Suatu hari seorang ksatria yang kehilangan ingatannya terbangun di dalam sebuah rumah dan ternyata itu adalah rumah seorang gadis cantik yang buta bernama Alaina alaisa dan seekor gagak yang bisa berbicara.
Setelah berbincang-bincang akhirnya sang Ksatria di beri nama oleh alaina yaitu ali, mereka pun akhirnya hidup bersama.
Namun tanpa di sadari, awal dari pertemuan itu adalah takdir dari tuhan. karena mereka adalah orang terpilih yang akan menyelamatkan bumi dari ancaman iblis szamu yang akan bangkit.
Inilah kisah ali dan alaina yang akan memimpin umat manusia memerangi kedzaliman iblis szamu dan pengikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukron bersyar'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan gelap sebelah barat boulevard
keadaan telah kembali normal, sebagian warga boulevard telah pulih dan sebagiannya lagi masih membutuhkan perawatan, karena kondisi fisik dan mentalnya terganggu. Mereka semua berterimakasih kepada kami karena telah menyelamatkan desa ini dari sebuah kutukan. Kami pun bertanya-tanya kepada mereka semua, soal penyebab kenapa bisa desa ini menjadi tempat yang di penuhi kutukan.
Salah seorang pria mengatakan bahwa, "awal mulanya karena sekelompok bandit singgah ke desa ini dengan beberapa anggotanya terluka dan mengalami gejala aneh. Mereka mengancam semua penduduk, karena tidak ada nya kekuatan untuk melawan akhirnya kami tunduk di tangan mereka, akan tetapi selang beberapa hari, anggota mereka yang terluka meraung-raung kesakitan dan mereka menyerang dan menggigit siapa saja yang mendekatinya meskipun itu teman mereka sendiri, dan yang terkena gigitan tersebut, akan bertingkah laku yang sama. Kejadian tersebut membuat sebagian kelompok mereka meninggalkan kami dan desa ini, hingga pada akhirnya kami semua terpapar kutukan tersebut."
"Oh begitu, jadi dapat di simpulkan bahwa para bandit itu lah penyebabnya." Ujar Reno.
"Kawanan Layne maksudmu?" Tanya ku.
"Tapi sepertinya bukan mereka penyebab utamanya, karena jika kita simak dengan seksama, bahwa dari awal pasukan Layne juga tidak mengetahui bahwa beberapa pasukannya yang terluka itu sudah terkena kutukan, jadi dapat di simpulkan mereka juga korban dari paparan kutukan ini." Ujar Alaina menjelaskan opininya.
"Tapi, itu sudah tidak penting lagi, sebaiknya kita bakar seluruh bangunan yang ada disini, dan membangun tempat tinggal sementara, karena bangunan-bangunan ini telah terpapar oleh kutukan, dan itu akan sangat buruk jika di tempati, mengingat dari riwayat ceritanya bahwa kutukan itu menular, jadi lebih baik kita hanguskan pemukiman lama, dan membangun ulang." Ujar Alaina lagi.
Awalnya sebagian para penduduk desa yang kondisinya telah pulih menolak untuk membumi hanguskan rumah-rumah mereka, akan tetapi setelah kita yakinkan, dan kami menawarkan bantuan untuk ikut membangun ulang mereka pun setuju.
Malam itu, desa Boulevard diselimuti cahaya api unggun besar. Rumah-rumah yang dulunya menjadi tempat tinggal kini berdiri dalam kobaran api, lenyap menjadi abu. Tangis dan keheningan bercampur menjadi satu. Meski berat, para penduduk akhirnya menerima kenyataan pahit ini demi memastikan keselamatan bersama.
Setelah api padam, kami segera membuat rencana pembangunan desa yang baru. Alaina mengambil alih untuk menyusun strategi. “Kita akan membangun tempat tinggal sementara terlebih dahulu. Jangan pikirkan rumah permanen dulu, kita harus pastikan area ini benar-benar bersih dari pengaruh kutukan,” katanya tegas.
Aku dan Reno membantu menenangkan penduduk yang terlihat cemas dan kelelahan. “Kami di sini untuk membantu kalian,” ucapku, mencoba memberi semangat. Reno menambahkan, “Kita akan mulai dari nol, tapi setidaknya kita bisa melakukannya bersama-sama.”
Beberapa penduduk mulai menceritakan kisah-kisah mereka selama masa kutukan. Ada yang kehilangan keluarga, ada yang merasa bersalah karena sempat menyerang tetangga mereka sendiri. Kutukan itu tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga menggerogoti jiwa.
“Kita harus mencari tahu asal-usul kutukan ini,” bisikku kepada Alaina ketika kami sedang memantau daerah sekitar. “Kalau tidak, ini bisa terjadi lagi di tempat lain.”
Alaina mengangguk. “Benar. Aku mendengar rumor tentang hutan gelap di sebelah barat. Beberapa penduduk menyebutnya tempat terlarang. Mungkin kita bisa mulai dari sana.”
Namun, Reno tampak tidak setuju. “Bukankah itu terlalu berisiko? Kita bahkan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Bagaimana kalau kita fokus membangun dulu?”
“Reno, kalau kita hanya membangun tanpa memutus akar masalahnya, kutukan ini bisa kembali kapan saja,” sahutku.
“Baiklah,” ujar Reno akhirnya. “Tapi kita harus membawa persiapan. Kalau itu benar-benar sumber kutukan, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi.”
Malam itu, kami memutuskan untuk pergi ke hutan gelap keesokan harinya. Alaina mulai memetakan rute dan mencari informasi tambahan dari penduduk desa. Di sisi lain, aku tak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang semakin menguat. Ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang lebih besar dari yang kami bayangkan.
Keesokan harinya, kami berkumpul di tepi desa, siap untuk memulai perjalanan menuju hutan gelap. Matahari baru saja terbit, tapi langit yang suram dan kabut tipis di atas tanah sudah memberikan tanda bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Penduduk desa yang tersisa menyaksikan kami dengan tatapan penuh kekhawatiran, seakan mereka tahu bahwa langkah kami menuju hutan itu adalah langkah menuju misteri yang lebih besar.
"Jangan khawatir, kami akan kembali," janjiku pada mereka, meskipun aku sendiri tidak begitu yakin dengan kata-kata itu. Alaina menatapku dengan tatapan penuh tekad, sementara Reno memeriksa perlengkapannya sekali lagi, memastikan semua persiapan untuk perjalanan sudah siap.
Kami berangkat, berjalan melewati ladang yang terbakar dan menuju hutan yang katanya terlarang itu. Semakin kami mendekati hutan, semakin gelap suasana di sekitar kami. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi menghalangi cahaya matahari, menciptakan bayangan yang mengerikan. Seiring perjalanan kami, semakin terasa adanya sesuatu yang aneh di udara, seolah ada kekuatan yang mengintai di balik pepohonan yang rapat.
"Perasaanmu?" tanya Reno, berjalan di sampingku.
"Entahlah... ada sesuatu yang aneh di sini. Seperti ada yang sedang mengawasi kita," jawabku, mencoba menenangkan diri meski perasaan gelisah terus mendera.
Alaina yang memimpin di depan tampak sangat fokus, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. "Hutan ini bukan tempat yang biasa. Kalau kutukan itu benar berasal dari sini, kita harus siap menghadapi segala kemungkinan."
Kami terus berjalan lebih dalam ke dalam hutan, mendengar suara-suara aneh yang datang dari kejauhan, seperti bisikan yang mengelilingi kami. Tiba-tiba, langkah kami terhenti ketika kami sampai di sebuah clearing kecil di tengah hutan. Di tengahnya, ada sebuah batu besar yang tampaknya telah ada di sana selama berabad-abad. Batu itu terukir dengan simbol-simbol kuno yang tampak memancarkan energi gelap.
"Saya rasa kita sudah sampai," kata Alaina, menatap batu itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Ini mungkin tempat yang disebut-sebut oleh penduduk desa. Mungkin ada sesuatu di sini yang mengikat kutukan itu."
Aku merasa ada ketegangan di udara, seolah-olah energi di sekitar kami mulai berubah. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku, lebih kepada diri sendiri daripada kepada Alaina.
"Ini akan sulit, tapi kita harus mencoba untuk memecahkan rahasia di balik simbol-simbol ini. Bisa jadi ini kunci untuk menghentikan kutukan," jawab Alaina, suaranya tetap tenang meskipun ada ketegangan yang jelas terasa.
Tiba-tiba, batu besar itu mulai bergetar, seolah merespon kehadiran kami. Tanpa peringatan, simbol-simbol yang terukir di permukaannya bersinar terang, dan sebuah suara dalam bahasa yang tidak kami mengerti terdengar menggelegar di udara. Suara itu begitu keras sehingga membuat tubuh kami bergetar.
"Sesuatu sedang terbangun," gumam Reno dengan cemas.
Sebelum kami bisa bergerak, tanah di sekitar batu itu mulai retak, dan muncul bayangan gelap yang bergerak cepat di antara pepohonan. Seakan sesuatu yang jahat baru saja terbangun dari tidurnya. Kami pun bersiap, menyadari bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan bahaya yang kami hadapi lebih besar dari yang pernah kami bayangkan.
Bayangan gelap itu semakin mendekat, bergerak cepat antara pohon-pohon besar yang tampak seperti raksasa yang menjulang. Tanah berguncang di bawah kaki kami, dan udara semakin berat, seakan mempengaruhi pernapasan kami. Aku menatap Alaina dan Reno, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.
"Siapa pun atau apa pun yang mengendalikan ini, mereka pasti tidak senang kita datang ke sini," kata Alaina dengan suara rendah, suaranya hampir tenggelam oleh getaran tanah yang terus mengalir. "Bersiaplah. Ini bukan sekadar kutukan."
Reno menggenggam pedangnya lebih erat. "Apa yang harus kita lakukan? Batu itu—ada yang aneh dengan batu itu."
Aku menatap batu besar yang kini memancarkan cahaya yang semakin terang. Simbol-simbol kuno itu mulai berputar, membentuk pola yang lebih rumit, seolah-olah batu itu hidup dan ingin mengungkapkan sesuatu. Suara itu, yang tadi terdengar seperti bisikan, kini berubah menjadi teriakan yang mengerikan, bergema di sekitar kami.
Tanah di sekitar kami mulai bergelembung, dan dari celah-celah itu, makhluk-makhluk hitam muncul. Mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seakan tubuh mereka terbuat dari bayangan. Wajah mereka tak tampak jelas, hanya bayangan hitam yang mengerikan dengan mata menyala yang menatap kami.
"Apa itu?!" teriak Reno, mundur beberapa langkah.
"Itu… mereka!" seruku dengan ketegangan yang memuncak. "Makhluk yang ditakuti oleh penduduk desa, yang katanya muncul saat kutukan itu menyebar. Mereka bukan manusia lagi, mereka… menjadi bagian dari kutukan itu."
Alaina tidak membuang waktu, segera mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya dan mulai mencari sesuatu di dalamnya. "Aku tahu ini akan terjadi. Ini adalah entitas bayangan, makhluk yang diciptakan oleh kutukan yang kuat. Untuk mengalahkannya, kita harus menghancurkan sumber energi mereka—batu itu."
"Bagaimana kita bisa menghancurkan batu itu? Ini terlihat seperti… seperti pintu ke dunia lain," jawab Reno, matanya tertuju pada batu yang bersinar terang. "Tidak mudah."
Salah satu makhluk bayangan itu melompat ke arah kami dengan kecepatan yang luar biasa. Aku tidak sempat menghindar, dan tiba-tiba makhluk itu menubrukku, menghantam tubuhku dengan kekuatan yang membuatku terjatuh ke tanah. Jantungku berdegup kencang, seolah detakannya bisa didengar di seluruh hutan. Wajah makhluk itu tiba-tiba muncul di hadapanku, matanya yang bercahaya merah memandang tajam, seakan ingin menelan seluruh jiwaku.
Alaina segera bergerak, melontarkan energi dari tangannya yang membentuk lingkaran cahaya yang menyilaukan. "Tahan!" serunya. Sinar itu mengenai makhluk tersebut, namun hanya membuatnya terhuyung, tidak menghancurkannya.
"Jangan beri mereka waktu!" teriak Alaina lagi, melangkah maju dengan lebih percaya diri. "Kita harus cepat!"
Dengan sepenuh kekuatan, aku menarik pedangku dan menebas salah satu makhluk yang mencoba menyerang Reno. "Asura Kai" Pedang ku bersinar terang, membelah bayangan itu, tetapi hanya sesaat, karena bayangan itu kembali menyatu, seperti air yang mengalir kembali ke dalam tubuhnya. Kami semakin dikelilingi, dan rasanya tak ada tempat untuk bersembunyi.
"Reno! Alaina!" seruku, berusaha tetap fokus. "Kita harus menghancurkan batu itu! Itu satu-satunya cara!"
Reno mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai lelah dan penuh luka. "Aku akan membuka jalan! Alaina, kau harus membuat batu itu tidak bisa memancarkan cahaya lagi!"
Alaina memejamkan mata, mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya. "Aku tahu caranya," jawabnya dengan percaya diri. "Jaga dirimu."
Tiba-tiba, Alaina memfokuskan semua energinya pada batu besar itu, menciptakan sebuah medan energi yang sangat kuat. Cahaya dari batu itu mulai meredup, namun bayangan-bayangan itu semakin agresif, seolah mencoba menghentikan kami dengan cara apapun. Aku berlari menuju batu itu, berusaha menebas setiap bayangan yang mencoba menghalangi jalan.
"Segera!" teriak Alaina, dengan suara yang mulai gemetar.
Aku mencapai batu itu, dan dengan satu tebasan pedang yang penuh kekuatan, aku menghantam permukaan batu itu "Teknik pedang ganda, tebasan hampa". Batu itu bergetar hebat, dan tiba-tiba seluruh hutan mengguncang. Bayangan-bayangan itu berteriak keras, seakan merasakan kekalahan. Batu itu retak, dan dari retakannya, energi gelap itu mulai mengalir keluar, melepaskan diri dari kutukan yang menahannya.
Dalam sekejap, batu itu hancur berkeping-keping, dan dengan itu, bayangan-bayangan yang mengerikan pun lenyap, menghilang dalam kabut tebal yang menghilang dengan cepat. Kami berdiri terengah-engah di tengah clearing itu, menyaksikan hancurnya sumber dari kutukan yang mengancam desa.
Tapi meski kami berhasil menghancurkannya, aku tahu ini belum berakhir. Ada banyak lagi misteri yang harus diungkap, dan kutukan ini mungkin belum sepenuhnya hilang. Namun, untuk saat ini, kami telah berhasil menghentikan kegelapan yang melanda desa Boulevard.
mampir di novelku juga ya thor jika berkenan/Smile//Pray/