Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman pertama?
Hari-hari mereka memang penuh tawa, tapi terkadang, seperti halnya dalam hubungan apapun, ada momen di mana ego masing-masing mencoba menguasai.
Pada suatu sore, setelah kuliah selesai, Vina dan Joko duduk di taman kampus, seperti biasa, dengan secangkir kopi di tangan mereka. Namun, kali ini suasana agak berbeda. Ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.
Vina yang biasanya lebih ceria, tampak agak murung. Joko yang biasa santai, kali ini lebih diam dan terlihat sedikit gelisah. Tentu saja, seperti biasa, Vina yang pertama kali merasa ada yang tidak beres.
"Jok, lo kenapa sih? Kok keliatan gak enak?" tanya Vina, sambil menatap Joko yang tampak sibuk dengan ponselnya, meskipun mereka duduk bersama.
Joko meletakkan ponselnya di meja, lalu menatap Vina dengan tatapan yang agak serius. "Gue lagi mikirin banyak hal, Vin. Tugas yang menumpuk, kuliah yang makin ribet, dan… ya, kadang gue mikir, hubungan kita ini bisa bertahan nggak sih, kalau gue terus-terusan kayak gini?"
Vina mengernyit, sedikit bingung. "Gue nggak ngerti, maksud lo? Hubungan kita kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu?"
Joko menarik napas panjang, merasa canggung untuk mengatakannya. "Lo kan anak Fisika, lo pasti mikir segala sesuatu lebih terstruktur, lebih jelas. Sedangkan gue, ya, kadang gue malah merasa kebingungan, nggak jelas. Gue nggak bisa kayak lo, yang udah punya arah jelas."
Vina terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Joko. "Joko, lo mikir apa sih? Hubungan kita nggak ada yang aneh. Gue nggak butuh lo jadi orang yang sempurna. Gue cinta lo karena lo Joko, bukan karena lo harus jadi kayak orang lain. Kita berdua sama-sama cari jalan kita, bukan cuma lo yang harus mikirin itu."
Tapi kali ini, ego Joko sedikit terluka. "Lo nggak ngerti, Vin. Kadang gue merasa kayak… lo lebih banyak punya pilihan daripada gue. Lo lebih pintar, lebih sukses, lebih tau jalan hidup lo. Sedangkan gue cuma bisa nyerahin hidup gue ke filsafat, yang nggak jelas."
Vina terdiam, sedikit terkejut dengan jawaban Joko. Joko memang sering bicara tentang filsafat, tapi kali ini, ada rasa putus asa yang mendalam di balik kata-katanya. Vina menarik napas panjang, menatap Joko dengan serius.
"Joko," kata Vina, suaranya lebih lembut, "gue ngerti kok, kadang lo ngerasa kayak gitu. Tapi jangan sampe lo ngerasa kurang cuma karena lo nggak punya visi yang sama kayak gue. Hidup itu kan bukan cuma soal punya tujuan yang jelas, kadang kita juga jalanin hidup ini karena kita mau, bukan karena harus."
Joko menatapnya, merasa ada kehangatan dalam kata-kata Vina. "Lo emang selalu bisa bikin gue merasa lebih tenang, Vin. Tapi kadang gue nggak bisa ngejaga hubungan kita, kalau gue terus-terusan kayak gini. Lo pasti butuh seseorang yang lebih dari sekedar filsafat."
Vina menggenggam tangan Joko dengan erat. "Joko, lo harus ngerti. Gue nggak butuh lo jadi orang yang punya segala jawaban. Gue butuh lo jadi orang yang bisa diajak ngobrol, yang bisa bikin gue merasa dihargai, dan yang nggak pernah ngeluh soal hal-hal kecil. Lo nggak harus sempurna, karena gue juga nggak sempurna."
Joko merasa ada perasaan hangat yang merayapi dadanya. Memang, kadang dia terlalu terbebani dengan ekspektasi-ekspektasi yang ia buat sendiri. Vina, di sisi lain, selalu bisa menenangkan dirinya tanpa banyak bicara.
"Vin, gue… gue nggak mau nyusahin lo," kata Joko, dengan suara pelan.
Vina tersenyum, sedikit tertawa. "Kok nyusahin? Lo gak pernah nyusahin gue, malah kadang gue yang lebih nyusahin lo."
Joko tertawa kecil. "Kayaknya gue lebih sering nyusahin lo sih."
"Yaudah, kalau gitu, gue yang akan terus nyusahin lo. Sampai lo nggak bisa ngelakuin hidup lo tanpa gue." Vina menjulurkan lidahnya, bercanda seperti biasa.
Joko tersenyum, merasa sedikit lebih lega. "Nggak bisa deh, gue udah terjebak sama lo."
Vina tertawa lagi, merangkul Joko. "Nah, gitu dong. Gue nggak butuh lo jadi orang sempurna. Gue cuma butuh lo tetep jadi Joko yang sering bingung tapi tetap lucu."
