Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Beda Kasta
Malam itu, Naura duduk sendirian di ruang tamu apartemen Bimo.
Lampu ruangan memberikan cahaya lembut yang seharusnya menenangkan, tetapi tidak mampu mengusir kegelisahan di hatinya.
Sejak Bimo pulang dari rumah keluarganya, ada sesuatu yang berubah.
Ia bisa merasakan beban berat yang terus menghantui pria itu, meski Bimo berusaha menyembunyikannya dengan senyum dan kata-kata manis.
Naura memeluk kedua lututnya, merenung dalam diam. Kata-kata Bimo tentang ketidaksetujuan keluarganya terus terngiang-ngiang di telinganya.
Mengingatnya, membuat bulir di pelupuk mata luruh tanpa ia sadari.
“Keluargaku... mereka tidak setuju dengan pernikahan kita.” Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi dampaknya begitu besar bagi Naura.
Mengingatnya, dada Naura selalu sesak. Ada sesuatu yang terasa menghujam yang sakitnya ke ulu hati. Perih.
Baginya, cinta adalah segalanya.
Namun, sekarang ia mulai menyadari bahwa cinta saja mungkin tidak cukup.
Ia hanyalah seorang gadis sederhana dari desa, tanpa pendidikan tinggi, tanpa harta, tanpa nama besar.
Sedangkan Bimo adalah seorang Raharja—nama yang memiliki bobot dan makna yang tidak bisa diabaikan.
Esok paginya, Naura berusaha menjalani hari seperti biasa.
Ia menyiapkan sarapan untuk Bimo, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bimo ketika keluar dari kamar dengan wajah lelah.
“Pagi, Mas,” balas Naura sambil meletakkan secangkir kopi di meja.
Bimo duduk di kursi dan memandangnya dengan tatapan penuh kasih.
“Kamu kelihatan cantik pagi ini.”
Naura tersenyum kecil, tetapi hatinya tidak benar-benar merasa bahagia.
“Mas, kamu tidak ada rencana ke kantor hari ini?”
“Tidak, aku masih ingin istirahat,” jawab Bimo sambil menghirup kopinya.
“Aku ingin menghabiskan waktu dengan kamu.”
Mendengar itu, Naura merasa sedikit lega.
Setidaknya, di tengah semua kegelisahannya, ia masih memiliki momen-momen seperti ini bersama Bimo.
Namun, ketika mereka sedang sarapan, ponsel Bimo berdering.
Wajahnya berubah serius saat melihat nama yang tertera di layar.
Ia segera mengangkat panggilan itu dan berjalan menjauh untuk berbicara.
Naura mencoba tidak memperhatikan, tetapi ia tidak bisa mengabaikan nada suara Bimo yang terdengar tegang.
Setelah beberapa menit, Bimo kembali ke meja makan dengan wajah murung.
“Ada apa, Mas?” tanya Naura hati-hati.
“Itu Ibu,” jawab Bimo sambil mengusap wajahnya.
“Dia ingin aku datang ke rumah nanti sore. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.”
Naura hanya mengangguk. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh, karena ia tahu hal itu pasti berkaitan dengan dirinya.
Sore harinya, setelah Bimo pergi, Naura duduk di sofa dengan pikiran yang berkecamuk. Ia mencoba memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Ia mencintai Bimo, tetapi ia tidak ingin menjadi beban bagi pria itu.
Ia tahu bahwa kehadirannya membawa banyak masalah, terutama dengan keluarga Bimo.
Ia memandang sekeliling apartemen yang penuh dengan kemewahan.
Setiap sudut ruangan mengingatkannya pada perbedaan besar antara dirinya dan Bimo.
Bagaimana mungkin ia, seorang gadis sederhana, bisa cocok dengan dunia ini?
Hatinya mulai goyah. Ia tidak ingin menjadi alasan Bimo kehilangan keluarganya.
Namun, setiap kali ia memikirkan untuk pergi, bayangan wajah Bimo selalu muncul di benaknya, membuatnya ragu.
0Malam itu, Bimo pulang dengan wajah yang penuh beban. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sebelah Naura.
