> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Langkah Awal yang Tertatih
Bab 5: Langkah Awal yang Tertatih
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Ankabut: 69)
---
Pagi yang Berbeda
Fajar menyingsing di ufuk timur, sinarnya menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Fahri. Suara adzan subuh dari masjid tak jauh dari rumahnya terdengar sayup-sayup. Bagi Fahri, pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Biasanya, ia baru tidur setelah malam panjang penuh dengan obrolan sia-sia di gang. Tapi kali ini, hatinya terasa gelisah saat mendengar panggilan adzan itu.
Fahri menatap langit-langit kamarnya. "Bangun nggak, ya? Tapi ngantuk..." pikirnya. Tapi, suara adzan itu seperti tak mau pergi dari pikirannya.
"Bangun, Ri. Nggak susah kok. Cuma bangun, cuci muka, terus sholat."
Perlahan, Fahri duduk di kasurnya. Kepalanya terasa berat, matanya masih ingin terpejam. Tapi suara adzan itu seolah memanggil namanya.
"Aduh... yaudah, bangun deh," gumam Fahri sambil berdiri.
Dengan langkah gontai, ia menuju kamar mandi, membasuh wajahnya, lalu mengambil air wudhu. Satu per satu air dingin menyentuh kulitnya, membuat tubuhnya segar. Setelah selesai, ia mengambil baju koko lusuh dari lemari. Meski bajunya kusam dan penuh bekas noda, Fahri memakainya tanpa ragu.
“Ini langkah kecil,” katanya kepada diri sendiri. “Kecil, tapi berarti.”
---
Pertama Kali Sholat Berjamaah
Ketika Fahri tiba di masjid, suasananya hening. Beberapa orang tua dan anak-anak kecil sudah berdiri di saf, bersiap melaksanakan sholat subuh. Cahaya lampu masjid yang kekuningan menciptakan suasana tenang.
Fahri berdiri di dekat pintu, ragu untuk masuk. "Malu gue... Nanti pada ngeliatin," pikirnya.
Tapi, tiba-tiba seorang lelaki tua berwajah ramah melambaikan tangan ke arahnya. "Ayo, Nak. Masuk. Saf-nya masih kosong di depan," kata lelaki itu dengan senyum tulus.
Fahri menelan ludah. Ada perasaan canggung, tapi ia melangkah masuk dengan kepala tertunduk. Ia berdiri di saf belakang, mencoba tidak menarik perhatian. Saat imam mulai mengucapkan takbir, Fahri mengikuti gerakannya.
"Allahu Akbar," ucap Fahri pelan. Ini kali pertama ia ikut sholat berjamaah setelah sekian lama.
Selama sholat, pikirannya berkecamuk. Sesekali ia lupa gerakan, bahkan sempat salah membaca surat pendek. Tapi ia terus mencoba, meski hatinya merasa aneh. Saat sujud terakhir, entah kenapa ada rasa hangat di dadanya. Hatinya terasa lebih ringan.
"Ya Allah, kalau ini jalan yang benar, tolong kuatkan aku," doanya dalam hati.
---
Cobaan dari Teman Lama
Setelah sholat, Fahri duduk di teras masjid. Pandangannya mengarah ke langit yang perlahan berubah oranye. Beberapa orang jamaah menghampirinya.
"Assalamu'alaikum, Nak. Baru pertama kali ya ikut subuh di sini?" tanya seorang bapak tua yang sebelumnya memanggilnya masuk.
"Wa'alaikumussalam, Pak. Iya, baru kali ini," jawab Fahri canggung.
"Bapak senang lihat anak muda mau datang ke masjid subuh-subuh begini. Teruskan, ya. Jangan sampai putus," ucap bapak tua itu sambil menepuk pundaknya pelan.
Fahri tersenyum kecil. "Insya Allah, Pak."
Setelah berbincang sebentar, Fahri pamit pulang. Namun, di perjalanan pulang, ujian baru sudah menantinya.
Di ujung gang, Iwan dan dua temannya sudah menunggu. Mereka bersandar di tembok dengan ekspresi licik.
"Wih, wih, wih... ini siapa nih? Preman tobat, ya? Baru sholat sekali udah sok suci?" kata Iwan sambil terkekeh.
