Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*31
Melia tersenyum ketika dirinya sudah berada di kamar. Ingatan kejadian malam ini membuat hatinya merasa sangat geli. Mulai dari wajah ibu dan anak yang sangat tak percaya dengan apa yang mata mereka lihat, hingga wajah Ricky yang sedang terkejut ketika tahu barang yang akan dilelang kan hilang. Sungguh, malam ini adalah malam yang sangat menyenangkan bagi Melia.
"Kalian baru menerima salam pembukaan saja sudah menampakkan wajah seperti itu. Bagaimana kalau pembalasan yang sesungguhnya? Apa nanti, wajah kalian beneran lenyap karena berpindah dari tempatnya?"
"Ha ... dasar orang-orang yang selalu menikmati hidup dengan kenyamanan. Sekalinya di pukul dengan kerasnya kenyataan, langsung berasa ingin mati. Kasihan sekali," gumam Melia lagi.
Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian Melia.
"Ya. Tunggu sebentar."
Pintu Meli buka. Eh ... tangan mama tiri langsung ingin menyentuh pipi Melia. Langsung nyosor aja mau nampar itu pipi mulus yang saat ini baru menampakkan diri di depan pintu.
Sontak, tangan itu langsung Melia tahan.
"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba saja main kasar?"
"Jangan pura-pura, Melia. Kamu sengaja kan buat kita malu?"
"Ha? Apa maksudnya?"
"Kamu!"
"Kenapa kamu tidak datang dengan pakaian yang telah aku sediakan?"
"Oh, maaf. Bukan aku tidak ingin menghargai usaha tante dan adik tidak sah. Aku-- "
"Melia!"
"Jaga bicaramu. Anakku-- "
"Apa!"
"Dia memang anak tidak sah, bukan?"
"Melia!" Kali ini, suara yang menggelegar itu datang dari papanya. Setelah si mama tiri angkat bicara, kali ini gantian, papanya yang memanggil namanya dengan nada tinggi.
Kedatangan si papa tentu tidak akan Citra sia-sia kan. Gegas, dia beranjak untuk menyongsong sang papa dengan wajah sedih yang sepertinya sedang sangat teraniaya.
"Papa."
"Kak Melia, hiks. Dia sungguh keterlaluan, Pah."
Melia tidak bergeming. Rasanya terlalu malas untuk dirinya ikut dalam permainan mereka. Keluarga yang tidak pantas untuk diakui sebagai keluarga.
"Melia. Kenapa kamu jadi begini, ha?"
"Jadi ... begini? Begini bagaimana menurut papa? Sungguh, aku sangat tidak mengerti," ucap Melia santai. Seolah, tidak ada beban sedikitpun yang sedang dia rasakan saat ini.
Si papa semakin tidak bisa menguasai diri. Amarahnya semakin memuncak. Dia pikir, anaknya akan merasakan perasaan bersalah. Eh ... taunya, Melia malah terlihat tenang seolah tidak merasakan sedikitpun perasaan yang papanya harapkan.
"Kenapa bilang adikmu anak tidak sah, Melia!"
"Karena itu kenyataannya, Pa."
"Melia!"
"Iya." Eh ... Melia masih menjawab panggilan papanya yang jelas-jelas sedang sangat kesal.
"Kamu!" Si papa tentu saja semakin naik emosinya. Dia tunjuk wajah Amelia dengan telunjuknya.
"Jangan kurang ajar kamu, Melia!"
Sontak, Melia yang terlihat santai langsung memasang wajah serius. Kali ini, wajah tenang dia ubah dengan cepat. Tatapan mata Melia tajam menusuk.
"Apa yang salah dengan kata-kata yang aku ucapkan, Pa? Adik ku ini memang anak tidak sah yang papa bawa sesaat setelah mama meninggal, bukan?"
"Melia!"
Saat ucapan itu keluar, tangan papanya yang sebelumnya menunjuk wajah Melia sontak berubah. Orang tua itu sangat marah sampai lupa akan kesalahan yang telah dia perbuat pada Melia sebelumnya. Orang tua itu langsung mengayunkan tangannya untuk menampar Melia.
Oh, tidak akan pernah Melia izinkan tangan papanya menyentuh kulitnya sedikitpun. Apalagi sampai menampar wajahnya dengan keras. Karena sejak kecil, dia sudah kehilangan sosok seorang ayah. Jadi, papanya tidak berhak memukul dirinya meski darah orang tua itu mengalir di dalam tubuhnya.
