Terdengar suara 'sah' menyeruak ke dalam gendang telinga, seolah menyadarkan aku untuk kembali ke dunia nyata.
Hari ini, aku sah dipersunting oleh seorang Aleandro. Pria dingin dengan sejuta pesona. Pria beristri yang dengan sengaja menjadikan aku sebagai istri kedua.
Istri pertamanya, Michelle bahkan tersenyum manis dan langsung memelukku.
Aneh, kenapa tidak terbersit rasa cemburu di hatinya? Aku kan madunya?
Tanya itu hanya tersimpan dalam hatiku tanpa terucap sepatahpun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria-pria Sekitar
Andine terbangun karena bau obat yang menusuk hidung.
"Hhhmmm di mana ini?" Andine membuka mata pelan.
Sebuah ruangan yang luas dengan furniture ruangan yang terkesan mewah.
"Apa aku di rumah sakit?" Andine menggerakkan lengannya yang terasa perih. Ada infus menancap di lengan kanannya.
"Oh, betul ternyata," Andine telah menguasai keadaan.
"Siapa yang membawa ku ke sini? Tak mungkin Nicky lagi yang membawaku ke sini," gumam Andine hendak duduk.
Andine menelisik seluruh ruangan.
"Kamar ini mewah sekali. Berapa biaya per harinya? Wah belum apa-apa uang aku habis duluan buat nglunasin semua ini," batin Andine.
Tok... Tok...
"Permisi Nona. Apa anda sudah siuman?" ketukan pintu mengagetkan Andine.
"Siapa dia? Apa dia dewa penolongku?" tanya Andine dalam benak.
Dewa penolong? Pasti Andine kebanyakan baca komik Nar*to deh, ucap author.
"Iya," tukas Andine menjawab.
Pintu pun terbuka.
"Maaf mengganggu waktunya Nona, apa anda menginginkan sesuatu?" tanyanya.
Netra Andine memicing.
'Siapa dia? Sok baik banget,' pikir Andine.
'Apa bener pria ini orang suruhan keluarga gaje itu? Wah aku harus melarikan diri sebelum mereka menemukanku,' batin Andine.
"Maaf Nona, kalau anda ingin melarikan diri. Sebaiknya urungkan saja niat anda. Karena kamar ini dijaga ketat oleh orang-orangnya tuan," jelas pria itu, nampak sekali tau jalan pikiran Andine.
"Dan saran saya, sebaiknya anda menurut saja," lanjutnya.
"Sebentar lagi ada kunjungan dokter, sebaiknya anda tak melawan," serunya kembali.
'Wah... wah.... Tak bisa dibiarkan ini. Aku harus bisa bebas dari keluarga ini. Enak aja mau merampas anakku,' tekad Andine dan menebak keinginan mereka.
"Aku mau ke toilet, mau ikut?" kata Andine kesal karena pria itu bersiap saat Andine bergerak.
"Maaf," ucapnya.
Andine mencebik.
"Seperti tawanan aja kalau gini," keluh Andine dengan tangan mendorong tiang infus beroda itu ke arah toilet.
.
Beberapa hari dirawat, entah berapa kali Andine berusaha melarikan diri.
Tapi tetap gagal dan berakhir di kamar ini lagi.
"Kata dokter, hari ini anda sudah diperbolehkan pulang Nona," kata pria yang masih setia menemani Andine selama di rumah sakit.
"Kamu suruhan siapa sih?" tanya Andine tak mau basa basi lagi. Rasa kesalnya sudah sampai ubun-ubun dan siap meledak.
"Pasti suruhannya tuan balok es sama nyonya galak itu kan?" hardik Andine.
"Nanti anda pasti tahu Nona. Nggak usah repot mikirin sekarang," tukas pria itu membuat Andine bertambah kesal.
Andine cemberut.
Tak membiarkan Andine pulang sendiri. Pria itu menyiapkan sebuah kursi roda.
"Aku bisa jalan," tolak Andine.
"Sebaiknya anda menurut Nona, sebelum saya paksa duduk di sini," tegasnya.
"Issshhhh... Pemaksa banget sih," emosi Andine memuncak.
"Silahkan!" katanya seraya membungkuk hormat.
Andine dipersilahkan masuk ke sebuah mobil mewah yang terparkir manis di basement rumah sakit.
"Aku mau ke kasir tuan. Aku belum bayar biaya perawatan selama aku di sini," ujar Andine basa basi sambil menunggu peluang melarikan diri lagi.
"Jangan kuatir nona. Semua biaya 'LUNAS'," kata pria itu penuh penekanan dan ketegasan. Andine tak bisa membantah lagi.
'Gagal maning.... Gagal maning....,' Andine menepuk dahinya sendiri.
"Kenapa Nona? Anda merasa pusing?" tanyanya saat melihat reaksi Andine.
"Yappp, pusing karena ulahmu," jawab Andine ketus.
Mobil berjalan perlahan.
"Tolong antar aku ke kos, paman!" seru Andine.
Tak ada jawaban dari sopir. Sopir ini orang yang berbeda dengan orang yang menjaga Andine sewaktu dirawat.
Mobil terus melaju.
"Paman... Paman... Ini bukan arah ke kos an aku," kata Andine. Tetap tak ada jawaban.
"Paman, aku teriak nih," ancam Andine kesal.
"Maaf Nona, saya hanya mengikuti perintah tuan," akhirnya sopir itu bersuara.
"Tuan lagi... Tuan lagi... Siapa sih sebenarnya bos kalian?" Andine muak dengan keadaannya kini.
"Sabar Nona, orang sabar disayang mertua," kata sopir.
"Mertua... Mertua.... mertuanya siapa? Asal kamu tahu paman, aku ini menantu yang tak diakui," sengaja Andine berceloteh, toh dia sekarang wanita bebas dan tak ada ikatan dengan siapapun sejak perjanjian itu dibatalkan.
"Itu salah Nona, tuan bukan orang seperti itu," timpal sopir yang mulai banyak bicara.
"Aku tak kenal dengan tuanmu," kata Andine ketus. Kedua tangannya dia lipat di dada. Keputusan Andine, mendingan diam daripada bibirnya capek ngomong.
Mobil belok ke sebuah komplek hunian mewah.
"Mau ke rumah siapa?" tak tahan Andine diam karena penasaran.
"Sebentar lagi sampai Nona, sebaiknya anda bersiap," kata paman sopir dengan mata tetap fokus ke depan.
"Waduh, celaka dunia kalau sampai bertemu mereka lagi," gumam Andine. 'Sepertinya tebakan aku benar,' hati Andine risau.
"Ah, bukan. Sepertinya bukan arah jalan ke rumah mereka," mata Andine melihat sekeliling.
Andine tak berusaha melarikan diri lagi, karena pikirannya logis.
Sudah beberapa kali berusaha lari, toh ketemu dengan pria berjas lagi dan lagi. Bukannya menyerah, tapi Andine sadar situasi.
Bos nya para laki-laki ini pasti lah orang berpengaruh. Itu yang ada di benak Andine. Dan pasti ada kaitan dengan Aleandro. Kalau tak ada kaitan, apalah seorang Andine. Bagai butiran pasir di tepi pantai yang setiap saat diterjang ombak menggulung.
Andine duduk di sebuah ruangan yang besar nan mewah, bahkan mirip sebuah aula pertemuan.
'Hmmm, rumah ini tak kalah mewah dengan rumah pasangan gaje itu,' batin Andine.
'Atau jangan-jangan pria-pria tadi memang orang suruhan Aleandro,' pikiran Andine terus bermonolog, hingga suara deheman seseorang mengagetkan Andine.
Tatapan pria berumur itu mengingatkan Andine akan seorang Aleandro.
Andine menggeleng untuk menghilangkan bayangan Aleandro yang melintas.
"Anda pasti tahu kenapa anda di bawa kemari Nona," kata pria itu dengan tegas.
Andine menggeleng lemah, karena memang tak tahu.
"Berani sekali kamu membawa lari calon cucuku," hardik pria itu.
"Cucu?' otak Andine loading lagi.
"Tak ada yang aku tahu Nona, kamu hamil bukan? Dan itu anak Aleandro, putraku," serunya kemudian.
'Cucu... Aleandro.... Putraku....,' otak Andine terus berkelana.
'Wah, lepas dari mulut buaya sekarang aku masuk ke kandang singa,' Andine was-was setelah menyadari perkataan pria setengah baya itu.
'Kok di sini aku merasa sebagai penjahatnya ya? Padahal semua ini berawal karena perjanjian gila dengan kedua orang itu,' gumam Andine dalam benak.
"Kamu pasti tahu kesalahanmu Nona. Jadi jangan harap bisa lari dari sini," kata pria setengah baya itu penuh ancaman.
Keringat dingin mulai membanjiri pelipis Andine.
Aleandro adalah pria balok es, maka pria ini freezernya. Tak kalah dingin. Hati Andine bergidik ngeri.
"Siapkan makanan bergizi dan susu buat dia!" perintah pria tua itu kepada dua orang asisten rumah tangga.
"Bi, antarkan sekalian ke kamar. Biar Andine bisa istirahat," serunya kemudian.
'Hah, bahkan tuan ini tahu namaku,' Andine hanya bisa berkata dalam hati.
"Bersihkan tubuhmu sana. Aku tak mau calon cucuku ada di dalam perut wanita yang kucel," suara bariton itu seolah terdengar bagai perintah tak terbantah.
Andine termangu.
"Andine Shadiqah," bahkan pria itu memanggil nama lengkap Andine karena tak ada pergerakan dari Andine.
"I... I... Iya tuan," jawab Andine terbata.
"Silahkan Nona," kata bibi dengan sopan.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Tak ada note.... 😊