“Mas, kamu kelihatan capek,” kata Naura sambil menyentuh tangan Bimo.
Bimo tersenyum tipis.
“Aku baik-baik saja, Sayang. Jangan khawatir.”
Namun, Naura bisa merasakan ada sesuatu yang salah.
Ia tahu Bimo berusaha melindunginya dari masalah, tetapi hal itu justru membuatnya semakin merasa tidak nyaman.
“Mas,” katanya pelan. “Kalau ada sesuatu yang kamu ingin bicarakan, tolong jangan sembunyikan dariku.”
Bimo terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Naura dengan erat.
“Naura, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untuk kamu.”
Kata-kata itu membuat hati Naura hangat, tetapi juga menambah rasa bersalahnya.
Ia merasa seperti beban yang terus menyeret Bimo ke dalam masalah.
Beberapa hari berlalu, dan Naura mulai menyadari perubahan dalam dirinya.
Di depan Bimo, ia tetap mencoba tersenyum dan bertingkah seperti biasa.
Tetapi di dalam hatinya, ia diam-diam mulai menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan mudah.
Ia tahu bahwa cinta mereka akan terus diuji oleh perbedaan status, oleh tekanan dari keluarga Bimo, dan oleh rasa tidak percaya diri yang semakin besar dalam dirinya.
Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus bergantung pada Bimo.
Ia harus belajar untuk menjadi kuat, untuk menghadapi kenyataan, apa pun itu.
Pada suatu malam, ketika Bimo tertidur, Naura duduk sendirian di ruang tamu dengan sebuah buku catatan di tangannya.
Ia menulis semua pikirannya, semua perasaannya, semua ketakutannya.
“Bimo, aku mencintaimu,” tulisnya. “Tapi aku tidak tahu apakah cinta ini cukup untuk menghadapi semua yang ada di depan kita. Aku tidak ingin menjadi beban untukmu. Aku tidak ingin melihatmu kehilangan segalanya karena aku.”
Air matanya jatuh di atas kertas, tetapi ia terus menulis.
Baginya, menulis adalah satu-satunya cara untuk mengeluarkan semua perasaan yang ia pendam.
Ketika ia selesai menulis, ia menutup buku itu dan meletakkannya di meja.
Ia memandang Bimo yang sedang tidur dengan tenang, lalu berbisik pelan, “Aku harap kamu tahu betapa aku mencintaimu.”
Keesokan harinya, Bimo mengajak Naura untuk makan malam di sebuah restoran mewah.
Ia ingin menghibur Naura dan menunjukkan bahwa ia serius dengan hubungan mereka.
Namun, saat mereka tiba di restoran, Naura merasa canggung.
Semua orang di sana tampak berkelas, dengan pakaian mahal dan sikap anggun. Ia merasa seperti ikan yang keluar dari air.
Bimo menyadari kegelisahan Naura dan mencoba membuatnya merasa nyaman.
“Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Kamu terlihat sempurna malam ini.”
Naura tersenyum tipis, tetapi hatinya tetap merasa tidak tenang.
Ia tahu Bimo mencintainya, tetapi ia juga tahu bahwa dunia tempat Bimo berasal adalah dunia yang tidak pernah bisa ia pahami sepenuhnya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di taman. Bimo menggenggam tangan Naura dengan erat, seolah ingin meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Naura,” kata Bimo tiba-tiba.
“Ya, Mas?”
“Aku ingin kamu tahu bahwa apa pun yang terjadi, aku akan selalu memilih kamu.”
Naura menatap Bimo dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Mas, aku juga ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi aku tidak ingin melihatmu menderita karena aku.”
Bimo menghentikan langkahnya dan memegang wajah Naura dengan kedua tangannya.
“Jangan pernah berpikir seperti itu. Kamu adalah kebahagiaanku, Naura.”
Mendengar itu, Naura merasa hatinya sedikit lebih tenang. Tetapi di dalam hatinya, ia tetap bertanya-tanya, tentang sampai kapan mereka bisa bertahan?
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan