Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama Kopi
Jelas saja, jawaban Zafira membungkam mulut Alvian. Ternyata calon sekretaris barunya ini mulai dari sifat sampai sikap benar-benar bertolak belakang dari sifat dan sikap sekretaris tak ada akhlaknya. Tutur katanya pun lembut dan tak mudah terintimidasi.
"Kalau tak ada yang perlu saya lakukan lagi, saya permisi pak," ucap Zafira sambil membungkukkan badannya.
Tapi belum sempat Zafira beranjak, seruan dari Alvian membuatnya tak jadi bergerak barang sesenti.
"Siapa suruh kamu keluar?" ketus Alvian dingin.
"Ah, apa ... bapak butuh sesuatu?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Saya belum mencicipi kopi buatan kamu. Bagaimana kalau rasanya tak enak?"
"Kalau ... "
Slruuppp ...
"Huekkk ... "
Alvian meleletkan lidahnya membuat Zafira panik.
"Pak, Pak Alvian, pak Alvian kenapa? Apa kopinya ... "
"Kau bisa buat kopi atau tidak sih?" Sambar Alvian tiba-tiba dengan mata melotot membuat Zafira menelan ludahnya. Selama ini, tidak pernah ada yang protes kopi buatannya. Bahkan almarhum ayahnya saja sangat menyukai kopi buatannya, tapi kenapa atasannya ini justru sebaliknya.
"Ma-af, memang kopi buatan saya kurang enak ya, pak?" cicit Zafira gugup.
"Kau mau buat saya terkena diabetes, heh? Berapa kilo gula yang kamu masukkan ke kopi saya?" sarkas Alvian dengan mata nyaris lompat dari rongganya.
'Apa? Diabetes? Apa kopinya kemanisan? Tapi takaran kopi dan gulanya seperti biasanya yang aku buat, kopi dua sendok teh dan gula 1 sendok teh. Apa tadi takarannya tertukar ya?' gumam Zafira dalam hati.
"Kenapa malah melongo? Saya tahu saya tampan, tapi nggak segitunya kamu pandangi saya. Atau kamu nggak pernah liat pria tampan jadinya kamu kagum melihat ketampanan saya?"
Zafira : "?!??????$@&_@-@ "
Zafira makin melongo dengan sikap atasannya ini, kadang ketus, kadang jutek, kadang nyebelin, dan kini ... narsis.
"Buatkan saya kopi yang baru." Titah Alvian.
"Kenapa masih diam di sana? Cepat buatkan saya kopi yang baru. Awas kalau kemanisan!" titahnya membuat Zafira bergegas membuatkan kopi yang baru. Tapi sebelum itu, ia mendekat ke arah meja Alvian, hendak mengambil kopi yang ia buat sebelumnya.
"Kenapa diambil lagi?" tanya Alvian dengan dahi yang berkerut saat melihat Zafira hendak mengangkat cangkir kopi yang baru ia minum sedikit.
"Mau saya bawa ke pantry lagi, pak."
"Kenapa?"
"Kan kata bapak kemanisan, jadi mau saya buang saja."
"Kau mau buang-buang kopi ini secara percuma? Memang harga kopi dan gula itu murah bagi saya, tapi tahu kah kamu, di luar sana banyak yang buat beli gula 1/4 kg saja rasanya susah banget." Melihat Zafira yang lagi-lagi melongo membuat Alvian menyentil dahinya.
"Awww ... "
Zafira mencebikkan bibirnya karena bos nggak ada akhlaknya itu menyentil dahinya sesuka hati.
"Maksud saya, biarkan kopi ini di sini, MUBAZIR." Tekan Alvian saat mengucapkan kata mubazir.
'Astaga pak, mau bilang jangan dibuang karena mubazir aja ribet bener.' Ingin rasanya Zafira menangis karena ulah menyebalkan atasan sahabatnya itu, tapi malu. Masa' baru juga sehari ikut masa percobaan udah nangis.
"Ka-kalau begitu, saya permisi pak. Saya akan membuatkan kopi Anda yang baru," pamit Zafira yang buru-buru ngacir menuju pantry.
Setelah melihat Zafira kabur dari ruangannya, Alvian kembali mengangkat cangkir kopi miliknya dan menyesapnya dengan santai sambil menatap ke arah layar laptop.
"Brakkk ... "
Sedang asik meminum kopinya, tiba-tiba Nova masuk begitu saja sambil membanting pintu ruangannya.
Spontan saja Alvian mengangkat wajahnya dengan mata melotot.
"Kenapa loe melotot-melotot? Loe sengaja ya ngerjain sahabat gue?" sentak Nova dengan mata tak kalah melotot.
"Dia ngadu?" jawab Alvian santai sambil meminum kopinya.
"Katanya kopi loe kemanisan, kenapa masih loe minum?"
"Loe tahu kan gue anti buang-buang makanan, mubazir." Tukasnya acuh tak acuh sambil meletakkan cangkir kopinya kembali ke atas meja.
"Bohong banget loe. Gue tahu, loe itu sengaja mau ngerjain Fira. Please deh, Al, kurang-kurangin sifat nyebelin kamu itu. Kasian Fira harus mondar-mandir gara-gara loe."
"Emangnya jarak pantry ke ruangan gue berapa kilometer sih sampai loe kayak takut banget dia capek."
"Bukan takut dia capek sebenarnya, tapi lebih ke khawatir. Soalnya dia itu sedang ha- .. "
"Sedang ha- apa?" Alvian menumpukan kedua sikunya di atas meja lalu menopang dagunya ke atas punggung tangannya yang saling bertaut.