Fahri mempercepat langkahnya. "Nggak ada urusan sama lu, Wan," ucapnya dingin.
"Eh, eh, tunggu dulu, Bos. Kita kan temen. Masa temen dianggurin gitu aja? Heh, gue nggak peduli lu mau tobat kek, mau jadi ustaz kek. Tapi jangan sok-sokan ninggalin kita!" Iwan menarik lengan Fahri dengan kasar.
Fahri berhenti, menatap Iwan tajam. Dulu, satu tarikan seperti itu bisa membuat perkelahian meledak. Tapi kali ini, Fahri mencoba menahan diri.
"Jangan, Ri. Jangan kebawa emosi."
"Iwan, lepasin tangan gue," ucap Fahri tegas.
Tapi Iwan malah tertawa lebih keras. "Apa lu bilang, Ri? Lu udah nggak berani ngelawan, ya? Hahaha! Dasar banci!"
Fahri mengepalkan tangannya kuat-kuat. Amarahnya mendidih, tapi ia mengingat pesan Aisyah.
> “Orang kuat bukan yang menang dalam perkelahian, tapi yang mampu menahan amarahnya.”
Perlahan, Fahri menarik napas dalam-dalam. "Denger, Wan. Gue mau berubah. Kalau lu mau ngeledek, silakan. Tapi jangan ganggu gue," ucap Fahri tegas, sambil menatap Iwan dengan tatapan tajam.
Iwan terdiam, matanya membelalak. Dia tidak menyangka Fahri bisa setenang itu. Teman-temannya pun hanya terdiam.
Fahri menepis tangan Iwan dari lengannya dan melangkah pergi. Dadanya terasa sesak, tapi ia merasa menang. Menang melawan dirinya sendiri.
---
Bertemu Aisyah Lagi
Sore itu, Fahri sengaja kembali ke masjid. Ia melihat Aisyah sedang menyapu halaman masjid. Tanpa berpikir panjang, Fahri mengambil sapu lain dan membantunya.
"Bang Fahri? Tumben, bantu-bantu gini," kata Aisyah sambil tersenyum.
"Kenapa? Nggak boleh ya bantuin?" balas Fahri sambil tertawa kecil.
"Ya boleh, dong. Malah bagus," jawab Aisyah sambil terus menyapu.
Beberapa saat mereka terdiam, hanya suara sapu yang menggesek lantai. Tapi hati Fahri dipenuhi banyak pikiran.
"Aisyah," panggil Fahri.
"Iya, Bang?"
"Gue... gue pengen tanya," ucap Fahri ragu. "Kalo gue mau berubah, langkah pertama apa yang harus gue lakuin?"
Aisyah berhenti menyapu dan menatap Fahri lembut. "Langkah pertama, Abang harus ikhlas. Perubahan itu nggak bisa dipaksakan. Luruskan niat dulu."
"Luruskan niat?" tanya Fahri bingung.
"Ya, Abang niatnya buat siapa? Buat manusia? Buat aku? Kalau iya, nanti Abang bakal nyerah di tengah jalan. Tapi kalo Abang niatnya karena Allah, Insya Allah, Abang nggak akan goyah," kata Aisyah tegas.
Kata-kata itu seperti petir di telinga Fahri. Selama ini, apakah niatnya benar-benar tulus? Atau hanya ingin dipandang baik oleh Aisyah?
Fahri menghela napas panjang. "Berarti, gue masih salah ya, Aisyah?"
"Belum salah, Bang. Abang masih di jalan yang benar, cuma niatnya perlu diperbaiki," jawab Aisyah sambil tersenyum.
Fahri mengangguk pelan. Ia merasa hatinya lebih ringan. "Ya Allah, aku ingin berubah. Aku ingin benar-benar berubah," doanya dalam hati.
---
Fahri perlahan melangkah ke jalan yang benar. Ujian dari teman-temannya, ejekan dari musuhnya, dan pergulatan batinnya menjadi tantangan berat. Tapi kini, ia tahu bahwa perubahan bukan soal seberapa cepat, melainkan seberapa kuat ia bertahan.