Hari itu, kampus terlihat lebih sepi dari biasanya. Kuliah sudah selesai, dan matahari mulai terbenam, memberikan cahaya kemerahan yang menerangi halaman kampus. Vina dan Joko berjalan berdua, menikmati udara sore yang segar. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang tak terucapkan, namun terasa menggelitik di dalam hati mereka.
Mereka berjalan perlahan, sesekali bercanda, namun tidak ada lagi tawa yang lepas seperti biasa. Ada ketegangan yang tipis di udara, antara mereka berdua. Joko merasa ada sesuatu yang tak biasa, dan begitu juga dengan Vina.
"Lo lagi mikirin apa, Jok?" tanya Vina, menggoda. "Kelihatan banget lo serius banget."
Joko memutar bola matanya, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaannya yang sedikit bingung. "Gue lagi mikir, ini udah sore, lo belum pulang, tuh, masih aja jalan bareng gue."
Vina tertawa kecil. "Kenapa, sih? Kalau lo capek, gue bisa pulang aja kok."
Joko memandangnya, ada sesuatu yang membuatnya sedikit gugup. "Enggak, enggak. Gue cuman mikir, lo... lo udah bikin gue jadi kayak orang aneh. Dari dulu gue nggak pernah mikirin hal-hal kayak gini, kayak... soal hubungan dan perasaan."
Vina berhenti sejenak, menatap Joko dengan serius. "Joko, kadang lo tuh bikin gue bingung. Di satu sisi, lo kayak ngelawan diri lo sendiri, di sisi lain lo nggak bisa nolak perasaan lo sendiri."
Joko menatap matanya, dan dalam sekejap itu, perasaan mereka terhubung begitu dalam. Ada sesuatu yang tak bisa mereka hindari lagi. Joko merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sebuah keinginan yang kuat muncul, meskipun dia masih ragu.
"Vin," bisiknya, dengan suara lebih rendah dari biasanya. "Gue nggak tahu kenapa, tapi lo... lo bikin gue merasa beda."
Vina tersenyum lembut, seolah dia sudah tahu apa yang akan terjadi. "Gue juga ngerasa kayak gitu, Jok. Tapi gue nggak mau lo mikir ini cuma soal... gue suka sama lo."
Joko menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Tapi... gue nggak bisa bohongin perasaan gue juga, Vin. Gue ngerasa ada yang beda, dan gue nggak bisa ngejelasin kenapa."
Vina menatapnya dengan tatapan lembut, sedikit menggoda. "Kadang, kita nggak perlu ngerti kenapa, Joko. Cuma perlu ngerasain aja."
Joko menundukkan kepalanya, mencoba mengatur perasaan yang semakin gelisah. Dia mendekatkan dirinya sedikit, lalu menatap mata Vina yang kini tampak penuh harap. Vina, dengan tatapan yang sama, sedikit menggigit bibir bawahnya, menunggu keputusan Joko.
Di saat itu, dunia seakan berhenti. Semua suara sekitar mereka lenyap. Mereka hanya ada berdua, dan perasaan itu semakin kuat.
"Vin," suara Joko serak, "lo yakin kita bisa jalanin ini?"
Vina mengangguk pelan, senyuman yang hangat terukir di bibirnya. "Gue yakin. Kalau lo yakin juga."
Joko menatap bibir Vina, dan perlahan, tanpa kata-kata lagi, dia mendekatkan wajahnya. Vina menutup matanya, dan Joko pun ikut menutup matanya.
Dan saat itu, bibir mereka bertemu. Ciuman pertama mereka terasa lambat, penuh rasa ingin tahu, dan lebih dari sekadar sentuhan fisik. Itu adalah ciuman yang mengandung segala rasa—keraguan, kegembiraan, harapan, dan perasaan yang telah lama terpendam.
Ciuman itu berlangsung beberapa detik, tapi rasanya seolah-olah waktu berhenti. Setelah itu, mereka saling melepaskan diri, dan hanya diam sejenak, memandang satu sama lain dengan mata yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Vina tersenyum lebar, dan Joko tampak sedikit kaku, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Wow," ujar Vina, suaranya bergetar sedikit. "Joko, itu... wow."
Joko tersenyum canggung, tapi senyum itu begitu tulus. "Gue nggak nyangka bisa kayak gini, Vin."
Vina menepuk-nepuk lengan Joko, tertawa pelan. "Lo emang nggak peka, tapi lo jadi pertama kali bikin gue merasa kayak gini."
Joko tertawa pelan, merasa lebih rileks setelah ciuman itu. "Yaudah, gue belajar terus deh, biar nggak terlalu bodoh soal perasaan."
Vina merangkulnya, meletakkan kepalanya di bahu Joko. "Kita berdua sama-sama belajar, Joko."
Mereka berjalan pulang bersama, kali ini dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Ciuman pertama itu mungkin baru permulaan dari perjalanan panjang mereka, namun satu hal yang pasti: perasaan mereka semakin kuat dan nyata.