Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keterangan Mbah Min
Pagi beku dengan rintik gerimis yang dibarengi kabut tebal menutup indera penglihatan. Petugas kepolisian dikerahkan memeriksa villa atas bukit di ujung desa Karang. Tim kepolisian resort kota dibagi menjadi dua. Tim satu dengan Tabah sebagai penunjuk arah menyisir area sekitar villa. Sedangkan tim dua dengan jumlah personil yang lebih sedikit dan sebagian besar petugasnya adalah perempuan berada di balai desa untuk meminta keterangan perangkat desa. Andre tergabung dalam tim kedua.
Kepala desa Karang rupanya seorang laki-laki yang sudah terlihat tua dengan perawakan kurus berambut putih. Tulang pipinya menonjol dengan garis rahang yang tegas mengisyaratkan dia adalah pribadi yang tegas dan galak. Kepala desa itu terkenal dengan julukan Mbah Min.
Andre dan seorang petugas perempuan bernama Lilis menghadap kepala desa di ruangannya. Mbah Min duduk di kursi yang cukup unik. Kursi kayu dengan ukiran bergambar harimau di sandarannya yang dipelitur cokelat tua mengkilap. Terasa kontras dengan kondisi balai desa yang berdebu.
"Mbah, siapa pemilik dari villa terbengkalai di ujung desa?" tanya Lilis setelah menyiapkan aplikasi pencatat di gadgetnya.
"Lahan disana sudah menjadi milik desa, aset daerah. Kami sebenarnya ingin merevitalisasi villa tersebut, tapi Anda sudah lihat sendiri kan kondisi desa seperti ini. Hanya tersisa para lansia saja. Rasanya kami tidak lagi membutuhkan apapun. Hanya menunggu hingga ajal datang mengambil kami satu persatu, dan desa Karang kembali jadi hutan," jawab Mbah Min sinis. Andre merasakan hawa dingin menerpa kulitnya ketika kepala desa tua itu berbicara.
"Jawaban Anda terasa sangat muram Mbah," sahut Lilis.
"Semua yang berusia produktif di desa ini memilih untuk pergi. Dulu ada yang namanya program transmigrasi bedol desa, lebih dari separuh penduduk sini pergi. Banyak yang bilang hidup di desa itu nyaman tapi tidak mengenyangkan. Kini desa hanya dihuni oleh para lansia yang hanya butuh makan saja. Anda bisa melihat kan, jalanan pun terbengkalai? Semua warga tidak ada yang butuh jalanan bagus. Tidak ada lagi yang peduli soal pembangunan. Semangat hidup sudah lama mati disini." Mbah Min sekali lagi mengucapkan kalimat bernada pesimis.
Apa yang diucapkan oleh Mbah Min, dibenarkan oleh Andre dalam batinnya. Dia melihat seluruh perangkat desa adalah orang-orang yang tinggal menunggu waktu untuk purna tugas. Dan selama dua kali kunjungan ke desa Karang, Andre sama sekali tidak berpapasan dengan satupun warga desa yang mengendarai kendaraan bermotor.
"Kemarin petugas kepolisian menemukan mayat di villa ujung desa. Mayat seorang pemuda yang berdasar kartu identitasnya memang bukan warga desa sini," ucap Lilis mulai mengajukan inti pertanyaan. Dia menyodorkan sebuah poto pada Mbah Min.
"Apakah Anda mengenalnya?" tanya Lilis penuh selidik. Mbah Min melihat poto sekilas. Tampak tidak berminat.
"Tentu saja tidak," jawab Mbah Min singkat.
"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, laki-laki dalam poto ditemukan tewas di villa yang Anda akui sebagai aset pemerintah desa. Tidak ada kendaraan yang terlihat di villa dan menurut rekan kami ada tanda-tanda laki-laki ini tinggal di dalam villa selama beberapa hari. Bagaimana mungkin Anda sebagai kepala desa tidak mengetahuinya sama sekali? Jarak balai desa dengan villa tidak terlalu jauh. Seharusnya pemerintah desa menyadari jika ada aktivitas mencurigakan disana," desak Lilis tegas dan lugas. Andre kagum dengan petugas unit reskrim dari kantor resort kota, terlihat lebih berpengalaman dibandingkan dirinya.