Tatapan mata Melia semakin tajam. Tangan papanya kini ada dalam genggaman. Sedikitpun tidak terlihat rasa sakit dari tatapan mata Melia saat ini. Karena rasa sakit akan perlakuan tidak adik sang papa sudah tidak bisa lagi mempengaruhi hatinya. Karena sejak kecil, dia sudah merasakan rasa sakit itu hingga hatinya mati rasa.
"Jangan sesekali berniat untuk menyentuh diriku, Pa. Jika tidak, aku tidak segan untuk memutuskan hubungan antara anak dengan orang tua pada papa."
"Melia, kamu .... "
"Aku bicara yang sesungguhnya, Pa. Apa papa tidak punya rasa bersalah sedikitpun padaku? Sesaat setelah mama pergi, di saat hatiku masih terluka akan kehilangan mama, papa bawa istri beserta anak tidak sah papa pulang ke rumah. Apa papa tidak punya perasaan? Di mana hati nurani papa sebenarnya, ha?"
Orang tua itu tidak bisa berkata-kata. Amarahnya kini padam seketika. Sementara mama tiri dan juga anak tidak sahnya terlihat sangat terkejut akan apa yang saat ini sedang terjadi. Mereka sangat amat tidak percaya kalau Melia akan mengungkit asal usul dari kejadian di masa lalu.
Ketika melihat tangan suaminya melemah, mama tiri langsung angkat bicara.
"Mas."
Saat tidak mendapatkan respon sedikitpun, ma tiri langsung mengalihkan tujuannya.
"Melia, tante tahu tante salah. Tapi, jangan sakiti Citra. Citra tidak tahu apa-apa, Mel. Tante mohon padamu, jangan targetkan Citra, Meli." Mama tiri berucap sambil menangis tentunya. Tak lupa, tangan Melia dia genggam.
Ucapan si mama tiri membuat hati Meli terasa geli. Sontak, gadis yang sudah mati rasa itu langsung tertawa. "Ha ha ha."
"Dia? Tidak tahu apa-apa?" Melia berucap sambil menunjuk wajah Citra. "Oh, benarkah dia tidak tahu apa-apa?"
"Tidak. Kalian ibu dan anak sama saja, bukan? Sama-sama licik dan sama-sama jahat. Kalian pantas mati sebenarnya supaya tidak ada lagi orang jahat yang mengganggu ketenangan hidup ini."
Melebar mata papa Meli sekarang. Ucapan Meli barusan membangkitkan kembali rasa kesal yang ada dalam hatinya. Dia pikir, mereka memang salah. Tapi Meli juga tidak bisa seketerlaluan seperti saat ini.
"Melia, cukup! Apa yang kamu katakan? Kenapa kamu jadi liar begini, Melia?"
Meli menatap tajam papanya kembali.
"Liar? Aku? Liar?"
"Ha, kalo aku papa sebut liar, lalu apa sebutan yang pantas untuk anak tidak sah papa itu, hm?"
"Gadis yang sudah merebut tunangan kakaknya sendiri. Dengan tidak punya perasaan bersalah sedikitpun, menggantikan posisi kakaknya menjadi tunangan dari calon kakak iparnya itu."
"Apa yang pantas untuk dia, Pa!"
"Melia! Aku menggantikan dirimu karena tuan muda sendiri yang meminta. Bukan aku yang menginginkan," ucap Citra dengan lantang membela diri.
Melia menatap lekat wajah Citra. Setidaknya, apa yang Melia katakan itu benar adanya. Memang, pertukaran pertunangan bukan murni salah Citra. Karena jika Ricky tidak berniat menukar, maka Citra juga tidak akan menjadi tunangan Ricky saat ini, bukan?
"Kamu benar juga ya, Cit. Sayangnya, akan lebih baik jika kamu punya sedikit saja rasa bersalah. Jika kamu tidak ingin, maka kamu bisa menolak. Bukan menerimanya dengan lapang dada. Bahkan, dengan sangat amat bahagia. Miris sekali."
"Tapi, Meli. Tidak ada yang berani menolak permintaan tuan muda Amerta. Jika dia ingin menggantikan calon tunangannya. Maka salahnya ada pada dirimu. Kenapa dia malah memilih Citra, dan bukannya kamu?" Mama tiri membela anaknya dengan tegas.
tp karena mereka bodoh maka akalnya tak sampai kesitu 😀