NovelToon NovelToon
Filsafat Vs Sains

Filsafat Vs Sains

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:497
Nilai: 5
Nama Author: Arifu

Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Labuhnya Gengsi di Kedai Kopi

Malam itu, kampus udah mulai sepi. Joko, yang biasanya langsung cabut ke kosan buat selonjoran, malah tergoda mampir ke kedai kopi kecil di depan gerbang kampus. Tempatnya nggak terlalu ramai, cukup nyaman buat duduk-duduk sambil mikir.

Dia pesan kopi hitam, minuman yang cocok sama mood-nya yang selalu “gelap” kalau diibaratkan suasana. Dia baru aja duduk di pojokan, buka buku catatan yang isinya lebih banyak coretan ngawur soal konsep eksistensialisme, waktu seseorang duduk tepat di depannya.

“Wah, gue pikir lu nggak suka nongkrong di tempat modern gini, Jok.”

Joko mendongak, mendapati wajah Vina yang lagi nyengir sambil membawa secangkir cappuccino. “Apa sih, Vin? Lu ngikutin gue?”

Vina mengangkat bahu sambil duduk. “Kebetulan gue juga lagi pengen ngopi, terus ngelihat lu masuk sini. Nggak ada salahnya kan duduk bareng?”

Joko memutar bola matanya. “Gue rasa, semua hal yang lu lakuin ada salahnya di mata gue.”

“Terus, kenapa lu nggak pergi aja?” tantang Vina, sambil menyeruput minumannya santai.

“Karena gue udah bayar kopi gue. Gue orang filsafat, Vin, tapi gue nggak sebodoh itu ngeluarin uang tanpa nikmatin hasilnya.”

“Wow, sekali-sekali logis juga, ya.” Vina terkekeh.

Joko menatapnya datar. “Lu emang nggak punya temen lain apa? Selalu aja muncul di tempat gue.”

“Ada, kok. Tapi debat sama mereka itu terlalu gampang. Lu lebih menantang, dan… gimana ya, lebih seru aja.”

“Seru buat lu, nyebelin buat gue.”

Vina tertawa kecil, lalu mengeluarkan notebook-nya lagi. “By the way, tadi di kelas gue belajar soal teori chaos. Tau nggak, Jok, kalau dalam teori chaos itu, hal kecil kayak kepakan sayap kupu-kupu bisa memicu badai di belahan dunia lain?”

Joko mengernyit, nggak yakin ke mana arah obrolan ini. “Terus?”

“Gue cuma mikir, mungkin aja hidup kita berdua ini kayak teori chaos. Kepelesetnya gue waktu itu mungkin kupu-kupu kecilnya, dan sekarang kita berdua terjebak di badai.”

“Vin, yang lu bilang teori chaos, buat gue cuma teori kesialan,” balas Joko sambil menyandarkan punggung. “Dan kalau kita beneran terjebak di badai, kayaknya lu yang jadi angin ributnya.”

Vina terkekeh. “Terserah lu aja, Jok. Tapi ya, kalo dipikir-pikir, nggak semua badai itu buruk. Kadang, badai bikin kita sadar kalau hidup itu nggak selalu tenang.”

Joko terdiam sebentar, memandangi Vina yang lagi asyik mencoret-coret notebook-nya. Dia nggak pernah ngerti gimana cewek ini bisa selalu nemu cara buat nyambungin Fisika sama percakapan hidup.

“Tapi kalau gue boleh jujur, Vin,” Joko akhirnya bicara, “kadang gue capek juga dengerin omongan lu yang selalu berusaha keliatan pinter. Nggak pernah lu santai dikit?”

Vina mengangkat alis, lalu tersenyum jahil. “Santai kayak lu maksudnya? Yang duduk sambil mikir ‘kenapa kopi rasanya pahit kayak hidup’?”

“Minimal gue nggak sok tau.”

“Gue juga nggak sok tau, Jok. Gue cuma lebih suka berusaha ngerti dunia ini daripada duduk diem doang.”

Joko menghela napas, lalu menatap lurus ke arah Vina. “Lu ngerti dunia, tapi lu nggak ngerti gue, Vin.”

Vina terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Itu bener banget, Jok. Gue nggak ngerti lu sama sekali. Tapi kayaknya justru itu yang bikin gue penasaran.”

“Penasaran sama hal yang nggak penting itu ciri orang Fisika,” gumam Joko sambil menyeruput kopinya.

Malam terus berjalan, dan obrolan mereka berlanjut, dari teori chaos sampai topik-topik random yang nggak jelas arahnya. Meski awalnya saling menyindir, ada sesuatu yang terasa berbeda. Bukan debat sengit seperti biasanya, tapi lebih ke percakapan yang, anehnya, terasa nyaman meski penuh celetukan.

Saat Vina akhirnya pamit duluan, Joko duduk sendirian, memandangi cangkir kopinya yang udah kosong. Dia nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi interaksinya dengan Vina malam ini terasa... lain.

“Badai, ya?” gumamnya pelan, lalu tersenyum tipis. “Kalau dia beneran badai, kayaknya gue udah kebawa terlalu jauh.”

Pagi itu, suasana ruang kuliah terasa lebih ramai dari biasanya. Joko duduk di barisan belakang, seperti biasa, menghindari spotlight dan berharap dosen nggak memanggilnya untuk menjawab pertanyaan. Tapi harapannya langsung pudar begitu dia melihat Vina melangkah masuk dengan gaya santai, membawa notebook, dan langsung duduk di kursi kosong di sebelahnya.

“Ngapain lu di sini? Ini kelas Filsafat,” bisik Joko sambil menatap Vina dengan tatapan tajam.

Vina menyeringai. “Gue bosen kelas gue tadi. Kan nggak ada salahnya nyempil sebentar di kelas ini. Lagian, siapa tahu gue bisa belajar sesuatu.”

“Lu kira ini bioskop? Tinggal masuk kalau lagi gabut?”

Vina hanya tertawa kecil sambil mengeluarkan pensil dari tasnya. “Tenang aja, Jok. Gue bakal diam kok. Gue cuma mau dengerin.”

Joko hanya mendengus kesal. Tapi sebelum dia bisa membalas, suara dosen yang khas dan berat sudah menggema di ruangan.

“Selamat pagi, mahasiswa. Hari ini kita akan diskusi tentang determinisme dan kebebasan manusia. Siapa yang mau memberikan pandangannya?”

Joko langsung menunduk. Skenario andalannya: menghindari kontak mata. Tapi rencana itu gagal total.

“Saudara Joko, bagaimana menurut Anda? Apakah manusia itu bebas, atau hanya produk dari sebab-akibat yang sudah ditentukan?”

Joko mendongak dengan malas, lalu menatap dosen. “Menurut saya, Pak, kebebasan itu hanya ilusi. Kita merasa bebas, tapi sebenarnya hidup kita sudah dikendalikan oleh banyak faktor, mulai dari lingkungan, genetik, sampai pilihan-pilihan yang dibuat orang lain untuk kita.”

“Jadi Anda seorang determinis?” tanya dosen sambil mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu.

“Saya nggak bilang begitu, Pak,” lanjut Joko, dengan nada datar. “Saya cuma bilang kebebasan itu relatif. Seperti orang yang merasa bebas karena bisa memilih jalan pulang, tapi nggak sadar kalau dia tetap harus pulang karena nggak punya tempat lain buat pergi.”

Beberapa mahasiswa tertawa kecil mendengar analogi Joko yang unik. Tapi satu orang di sebelahnya, Vina, menahan diri dengan keras untuk tidak menyela.

Dosen mengangguk, tampak puas dengan penjelasan Joko. “Bagus, Joko. Pendapat Anda menarik. Sekarang, bagaimana dengan Anda, Saudari... oh, Anda bukan dari kelas ini, ya?”

Semua kepala langsung menoleh ke arah Vina, termasuk Joko, yang tampak menikmati situasi ini.

“Eh, iya, Pak. Saya dari jurusan Fisika. Maaf kalau saya sedikit menyusup ke sini,” jawab Vina dengan nada sopan.

“Tidak apa-apa,” balas dosen sambil tersenyum. “Kalau begitu, mungkin Anda bisa memberikan pandangan dari perspektif ilmu pengetahuan. Bagaimana menurut Anda, apakah manusia itu bebas?”

Vina terdiam sebentar, lalu berdiri dengan percaya diri. “Menurut saya, Pak, kebebasan itu adalah fenomena kuantum. Dalam Fisika, partikel-partikel subatomik bisa berada di dua tempat sekaligus sebelum diamati, dan itu menciptakan ruang untuk kemungkinan. Jadi, walaupun hidup manusia mungkin terlihat deterministik, selalu ada peluang untuk kebebasan di level yang lebih kecil.”

Ruangan langsung ramai dengan bisikan. Bahkan Joko sendiri sedikit terkejut dengan jawaban itu.

“Menarik sekali, Saudari. Tapi apakah Anda yakin bahwa fenomena di tingkat partikel subatomik itu benar-benar bisa diterapkan dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial?”

Vina tersenyum, menatap dosen dengan mata penuh percaya diri. “Kalau saya boleh menyimpulkan, Pak, semua hal besar dimulai dari yang kecil. Jadi, saya yakin kebebasan itu ada di level mikro, dan itu memengaruhi makro.”

Dosen tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Pendapat yang sangat unik. Terima kasih atas kontribusinya, Saudari...?”

“Vina, Pak.”

“Terima kasih, Saudari Vina. Baiklah, kita lanjutkan diskusinya.”

Setelah itu, kelas kembali fokus ke pembahasan dosen. Tapi Joko tidak bisa menahan diri untuk berbisik ke Vina.

“Fenomena kuantum, ya? Gue nggak nyangka lu bisa nyambungin itu ke filsafat.”

Vina menoleh dengan senyum jahil. “Tentu aja, Jok. Gue kan serba bisa. Fisika itu seni menghubungkan hal-hal kecil jadi sesuatu yang besar.”

“Sayang aja, dalam seni itu, lu masih nyebelin.”

Vina hanya terkekeh pelan, kembali ke tempat duduknya dengan tatapan puas. Sementara itu, Joko menghela napas panjang. Dia tidak bisa memutuskan apakah Vina itu benar-benar pintar, atau cuma senang mencari perhatian.

Ketika kelas selesai, Joko berjalan keluar dengan langkah cepat, berharap bisa menghilang sebelum Vina menyusulnya. Tapi seperti yang sudah diduga, Vina muncul di sebelahnya dengan langkah santai.

“Gimana, Jok? Jawaban gue tadi keren, kan?”

“Keren? Gue nggak tahu lu lagi serius atau cuma ngarang.”

“Gue serius, lah. Gue nggak seperti lu yang kadang ngomong asal-asalan biar kelihatan keren.”

Joko tertawa kecil. “Mungkin gue asal-asalan, tapi setidaknya gue nggak nyusup ke kelas orang buat pamer.”

“Bukan pamer, Jok. Itu namanya ekspansi wilayah. Fisikawan kan suka eksplorasi.”

“Kalau eksplorasi lu terus-terusan ngeganggu gue, gue rasa lu salah jurusan. Harusnya lu masuk militer.”

Vina tertawa lepas, nggak peduli tatapan heran dari beberapa mahasiswa yang lewat. “Gue nggak nyangka ngobrol sama lu bisa se-seru ini.”

“Gue juga nggak nyangka ngobrol sama lu cuma bikin gue tambah capek.”

Meski begitu, keduanya tetap berjalan bersama, melanjutkan perdebatan kecil mereka sepanjang jalan. Dalam hati, Joko tahu, hari-harinya nggak akan pernah sepi selama ada Vina.

1
Arifu
Filsafat vs Sains.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!