Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Mama Tega
Kenapa Mama Tega?
Hari-hari berlalu dalam keheningan yang memuncak di rumah mereka. Nisa merasa semakin terasingkan, seperti dirinya bukan bagian dari keluarga ini lagi. Semua yang pernah terasa indah, yang dulu dipenuhi dengan tawa dan kebersamaan, kini berubah menjadi sekumpulan kenangan pahit yang menggerogoti hatinya. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menghantui pikirannya, membuatnya tak bisa tidur atau berfikir jernih: Kenapa Mama tega melakukan ini padaku?
Pagi itu, setelah beberapa hari menghindari percakapan dengan Maya dan Arman, Nisa memutuskan untuk menghadapi ibunya. Hatinya penuh amarah, kesedihan, dan kebingungan. Ia merasa tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan ini. Selama ini, ia selalu menganggap ibunya sebagai sosok yang penuh kasih, yang selalu memberikan dukungan tak terbatas. Tetapi kenyataan yang ia hadapi kini begitu menyakitkan.
Maya sedang duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya tampak lelah, dan meskipun ia berusaha untuk tersenyum, senyum itu tampak dipaksakan. Maya tahu apa yang akan datang—dan ia sudah bersiap untuk menanggung akibat dari tindakannya. Nisa berdiri di ambang pintu, mengamati ibunya dengan hati yang bergejolak.
"Mama," suara Nisa bergetar, tapi ia berusaha keras untuk tetap tenang. "Kenapa Mama tega? Kenapa Mama bisa melakukan ini padaku? Padahal, aku selalu mengandalkan Mama. Kita selalu bersama, Mama. Kenapa Mama harus melukai aku seperti ini?"
Maya menundukkan kepala, wajahnya penuh penyesalan. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang telah ia timbulkan pada putrinya. "Nisa..." Maya memulai dengan suara lembut. "Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti perasaanmu. Ini semua terjadi begitu cepat, aku tidak tahu bagaimana aku bisa terjebak seperti ini."
Nisa merasa hatinya semakin hancur mendengar penjelasan itu. "Begitu cepat? Mama bercanda apa? Mama bercinta dengan suami aku, Mama! Suami yang seharusnya jadi pendamping aku, bukan orang yang Mama dekati. Kenapa Mama tidak berbicara padaku? Kenapa Mama tidak memberitahuku kalau Mama merasa kesepian, merasa terluka? Aku selalu ada untuk Mama!" Suara Nisa semakin tinggi, penuh dengan air mata dan rasa sakit yang tak terbendung.
Maya terdiam, tak mampu menjawab. Ia merasa seperti dunia ini runtuh, dan semua yang ia lakukan tidak bisa diperbaiki. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Nisa. Aku sudah berusaha menjauh, tetapi perasaan itu muncul begitu saja. Aku tidak bisa mengontrolnya, aku terlalu egois," katanya dengan suara serak, hampir tidak terdengar.
Nisa merasa tubuhnya gemetar. "Mama... kenapa Mama tega? Kenapa Mama bisa tega menyakitiku seperti ini?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang begitu putus asa.
Maya akhirnya mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. "Nisa... Aku tahu aku salah. Aku tahu apa yang aku lakukan itu tidak bisa dimaafkan. Tapi, tolong jangan anggap aku ibu yang tidak mencintaimu. Aku tetap mencintaimu, meskipun aku telah berbuat salah."
Air mata Nisa semakin deras. "Aku... aku tidak tahu bagaimana cara memaafkan Mama," ujarnya dengan suara penuh keputusasaan. "Aku tidak tahu apakah kita masih bisa kembali seperti dulu. Semua kepercayaan yang aku berikan... hancur begitu saja."
Maya menangis tersedu-sedu. "Aku tidak tahu bagaimana memperbaiki semuanya, Nisa. Aku sangat menyesal. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, tapi aku tahu itu tidak mungkin."
Nisa terdiam, mencoba mencerna semuanya. Sakitnya terlalu dalam untuk bisa dijelaskan dengan kata-kata. Luka yang ditinggalkan oleh perbuatan Maya tidak akan mudah hilang. Ia ingin menangis sekeras-kerasnya, namun entah kenapa, ia merasa tidak ada gunanya lagi. Air mata itu tak akan mengembalikan semuanya.
"Mama, aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan Mama," kata Nisa akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak tahu apakah kita masih bisa memperbaiki hubungan ini. Semua yang aku percayai tentang keluarga kita, tentang Mama, kini terasa hampa."
Maya menatap Nisa dengan penuh penyesalan, tetapi ia tahu bahwa kata-kata permintaan maaf tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka itu. "Aku tahu, Nisa. Aku tahu kamu membutuhkan waktu. Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkanku. Aku hanya berharap, pada suatu saat nanti, kamu bisa melihat betapa menyesalnya aku."
Nisa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merasa terlalu hancur untuk bisa memberi jawaban. Ia tahu bahwa perjalanan untuk bisa memaafkan akan sangat panjang, dan mungkin tidak akan pernah tercapai. Tapi yang lebih penting sekarang adalah menerima kenyataan bahwa hubungan yang pernah begitu erat itu, kini telah berubah menjadi serpihan-serpihan yang tidak bisa lagi disatukan.
Nisa berbalik dan pergi meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Maya yang masih terisak-isak. Sesampainya di kamarnya, Nisa menutup pintu dengan perlahan, seolah ingin mengurung dirinya dari kenyataan yang terlalu pahit untuk diterima.
Di balik pintu itu, Nisa menatap kosong ke dinding. Air matanya mengalir deras, namun tidak ada lagi rasa kebahagiaan, tidak ada lagi kedamaian. Semua itu telah hancur bersama dengan kepercayaan yang ia miliki kepada ibunya. Ia tahu, luka ini akan sulit sembuh, mungkin bahkan tidak akan pernah sembuh sepenuhnya.
Tapi, satu hal yang Nisa tahu pasti: ia harus melanjutkan hidupnya. Meskipun terluka, meskipun dikhianati, ia harus menemukan cara untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.