Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Rahasia yang Hilang
Salju terus turun saat Radena dan Frieden melanjutkan perjalanan mereka menuju Lembah Salju Abadi. Meskipun luka kecil di kaki Radena masih terasa, ia menolak untuk melambatkan langkah mereka. Keduanya kini berjalan dalam keheningan yang lebih nyaman, ketegangan dari pertengkaran mereka sebelumnya tampaknya telah menghilang sepenuhnya.
“Apa kau yakin ini jalannya?” tanya Frieden, memegang peta yang mulai kusut karena udara lembab.
Radena memegang cincin petunjuk di tangannya, yang memancarkan cahaya samar. Cahaya itu semakin terang setiap kali mereka melangkah lebih dekat ke tujuan. “Cincin ini menunjukkan jalan. Kita sudah dekat.”
Frieden melirik cincin itu dengan skeptis, tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia sudah belajar untuk mempercayai naluri Radena—walaupun ia tetap berjaga-jaga terhadap apa pun yang mungkin menunggu mereka.
Lembah Salju Abadi
Ketika mereka akhirnya mencapai lembah, pemandangan di depan mereka membuat keduanya terdiam. Lembah itu dikelilingi oleh dinding-dinding es tinggi yang memantulkan cahaya seperti kristal, menciptakan suasana yang hampir magis. Di tengah lembah, ada reruntuhan sebuah bangunan tua, dikelilingi oleh lingkaran pilar yang sebagian besar telah runtuh.
“Itu dia,” kata Radena, menunjuk ke reruntuhan. “Petunjuk berikutnya pasti ada di sana.”
Frieden mengangguk. “Dan kemungkinan bahaya juga.”
Mereka melangkah masuk ke lembah dengan hati-hati, salju di bawah kaki mereka mengeluarkan suara lembut setiap kali diinjak. Suasana di lembah itu terasa aneh, seperti ada sesuatu yang mengintai di balik keindahannya.
Reruntuhan Kuil Es
Reruntuhan itu lebih besar dari yang terlihat dari kejauhan. Pilar-pilar tinggi yang tersisa dihiasi dengan ukiran naga dan simbol-simbol kuno yang mirip dengan yang ada di cincin Astralis. Di tengah reruntuhan, terdapat sebuah altar besar yang memancarkan cahaya biru pucat.
Radena mendekati altar itu dengan perlahan, merasakan energi sihir yang mengalir dari benda itu. “Ini... terasa seperti sihir yang sangat kuno,” gumamnya.
Frieden, yang berdiri di belakangnya, mengawasi sekeliling dengan waspada. “Kau tahu apa yang harus dilakukan?”
Radena mengangguk, lalu meletakkan cincin Astralis di tengah altar. Ketika cincin itu bersentuhan dengan altar, cahaya biru menjadi lebih terang, dan ukiran di altar mulai bergerak, seolah-olah hidup.
Dari dalam altar, sebuah suara menggema, terdengar tua dan penuh wibawa.
“Siapa yang berani memasuki tempat suci ini?”
Radena berdiri tegak, mencoba menunjukkan keberanian. “Aku adalah Radena Altheron, pewaris kerajaan Aelderia. Aku datang untuk menemukan Astralis dan melindungi dunia dari kehancuran.
Suara itu terdiam sejenak sebelum berbicara lagi. “Astralis bukanlah senjata yang bisa dimiliki sembarang orang. Kau harus menunjukkan bahwa kau layak.”
“Bagaimana caranya?” tanya Radena.
Altar itu memancarkan cahaya, dan sebuah bayangan muncul di depan mereka. Bayangan itu berubah menjadi sosok seorang wanita tua dengan mata biru yang bersinar. Ia mengenakan jubah putih panjang dan membawa tongkat sihir yang terlihat seperti terbuat dari es.
“Kau harus memahami rahasia sihir ini,” kata wanita itu. “Hanya mereka yang benar-benar memahami asal-usul sihir yang bisa melanjutkan perjalanan.”
Radena mengangguk. “Aku siap.”
Rahasia Sihir
Wanita tua itu melambaikan tongkatnya, dan dunia di sekitar mereka berubah. Radena dan Frieden kini berada di sebuah ruang kosong, dikelilingi oleh bintang-bintang yang berkilauan.
“Sihir,” kata wanita itu, “bukanlah sesuatu yang diciptakan. Ia adalah warisan dari pengorbanan besar.”
Wanita itu menunjuk ke salah satu bintang, yang berubah menjadi gambaran seekor naga besar dengan sisik berkilauan.
“Dulu, naga pertama, yang dikenal sebagai Valtherion, mengorbankan dirinya untuk menciptakan keseimbangan di dunia ini. Tubuhnya menjadi tanah, darahnya menjadi sihir, dan jiwanya menjadi Astralis.”
Radena terkejut. “Jadi, Astralis bukan hanya senjata... tetapi jiwa dari naga pertama?”
Wanita itu mengangguk. “Benar. Dan kekuatan itu hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki keberanian untuk melindungi dunia, meskipun itu berarti mengorbankan segalanya.”
Frieden, yang mendengarkan dengan seksama, bertanya, “Kalau begitu, kenapa sekte gelap ingin mendapatkannya?”
Wanita itu menatapnya dengan tajam. “Mereka ingin menggunakan kekuatan itu untuk menghancurkan keseimbangan dan menguasai dunia. Jika mereka berhasil, dunia ini akan hancur.”
Radena mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau harus melanjutkan perjalananmu. Tetapi ingat, setiap langkah akan semakin sulit. Dan pada akhirnya, kau harus menghadapi ujian terbesar.”
Radena dan Frieden mengangguk bersamaan.
Wanita itu menghilang, dan mereka kembali ke reruntuhan. Di atas altar, sebuah peta baru muncul, menunjukkan lokasi berikutnya: sebuah pulau yang jauh di selatan, dikelilingi oleh lautan badai.
Frieden mengambil peta itu dan tersenyum kecil. “Sepertinya kita harus bersiap untuk perjalanan laut.”
Radena menghela napas, merasa lega bahwa mereka berhasil menemukan petunjuk berikutnya, tetapi juga merasakan beban yang semakin berat.
“Perjalanan ini belum selesai,” gumamnya. “Dan aku yakin, yang terburuk belum datang.”
Bahaya yang Mengintai
Ketika mereka meninggalkan lembah, Radena merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Udara terasa lebih dingin, dan suara langkah kaki mereka seperti bergema lebih keras daripada sebelumnya.
“Kita diawasi,” bisik Frieden, menarik pedangnya.
Dari balik pepohonan yang membeku, muncul sekelompok sosok berjubah hitam. Mata mereka bersinar merah di bawah tudung mereka.
“Sekte gelap,” kata Radena dengan suara rendah.
Pemimpin kelompok itu melangkah maju, suaranya penuh kebencian. “Kalian tidak seharusnya ada di sini. Astralis adalah milik kami.”
Radena mengangkat tongkatnya. “Kalian tidak akan mendapatkannya.”
Pertempuran pun dimulai, salju di sekitar mereka berputar karena semburan sihir dan dentingan pedang. Meskipun mereka kalah jumlah, Radena dan Frieden bekerja sama dengan baik, menggunakan kekuatan mereka untuk melawan para anggota sekte.
Namun, sebelum mereka bisa mengalahkan pemimpin kelompok itu, pria berjubah hitam itu menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan pesan yang menyeramkan:
“Kita akan bertemu lagi, dan kali ini, kau tidak akan seberuntung ini.”
Radena menghela napas panjang, menatap Frieden.
“Kita harus bergerak cepat,” katanya. “Mereka semakin dekat.”
Frieden mengangguk, wajahnya serius. “Kalau begitu, kita tidak punya waktu untuk beristirahat.”