"Sedang ... sedang haid ya, dia sedang haid. Biasanya Fira itu kalo sedang haid, perutnya suka sakit terus kram gitu. Kalo dipaksa mondar-mandir takutnya dia tiba-tiba pingsan, gimana? Ujung-ujungnya kita juga yang repot kan!" kilah Nova tak mau jujur masalah kehamilan Zafira sebab perempuan itu sendiri yang meminta. Ia hanya khawatir kalau ia ditolak bekerja di sana bila tahu ia sedang hamil. Setidaknya ia harus bekerja di sana beberapa bulan dulu sampai ia benar-benar diterima, baru ia akan jujur.
"Alasan. Keluar sana. Selesaikan pekerjaan loe. Perempuan itu biar jadi urusan gue, jadi nggak usah ikut campur," tukasnya seraya mengusir Nova.
"Tapi ... "
"Permisi, pak," ucap Zafira yang telah kembali lagi seraya membawa 1 cangkir kopi pesanan sang atasan. Melihat keberadaan Nova, ia pun segera membawa masuk kopi tersebut dan meletakkannya di atas meja.
Dengan wajah menahan kesal, Nova pun keluar dari ruangan itu sambil menghentak-hentakkan kaki.
Dahi Zafira berkerut saat melihat cangkir kopi yang sebelumnya ia hidangkan ternyata telah tandas hingga hanya menyisakan ampas.
'Katanya kemanisan, tapi kok diminum sampai habis?'
Mendengar langkah kaki Nova yang dihentakkan, sontak Zafira menoleh. Ia merasa bingung, baik itu dengan sikap sahabatnya yang sepertinya sedang kesal, maupun sang atasan yang ...
Zafira menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil berdiri menunggu sesi komentar dari sang atasan.
'Aku udah kayak menunggu penilaian dari juri MasterChef aja dan pak Alvian sebagai chef Juna.'
Prang ...
'Haduh, salah apalagi ini? Kok hari ini kerjaanku nggak ada yang becus sih? Gimana aku bisa diterima kerja di sini coba kalau baru sehari aja udah buat banyak kesalahan,' ringis Zafira dalam hati.
😭😭😭
"Kamu ... "
"Saya kenapa, pak? Apa kopinya masih kemanisan?" tanya Zafira khawatir.
"Bukan."
"Lalu?"
"Kalau tadi kemanisan, kalau yang ini kepahitan. Kamu sengaja nggak kasi gula ya?"
'Salah lagi.'
"Buat lagi sana yang bener!"
"Hah! Buat lagi?"
'Pak, aku pen nangis, boleh? 😭😭😭😭😭😭'
...***...
Hari sudah beranjak sore, Refano yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya tampak merenggangkan kedua tangan dan punggungnya yang terasa kaku karena telah duduk hingga berjam-jam menghadap laptop.
"Mas, yuk pulang!" ajak Saskia sambil menghampiri suaminya.
Refano pun beranjak berdiri kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya dengan Saskia yang bergelayut mesra di lengannya. Semua orang telah mengetahui Saskia telah menikah dengan Refano.
Saat mobil telah melaju, ia melihat sekumpulan anak sedang bermain di sebuah taman yang tak jauh dari rumahnya berada. Anak-anak itu tertawa riang, berlari kesana-kemari, ada yang bermain entah itu dengan saudara atau teman-temannya, ada juga yang bermain dengan orang tuanya. Ada rasa tak biasa dalam hati Refano. Sepanjang usia anaknya, ia belum pernah sekalipun bermain dengan anak-anaknya. Jangankan bermain, menggendong pun ia tak pernah.
"Kamu kayaknya udah nggak sabar banget pengen punya anak laki-laki ya, mas? Anak laki-laki itu lucu ya! Gembul. Anak kita nanti pasti bakal lebih lucu lagi dari anak itu. Udah lucu, tampan, aku nggak masalah kok kalau anak kita nanti mirip kamu." Ujar Saskia sambil merebahkan kepalanya di pundak Refano. Ia ikut mengarahkan pandangannya pada anak-anak yang tengah bermain. Jalanan yang sedikit macet membuat mereka dapat melihat anak-anak yang tengah bermain itu.
Setibanya di rumah, Refano sejenak terpaku di teras rumah. Sekelebat memori wajah riang Regina menyambut kepulangannya membuat Refano mematung. Entah sadar atau tidak, tangan Refano tiba-tiba terentang ke samping saat melihat bayangan Regina berlari ke arahnya hingga saat bayangan itu telah tepat berada di hadapannya, seketika bayangan itu hilang. Refano mengerjapkan matanya, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan anak perempuan yang tadi menyambut kepulangannya.
"Mas, kamu cari apa sih kayak orang kebingungan gitu?" tanya Saskia heran. Saat ia berjalan masuk ke dalam rumah, ia kira Refano masih berada di sampingnya, tapi ternyata tak ada. Saskia sampai keluar lagi untuk mencari keberadaan Refano yang ternyata memang masih berada di luar. Tapi yang membuat Saskia bingung, mengapa wajah Refano tampak kebingungan. Ia sampai celingak-celinguk kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu yang hilang.
"Aku mencari Re- ... " Refano seketika bungkam. Merasa bingung dengan dirinya sendiri. Untuk apa ia mencari Regina, pikirnya. Bukankah Regina sudah tidak berada di rumah itu lagi. Bukankah juga ia tidak pernah suka melihat keberadaan anak-anak perempuannya di rumah itu. Refano pun menghela nafas kasar. Mencoba menepis segala rasa yang mengganggu ketenangan jiwanya.
'Sepertinya aku butuh liburan untuk menenangkan pikiranku. Rasa lelah ini membuat aku membayangkan yang tidak-tidak.'
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...