Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Keputusan Dadakan Airin
Airin mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. "Katakan pada juraganmu, aku tidak takut. Ini rumahku. Aku yang menentukan siapa yang boleh tinggal di sini," jawabnya mantap, meski hatinya was-was.
Kaivan mendengar setiap kata percakapan itu dengan seksama. Rasa ingin tahunya membuncah, terutama tentang siapa sebenarnya pria bernama Wongso ini, dan mengapa ia begitu terobsesi pada Airin.
Supar menatap ke jalan dengan cemas, mendengar suara mesin mobil yang semakin mendekat. Keringat dingin mengalir di dahinya, dan wajahnya semakin pucat. "Airin, serius, kamu harus menyerahkannya padaku. Biar aku antar dia ke rumah Pak Kades. Setidaknya sampai keluarga pria itu datang. Rumah Pak Kades aman, dan dia bisa tinggal di sana sementara," bujuknya dengan nada mendesak.
Namun, Airin tetap berdiri tegak di depan pintu, matanya menatap tegas pada Supar. "Jika dia punya keluarga, aku akan merawatnya di rumahku sampai keluarganya datang," jawabnya tegas, tanpa ragu. "Tapi Kak Ivan mengaku tak punya keluarga. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja, apalagi saat dia tak bisa melihat." Airin menggigit bibir bawahnya, hati terasa berat. Entah mengapa, ia merasa terikat pada pria ini, meskipun baru mengenalnya. Ada perasaan melindungi yang tak bisa ia jelaskan.
Supar menghela napas panjang, melihat Airin yang semakin keras kepala. "Airin, ini bukan soal apa yang kamu inginkan. Ini soal keselamatanmu dan pria itu!" Ia melirik lagi ke arah jalan, semakin panik ketika suara mesin mobil itu berhenti di depan rumah. Sebuah mobil hitam besar, diikuti oleh beberapa tukang pukul yang turun dengan wajah serius.
Pintu mobil terbuka, dan seorang pria bertubuh tambun keluar dengan langkah berat. Wongso, pria yang selama ini menguasai desa ini, tampak mendekat dengan tatapan penuh amarah. Supar tahu betul apa yang akan terjadi jika Wongso merasa terancam.
"Airin, cepat! Serahkan pria itu padaku sekarang juga!" Supar berkata dengan nada yang semakin memelas, namun Airin tetap diam, menahan napas.
Kaivan yang mendengar suara keributan itu, hanya bisa duduk diam. Meski tak bisa melihat, dia bisa merasakan ketegangan di udara. Suaranya tetap tenang, tapi ada keengganan yang jelas saat dia berkata, "Jangan khawatirkan aku, Airin. Aku akan baik-baik saja."
Namun, dalam hatinya, Kaivan tahu bahwa bahaya telah datang ke rumah yang ia pikirkan sebagai tempat perlindungan.
Wongso berjalan mendekat dengan langkah mantap, matanya yang tajam menatap langsung ke arah Supar. "Bagaimana, Supar? Apa semua sudah beres?" tanyanya dengan nada datar, namun penuh tekanan yang membuat suasana semakin mencekam.
Supar menelan ludah, tubuhnya tegang, dan wajahnya tampak panik. "A-anu, Juragan..." Supar bingung harus berkata apa. Gestur tubuhnya yang gelisah sudah cukup menjadi jawaban bagi Wongso bahwa situasi belum sesuai keinginannya.
Wongso mengerutkan dahi, matanya beralih ke arah Airin yang berdiri tegak di ambang pintu. "Airin," Wongso memanggil dengan nada rendah namun mengancam. "Aku dengar ada pria di rumahmu. Jangan membuatku kehilangan kesabaran. Serahkan dia sekarang juga."
Sementara itu, para warga yang sudah mencium kabar adanya pria asing di rumah Airin mulai berdatangan. Mereka mengikuti mobil Wongso sejak tadi, mengira-ngira kemarahannya akan meledak begitu sampai di sana. Suasana di sekitar rumah Airin menjadi ramai, warga berkerumun, berbisik-bisik, menatap dengan penuh rasa ingin tahu dan ketegangan.
Airin berdiri di ambang pintu, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya berdebar kencang. Ia menatap Wongso dengan tatapan penuh tekad. "Kak Ivan adalah tamuku. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku yang membawanya ke sini karena dia membutuhkan bantuan. Kenapa aku harus menyerahkannya pada Juragan?"
