam ketakutan dan keraguan, ia merasa bahwa ini adalah saat yang tepat. Takdirnya ada di hadapan matanya, dan ia tidak akan membiarkan kegelapan mengambil semuanya begitu saja.
Dengan suara gemetar, Elarya mengangkat tangannya, merasakan kekuatan dalam dirinya yang terhubung dengan alam sekitar. Cahaya itu menyala perlahan, memberi secercah harapan di tengah kegelapan yang mencekam. "Aku tidak akan menyerah," katanya dengan suara yang lebih tegas. "Aku akan melawan!"
Cahaya itu semakin kuat, bersinar seperti matahari yang terbit di tengah malam yang gelap. Ia tahu ini adalah kekuatan yang telah diturunkan padanya, segel cahaya yang seharusnya tidak pernah padam. Dan ketika ia merasakan aliran energi itu mengalir di dalam tubuhnya, ia tahu bahwa malam ini akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Namun, sosok pemimpin itu tidak tampak terpengaruh oleh cahaya yang mulai menyala di hadapan mereka. Sebaliknya, ia tersenyum lebih lebar, dan dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangannya. Sebuah gelombang energi gelap terpancar dari tubuhnya, menghantam cahaya Elarya, mengubah segalanya menjadi kacau.
Elarya merasa tubuhnya terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Cahaya yang ia ciptakan bergetar, nyaris padam. “Tidak...!” serunya, merasakan kekuatan yang begitu besar mencoba menekannya.
Kael yang melihat itu bergegas mendekat, melindungi Elarya dengan tubuhnya. "Kau tidak akan menang," Kael berteriak, menahan kekuatan gelap yang datang dengan sekuat tenaga.
Namun, sosok itu hanya menatap mereka dengan penuh kepuasan. "Kalian sudah jauh, jauh lebih dalam daripada yang kalian kira," ujarnya, dengan suara yang penuh ancaman. "Ini bukan hanya tentang kalian berdua, Elarya. Dunia ini akan terguncang, dan kalian tidak bisa menghentikan takdir yang telah ditentukan."
Dengan kekuatan yang semakin besar, kekacauan ini hanya semakin meluas. Gemuruh angin yang kencang, suara ledakan energi yang menggema, dan atmosfer yang terasa semakin tegang—mereka berada di ambang kehancuran. Dan dalam hati Elarya, meskipun ia merasa takut, ia juga merasakan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata—sesuatu yang memanggilnya untuk terus bertahan.
Sekarang, tak ada pilihan lain selain melawan. Melawan takdir. Melawan gelap. Dan yang terpenting, melawan ketakutan yang mencekam hati mereka.