Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah Terindah
Hari pertama gue di sekolah dimulai dengan kejutan.
Asta ada di lorong utama.
Dia cerita kalo dia sudah pindah sekolah dan sekarang bakal sekolah di sini. Pas gue tanya soal Anan, dia bilang Anan enggak bakal ninggalin sekolah lamanya karena dia cinta banget sama tim sepak bolanya. Gue sama Asta lagi mengobrol asyik tiba-tiba ada teriakan di lorong.
"Zielle! Cintaku, pujaan hati yang udah jadi milik orang lain!"
Itu si Calio, penggemar setia gue. Itu semua dimulai waktu gue belain dia dari anak-anak yang nge-bully pas kelas empat. Sejak saat itu, dia janjikan cinta abadi ke gue hampir setiap hari, sampai sekarang.
Sayangnya, gue cuma memandang dia sebagai teman, dan walaupun gue pernah bilang ke dia, dia tetap enggak paham.
"Halo, Calio," sapa gue dengan ramah karena gue memang suka dia, walaupun dia agak aneh tapi seru.
"Putri cantikku." Dia ambil tangan gue dan menciumnya dengan lebay, "Liburan kali ini berasa lama dan nyiksa banget buat gue."
Asta cuma memperhatikan kami dengan ekspresi wajah "ini apaan sih?" tapi dia diam saja, enggak komentar.
Mata Calio pindah dari muka gue ke Asta. "Dan lo siapa?"
"Dia Asta, anak baru," jawab gue sambil melepaskan tangan dari genggaman Calio. "Asta, ini Calio, dia tuh..."
"Calon suami dan bapak dari empat anaknya," potong Calio cepat.
Gue langsung jitak kepala belakangnya. "Gue udah bilang jangan ngomong gitu, orang bisa-bisa percaya beneran."
"Lo enggak tahu ya, kalau lo sering bohong, lama-lama jadi kenyataan?"
Asta ketawa kecil. "Wah, lo punya penggemar yang gigih banget."
Kita semua ketawa bareng sebelum akhirnya pergi ke kelas masing-masing.
...***...
Hari pertama sekolah selesai secepat waktu dimulai, dan gue masih enggak percaya kalau gue sudah di tahun terakhir. Mau masuk kuliah rasanya bikin gue setengah takut, setengah semangat.
Setelah mencoba kasih makan Anoi, yang ternyata enggak mau makan, gue copot seragam dan lempar ke keranjang baju kotor. Karena kebiasaan, gue jadi ingin mengintip jendela kamar, biasanya jam segini Anan baru pulang dari sekolah. Gue sering lihat dia jalan-jalan di kamarnya sambil mainkan HP.
Tapi itu enggak bakal kejadian lagi.
Gue lihat kasur gue dan kaget ada kotak kecil warna putih di atasnya.
Gue maju buat ambil kotak itu, dan tiba-tiba selembar catatan jatuh. Mata gue langsung melebar pas lihat itu kotak iPhone model terbaru.
Cepat-cepat gue baca catatan itu.
...~~🖋️...
...Biar lo enggak keluyuran tanpa HP, anggap aja ini hadiah buat semua yang udah lo alamin malam itu....
...Jangan pernah kepikiran buat balikin ini....
...Anan....
Gue ketawa kencang sampai Anoi melihati gue dengan bingung.
"Lo gila ya, pangeran?" Gue ngomong ke udara. "Lo benaran gila!"
Enggak ada alasan gue bisa terima HP ini, mahal banget. Buat dia, duit jelas bukan masalah, tapi bagaimana caranya dia masuk kamar gue sementara Anoi ada di sini?
Gue lihat anjing itu dan baru sadar kalau tadi dia enggak mau makan pas gue datang. Perutnya sudah buncit dan kenyang.
“Oh, enggaaaak! Anoi pengkhianat!"
Anoi langsung menunduk.
Gue harus balikan HP ini ke bocah idiot itu, jadi gue pakai jeans sama kaos dan keluar rumah kayak orang gila.
Gue muter dulu biar bisa sampai depan rumah Anan, enggak mungkin gue lewat belakang, gue enggak mau disangka maling terus ditembak atau apa.
Pas sampai depan rumahnya, nyali gue sempat goyah. Rumah Anan itu mewah, tiga lantai, dengan jendela bergaya klasik dan ada taman sama air mancur di depanya.
Tarik napas, Zielle!
Gue pencet bel.
Bibi cantik berambut kucing buka pintu. Kalau bukan karena dia pakai seragam pembantu, gue pasti mengira dia bagian dari keluarga.
"Selamat malam, ada yang bisa di bantu?"
"Eh, Bi... Anan ada enggak?"
"Iya, siapa ya?"
"Zielle."
"Non, demi keamanan bibi enggak bisa izinin masuk sampai dia kasih izin. Tunggu sebentar ya, bibi panggilin dia dulu."
"Oke."
Dia tutup pintu dan gue mulai mainkan kotak HP di tangan gue. Kayaknya datang ke sini bukan ide bagus. Kalau Anan bilang enggak mau ketemu, cewek itu bakal tutup pintu di muka gue.
Beberapa menit kemudian, si rambut kucing buka pintu lagi.
"Oke, Non boleh masuk. Dia nunggu di ruang game."
Ruang game?
Serius, ala-ala timezone begitu?
Sudah, jangan kebanyakan baca novel, Zielle.
Bagian dalam rumah Anan mewah banget, enggak bikin kaget, sih.
Si rambut kucing bawa gue melewati ruang tamu terus ke lorong panjang dan berhenti. "Pintunya yang ketiga di sebelah kanan."
"Makasih."
Entah kenapa gue tiba-tiba jadi deg-degan. Gue bakal ketemu Anan. Rasanya kayak sudah lama banget, padahal baru beberapa hari.
Tenang, Zielle.
Cuma balikin HP, habis itu lo pulang.
Masuk, kasih HP, cabut.
Gampang.
Gue ketuk pintu dan suara yang gue kangenin teriak, "Masuk!"
Gue buka pintu pelan-pelan dan intip ke dalam. Enggak ada cambuk atau benda-benda aneh, aman, lah. Ruang game ini biasa saja, ada meja biliar, TV 75 Inch sama beberapa PS di bawahnya.
Anan duduk di sofa depan TV, pegang stick-PS4, main game tembak-tembakan. Dia enggak pakai baju, cuma pakai celana sekolahnya, rambutnya acak-acakan gara-gara headphone yang melilit kepalanya, dan dia lagi gigit bibir sambil fokus main.
Kenapa lo harus seganteng ini sih, Anan?
Kenapa?
Gue sampai lupa alasan gue datang ke sini.
Gue berdeham, merasa canggung.
"Guys, gue balik sebentar lagi," kata Anan ke mic di headphone-nya. "Iya, iya, gue tahu, gue ada tamu."
Dia keluar dari game-nya dan melepas headphone. Mata kita ketemu, dan napas gue langsung berhenti. "Biar gue tebak... lo datang buat balikin HP ini?"
Dia berdiri, bikin gue merasa kecil kayak biasanya.
Kenapa sih harus enggak pakai baju?
Ini kan enggak sopan buat menyambut tamu.
Akhirnya gue nemu suara gue lagi. "Iya, gue makasih banget, tapi ini terlalu berlebihan."
"Ini hadiah, dan nolak hadiah itu enggak sopan."
"Ini bukan ulang tahun gue, jadi enggak ada alasan buat ngasih hadiah," gue kasih tangan yang pegang kotak itu ke dia.
"Lo cuma nerima hadiah waktu ulang tahun aja?"
Iya, dan kadang di hari itu pun enggak dapat apa-apa.
"Udah, ambil aja." Anan cuma tatap gue dan bikin gue ingin kabur dari situ. "Zielle, lo udah ngalamin hal buruk malam itu dan kehilangan sesuatu yang lo dapetin dengan susah payah."
"Kok lo tahu?"
"Gue enggak bego. Dengan gaji nyokap lo sama semua tagihan yang harus dia bayar, lo enggak mungkin bisa beli HP yang lo punya. Gue tahu lo beli itu sendiri, pakai duit hasil kerja keras lo. Maaf gue enggak bisa cegah itu dicuri, tapi gue bisa kasih ganti. Biarkan gue kasih ini, jangan keras kepala."
"Lo tuh..."
“Apa?"
"Lo bilang enggak mau ada apa-apa sama gue, tapi lo ngelakuin hal kayak gini. Maksud lo apa, Anan?"
"Gue enggak maksud apa-apa, gue cuma lagi baik aja."
"Kenapa? Kenapa lo baik ke gue?"
"Gue enggak tahu."
Gue mendengus. "Lo emang enggak pernah tahu apa-apa."
"Dan lo selalu pengen tahu semuanya." Mata biru itu tatap gue dengan tajam saat dia mendekat.
"Gue mulai mikir lo emang sengaja bikin gue bingung."
Anan kasih gue senyuman sombongnya yang bikin dia kelihatan keren banget. "Lo yang bikin diri lo bingung sendiri. Gue udah jelas banget sama lo."
"Iya, jelas banget, Tuan Baik Hati."
"Apa salahnya, sih jadi baik?"
"Karena itu bikin gue susah lupain lo."
Anan angkat bahu. "Bukan urusan gue."
Kepala gue mendidih, "Nah, si labil mulai muncul."
Anan kerutkan alisnya. "Lo manggil gue apa?"
"Labil, mood lo berubah terus-terusan."
"Kreatif banget, lo." Nada sarkas mengudara sebelum dia lanjut ngomong, "Itu bukan salah gue kalau lo suka kasih julukan ke semua orang."
"Semua selalu salah gue, kan?"
"Astaga, kenapa sih lo drama banget, Zielle?"
Kepala gue makin berkobar. "Kalau gue ganggu hidup lo, kenapa lo enggak jauhin gue aja?"
Anan meninggikan suaranya. "Lo yang nelpon gue! Lo yang nyari gue!"
"Karena gue enggak hafal nomor lain!"
Gue melihat kekecewaan di wajahnya, tapi gue terlalu marah buat peduli. "Lo kira gue bakal nelpon lo kalau gue punya pilihan lain?"
Dia mengepalkan tangan di samping, dan sebelum dia bisa ngomong apa-apa, gue lempar kotak HP itu ke arahnya. Dia menangkapnya di udara. "Ambil aja, tuh, HP bodoh lo dan jauhin gue."
Anan melempar kotak itu ke sofa dan ambil langkah panjang ke arah gue. "Lo enggak tahu terima kasih! Nyokap lo enggak ngajarin sopan santun, ya?"
Gue dorong dada telanjangnya. "Dan lo itu tolol!"
Anan pegang lengan gue. "Gila lo!"
Gue tepuk tangannya biar lepas. "Labil!"
Gue balik badan, pegang gagang pintu buat keluar. Anan tahan gue. Dia tarik lengan gue dan putar badan gue biar balik menghadap dia lagi.
"Lepasin gue! Lepasin!"
Tiba-tiba bibirnya yang lembut mendarat di bibir gue.
Dan di sini, di ruang game ini, Anan Batari untuk pertama kalinya mencium gue.