Wongso tertawa kecil, nada suaranya sinis. "Tamumu? Airin, kamu tahu aturan di desa ini. Tidak ada yang boleh mendekatimu tanpa izinku. Kalau kau tidak segera menyerahkannya, jangan salahkan aku jika situasinya berubah buruk."
Di dalam rumah, Kaivan yang mendengar suara Wongso dan keributan warga mulai memahami bahwa masalah besar sedang terjadi. Meskipun ia tidak bisa melihat, pendengarannya yang tajam menangkap setiap nada ancaman yang keluar dari mulut Wongso. Ia mengerutkan dahi, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Airin... jangan biarkan dirimu dalam bahaya karena aku," ucapnya pelan namun penuh arti.
Airin menoleh ke arah Kaivan, hatinya semakin dipenuhi keberanian. "Tidak, Kak. Aku tidak akan menyerahkanmu pada orang seperti dia," jawabnya tegas, membuat Wongso semakin murka.
"Kau tinggal bersama nenekmu, kalian berdua wanita. Mana mungkin kami sebagai warga di sini membiarkan seorang pria tinggal di rumahmu, apalagi pria itu asing? Suruh dia keluar, atau anak buahku yang akan menyeretnya keluar!" Wongso berbicara lantang, dengan nada yang lebih berupa ancaman daripada alasan.
Nenek Asih maju menghampiri Airin, wajahnya penuh kebingungan dan kecemasan. Ia tahu Wongso bukan tipe orang yang mudah ditentang, tetapi hatinya tak tega jika Kaivan harus diperlakukan dengan kejam. "Airin, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa melawan Wongso..." bisiknya pelan.
Airin berdiri tegak, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Namun sebelum ia bisa menjawab, suara tegas terdengar dari kerumunan. "Cukup, Wongso! Jangan bertindak semena-mena hanya karena kamu kaya!" Bu Warti melangkah maju dengan tatapan penuh keberanian.
Wongso berbalik, menatap Bu Warti dengan tajam. "Jangan ikut campur urusanku!" bentaknya, wajahnya memerah oleh amarah. Meskipun begitu, ia tak berani mengancam wanita itu, sadar bahwa Warti bukanlah lawan yang bisa dipermainkan begitu saja.
Namun Airin, yang sudah terbakar emosi, akhirnya meledak. "Cukup, Wongso!" teriaknya, suaranya lantang memecah keheningan. Tidak lagi memanggil Wongso dengan panggilan juragan. "Selama ini aku selalu diam meskipun aku tahu kamu menyingkirkan semua pria yang mendekatiku. Sudah kubilang sejak dulu, aku tidak sudi menjadi istrimu! Kenapa kamu masih bertindak seolah-olah aku milikmu?"
Wongso tertawa kecil, suara tawa yang dingin dan merendahkan. "Airin, kau jangan keras kepala. Malam ini, kau harus menjadi milikku, suka atau tidak suka!" katanya dengan senyum penuh keyakinan.
Airin memandang Wongso dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi penuh kemarahan. Ia menggenggam tangannya dengan erat, mencoba menahan diri. Namun, sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk melakukan tindakan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Tidak akan! Aku tidak akan pernah menjadi milikmu!" seru Airin. Suaranya menggema, menarik perhatian semua orang. Ia melangkah cepat menghampiri Kaivan, yang duduk tenang namun penuh tanya. "Karena malam ini, aku akan menikah dengan Kak Ivan!"
Kata-kata itu membuat semua orang terdiam, termasuk Wongso. Kerumunan warga yang berkumpul di sekitar rumah Airin saling berpandangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Kaivan terkejut, alisnya terangkat mendengar ucapan Airin. "Airin..." katanya perlahan, nyaris berbisik. Ia tidak mengerti apa yang mendorong gadis itu membuat keputusan mendadak ini.
Airin menatap Kaivan dengan sorot mata penuh keyakinan. Entah dari mana keberanian itu muncul, tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi dirinya dan Kaivan dari ancaman Wongso. "Aku tahu ini mendadak, Kak. Tapi tolong... aku butuh bantuanmu untuk keluar dari situasi ini," katanya dengan suara bergetar namun tegas.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso