Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belanja
Berbekal informasi secuil, Rain berharap bisa menemukan informasi yang lebih banyak lagi.
Rain tidak tahu kenapa ia harus melakukan ini. Tapi, ia merasa harus bertanggung jawab mencari keluarga Ghio. Perasaan itu muncul sejak Rain menawarkan dirinya sebagai keluarga untuk Ghio. Rain lupa siapa dirinya dan siapa Ghio.
"Tadi pagi dari mana?"
Rain menatap sosok Ghio yang sedang makan. Dia makan dengan lahap, hingga tidak mempedulikan keberadaan Rain di hadapannya.
Rain diam sebentar, menatap Ghio dengan lekat. Selapar apa hantu ini? Dirinya pun tak ditanggapi lagi.
"Kenapa pagi tadi gak muncul? Makanannya sampai terbuang begitu saja," kata Rain. Ia menopang dagu sambil memperhatikan Ghio makan.
Ghio kali ini menoleh. Ia diam, tampak berpikir, lalu menggeleng.
"Apa maksudnya?" Rain bertanya bingung.
"Sejak tadi malam, aku gak tahu aku dimana," kata Ghio sambil menyuapkan sendokan terakhir.
Dahi Rain berkerut samar. Ucapan Ghio sulit dicerna.
"Gak tahu dimana maksudnya?"
Ghio menggeleng. "Minum!"
Segera Rain memberikan segelas air. Ghio menerima dan meneguknya sampai habis.
"Maksud kamu, kamu gak tahu keberadaan kamu itu dimana, gitu?" ulang Rain memperjelas.
Ghio mengangguk, lalu memberikan gelas kosongnya kepada Rain.
"Tempatnya gelap."
Rain diam sambil berpikir. Sepertinya mimpinya semalam ada kaitannya dengan maksud Ghio. Kenapa bisa?
Ah... Rain benar-benar pusing.
Baiklah. Sepertinya ia lupakan dulu soal ini.
Rain kemudian menatap Ghio yang kini diam membisu. Sosok itu terlihat melamun.
"Ghio!"
Ghio menoleh.
"Dulu kamu tinggal di sini," kata Rain.
Ghio menggeleng. "Tidak tahu."
"Aku gak bertanya. Kamu dulu tinggal di sini, sebelum..." Rain diam sebentar. "Sebelum kamu kecelakaan," lanjutnya.
"Kecelakaan?"
Rain mengangguk. "Iya. Kamu gak ingat kalau kamu kecelakaan?"
Ghio tampak berpikir, seolah mencoba mengingat sesuatu. Namun, tidak ada ingatan tentang kecelakaan di kepalanya.
Lantas, Ghio menggeleng.
"Coba ingat lagi," paksa Rain.
Ghio kembali mengingat-ingat. Namun, hasilnya sama saja. Ia tidak mengingat kalau ia pernah kecelakaan. Ghio hanya ingat kalau...
Kepala Ghio mereng.
Melihat itu, Rain langsung antusias. "Ingat?"
"Aku hanya mengingat kalau aku melihat mama." Ghio tampak berpikir lagi. "Mama Rain," katanya.
Bahu Rain merosot. Ia sempat senang. Rain pikir Ghio mengingat sesuatu tentang kecelakaannya. Karena dengan begitu, bisa saja Ghio masih mengingat dimana tempat persis kecelakaannya. Setidaknya, secuil ingatan saja sudah cukup.
"Ah... Bahkan, kamu gak memiliki barang yang bisa membantu."
"Barang seperti apa?" tanya Ghio.
"Dompet atau apa lah. Ngomong-omong dimana semua pakaian dan semua barangmu?" tanya Rain. Ia baru kepikiran kesana.
"Lupakan saja. Nama kamu aja kamu gak ingat. Apalagi barang-barang," lanjut Rain ketika melihat wajah kebingungan Ghio.
Ghio diam mendengar ucapan Rain. Ia menghela napas. Benar. Ia bahkan tak tahu siapa namanya. Siapa dia? Ia hanya roh yang tidak tahu harus apa, sendirian, kesepian, dan tak tahu apa-apa.
Ghio mengangkat kepala. Rain duduk di depannya. Tapi, sepertinya ia tidak sendirian lagi.
"Aku tak ingat apa-apa. Aku ada sekarang juga tidak tahu untuk apa. Selama ini aku sendiri. Ketika aku mencoba berbaur dengan orang, mereka malah takut."
Rain diam. Mencerna dengan baik setiap kata-kata Ghio. Didapatinya kesedihan dalam manik matanya. Jadi, alasan mengapa tak ada orang yang berani tinggal disini karena ini. Ghio hanya mencoba berbaur. Namun, tentu saja manusia takut, karena mereka menganggap Ghio mengganggu, bukan mencoba berteman.
Tentu saja. Bagaimana orang mau berteman dengan Ghio. Dia saja hantu.
Rain duduk tegak. Lantas, ia apa? Kenapa ia bisa berteman dengan hantu ini? Apa ia bukan orang?
Rain menggeleng. Tentu saja ia adalah manusia. Hanya saja, Rain punya indra ke enam. Entah sejak kapan ia memiliki kemampuan ini. Dulu saja, ia belum pernah melihat hantu. Itu sebabnya, ia tidak percaya kalau orang lain menceritakan hal-hal gaib di luar nalar. Sekarang, Rain percaya, karena ia sudah mengalaminya sendiri.
"Terima kasih, Rain. Sekarang, aku tidak merasa kesepian lagi," kata Ghio sambil tersenyum.
Mata Rain membola melihat senyum itu. Tiba-tiba, jantung Rain berdetak cepat. Astaga. Senyum yang biasanya ia lihat dalam foto kini dapat ia saksikan secara langsung.
Rain tak bisa pungkiri, hatinya meleyot melihat senyum itu. Seperti pemanis buatan, senyum Ghio berbahaya untuknya.
Tapi, sekalipun Rain seolah terkejut, bibirnya ikut melengkung ke atas. Senyum Ghio menular.
Rain dapat melihat secercah harapan di mata Ghio. Senyum itu seolah penguat.
"Aku berjanji, aku akan menemukan keluargamu, Ghio." kata-kata itu hanya dalam hati Rain. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.
***
"Kita beli ayam atau ikan?"
"Ayam saja. Ayam lebih enak."
Asya menoleh. "Kamu mau makan ikan? Udah lama juga kita gak masak ikan laut."
Rain menggeleng. "Ayam saja kalau begitu."
"Kamu gak bosen?" tanya Asya.
"Enggak."
"Trus ngapain ditanya?"
Rain menyengir kuda. "Mau nanya aja. Basa-basi."
Asyama menggeleng.
"Hari ini makan ayam. Aku suka ayam semur."
"Kamu tahu ayam semur dari mana?" tanya Rain.
"Hah?" Asya bertanya dengan raut bingung.
"Gak ada. Gak usah tanggapin aku, kak," kata Rain sambil tersenyum.
"Dari tetangga kita. Aku mencium baunya, sangat harum. Dia menyebutnya ayam semur. Tapi, dia tidak membaginya denganku."
Rain tertawa mendengarnya. Bagaimana mau dibagi? Melihatnya saja mereka sudah ngacir duluan. Tapi Rain merasa kasihan juga.
"Kamu gila, ya? Ketawa sendiri," kata Asya.
Rain menormalkan wajahnya. "Enggak. Tadi, ada orang random lewat," bohongnya.
"Oh, ya, kak. Nanti kita masak ayam semur, dong. Aku pengen soalnya. Udah lama gak makan ayam semur," kata Rain.
Ghio yang mengekor di belakangnya tersenyum gembira.
"Tumben." Mata Asya menyipit.
"Mau aja."
Hari ini libur. cuma sehari. Rain dan Asya menggunakan hari ini untuk belanja kebutuhan di kontrakan. Seperti sekarang, mereka belanja bahan-bahan dapur. Tadi, mereka baru saja belanja keperluan di kamar mandi.
Mereka kembali ke aktifitas masing-masing, yaitu mencari bahan-bahan masakan dapur. Rain sengaja menjauh sedikit dari Asyama, karena Ghio yang mengekor di belakangnya bisa membuat Rain kapan saja bablas bicara banyak. Asya maupun orang lain bisa berpikir jika Rain sakit atau gila.
"Jamur. Aku suka jamur."
Rain memasukkan jamur ke dalam keranjang belanja.
"Itu apa?"
"Jamur Enoki."
"Bentuknya aneh. Rasanya bagaimana? Enak?"
"Enak. Tapi, aku lagi menabung. Jadi, cukup beli makanan yang seadanya aja," kata Rain.
Ghio mengangguk patuh.
"Mangga."
"Kau mau?" tanya Rain. Sekarang, mereka berada di rak buah.
Ghio menggeleng. "Di belakang rumah ada buah mangga."
"Tapi tidak ada buah."
"Ada."
Rain menoleh. "Aku gak pernah melihatnya."
"Benar. Karena buahnya hanya beberapa biji."
"Aku mau," kata Rain. "Kamu yang panjat."
"Aku bisa mengambilnya tanpa harus dipanjat."
Mata Rain berbinar. "Beneran?"
Ghio mengangguk bangga.
"Bagus. Nanti sehabis pulang, kita ambil mangganya. Oke?" Rain mengangkat jempolnya yang dibalas jempol oleh Ghio.
"Rain!"
Rain dan Ghio berbalik ke belakang.
Punggung tangan langsung menempel di kening Rain.
"Apa sih, kak?"
"Gak panas. Kamu kenapa, sih?"
"Apa?"
"Kamu kayaknya emang lagi sakit. Kamu ngomong sama siapa? Kamu demam atau gimana?" tanya Asya.
Rain mengerjap. Astaga. Ia lupa kalau ada orang lain disini.
"Rain gak sakit. Itu... Anu..."
"Anu apa?"
"Rain lagi belajar. Besok ada kelas presentasi. Makanya Rain mencoba ngomong yang benar tadi. Biar besok gak malu-maluin," kata Rain berbohong. Untung otaknya cepat respon.
"Yakin? Kamu gak lagi sakit?" tanya Asya menaruh curiga.
Rain mengibaskan tangannya. "Enggak lah. Rain cuma belajar."
Asya berdecak. "Kalo belajar ya nanti aja di rumah. Sekarang waktunya belanja," omel Asya.
Rain mengangkat tangannya ke kepala. Digaruknya kepala yang tak gatal itu.
"Iya. Yaudah, Kak Asya lanjut belanja. Aku mau ke sana, ya. Dah."
Lantas Rain segera mengacir ke rak lain, mencoba menghindar dari Asyama.
"Kita kemana?"
"Udah. Diem. Jangan sampai orang mikir aku gila gara-gara ngomong sendiri."
"Emang kamu ngomong sendiri? Kamu kan ngomong sama aku."
Rain berbalik. Karena ia berbalik secara tiba-tiba, Ghio hampir saja menabraknya. Kini tersisa sedikit jarak antara mereka.
Rain memejamkan matanya sebentar. Jantungnya sepertinya tidak aman. Lantas, ia mundur selangkah.
"Ghio."
"Hm?"
"Diam dulu, oke? Biar kita cepat pulang, trus aku langsung masak ayam semur. Trus, kamu bisa makan sepuasnya. Jadi, diem sebentar. Bisa?" kata Rain.
Ghio tersenyum sambil mengangguk. Lalu Ia langsung menutup mulutnya.
Imutnya...
Jantung Rain kembali tak aman. Ia segera berbalik dan tidak ingin mempedulikan Ghio yang berada di belakangnya.