"Ya memang saya nggak kenal. Dan saya merasa tidak ada aktivitas apapun di villa itu. Jika memang ternyata terjadi kasus kriminal, saya mempersilahkan untuk dilakukan pemeriksaan pada aset desa tersebut," bantah Mbah Min santai.
Lilis terlihat kesal. Andre pun sebenarnya merasa geram dengan kepala desa yang terasa tak peduli dengan sebuah kasus yang terjadi di desanya. Namun mau bagaimana lagi, sebelumnya sudah disinggung bahwa desa Karang hanyalah desa mati yang dihuni oleh para lansia tanpa harapan hidup untuk kemajuan.
"Baiklah. Ada satu orang lagi yang ditemukan oleh pihak kepolisian kemarin. Dia seorang perempuan tanpa identitas. Apakah Anda mengenalnya?" Lilis menyodorkan poto kedua. Andre mencuri pandang pada poto perempuan yang terlihat mengenakan baju putih. Perempuan asing cantik yang kemarin terus menempel pada Andre.
Mbah Min menerima poto dari Lilis. Seketika bola matanya tampak membulat. Ekspresinya berubah tegang. Di mata Andre, kepala desa itu sedang ketakutan.
"Sing wes lungo lalekno, sing durung teko entenono, sing wes ono rumatono," ucap Mbah Min lirih. Andre teringat dengan perkataan Wariman kemarin. Sebuah semboyan yang katanya sering diucapkan di desa Karang.
"Anda mengenalnya?" tanya Lilis sekali lagi. Mbah Min menghela napas panjang.
"Tidak." Mbah Min menggeleng.
"Anda tampak ragu. Dan saya perhatikan ekspresi Anda berubah saat melihat poto. Saya mohon Anda jangan menutupi sesuatu dari kepolisian. Saya sangat berharap desa mau bersikap kooperatif membantu penyelidikan. Mumpung kasus ini belum terendus media. Tentu Anda tidak ingin desa Karang terkenal sebagai tempat pembuangan mayat," desak Lilis. Andre benar-benar merasa tidak berguna saat ini. Hanya diam menyimak proses pencarian informasi. Sedikit menyesal kenapa dia tidak ikut Tabah saja menyisir sekitar villa terbengkalai. Mungkin tenaganya lebih dibutuhkan disana.
"Ah tidak, saya tidak mengenalnya. Hanya saja saya sedikit terkejut karena orang yang ada di dalam poto sedikit mirip dengan seseorang di masa lalu. Hanya mirip saja," jawab Mbah Min mengibaskan tangannya.
"Pihak desa tidak menutupi apapun. Ya memang beginilah adanya. Kami benar-benar tidak tahu menahu soal mayat di villa. Kami merasa tidak memiliki tamu orang yang ada di dalam poto. Bahkan saya bisa memastikan, kalaupun Anda bertanya pada seluruh penduduk desa yang jumlahnya tidak seberapa ini, pasti mereka tidak ada yang mengenalinya. Pada intinya kami tidak ada hubungannya dengan kasus yang sedang Anda selidiki," pungkas Mbah Min tersenyum. Sebuah senyuman yang terlihat licik dan terasa sedikit mengejek.
Lilis menghela napas panjang, menoleh pada Andre. Sepertinya petugas reskrim kepolisian resort kota itu merasa sia-sia menanyai sang kepala desa. Tidak ada kemajuan dalam penyelidikan. Lilis dan Andre pun pamit undur diri.
"Bukankah Mbah Kades terlihat menyembunyikan sesuatu?" tanya Lilis saat sampai di luar balai desa. Andre duduk di kursi panjang dari bambu yang disandarkan pada pagar lusuh menghadap jalanan.
"Entahlah, Pak Tua yang misterius," sambung Andre.
"Kita tunggu teman-teman yang masih menanyai para kasun di dalam. Setelahnya kita kembali ke kantor," ucap Lilis setengah memberi perintah.
"Bagaimana dengan tim yang memeriksa villa? Kita tidak menunggu mereka?" protes Andre.
"Tidak perlu. Lagipula perempuan aneh yang kamu temukan kemarin sama sekali tidak mau membuka mulutnya. Karena kudengar kemarin dia menempel terus padamu, siapa tahu dia akan bersedia memberi keterangan saat melihatmu," jelas Lilis. Ekspresinya tampak kesal.