Samael dan Isabel, dua bersaudara yang sudah lama tinggal bersama sejak mereka diasuh oleh orang tua angkat mereka, dan sudah bersama-sama sejak berada di fasilitas pemerintah sebagai salah satu dari anak hasil program bayi tabung.
Kedua kakak beradik menggunakan kapsul DDVR untuk memainkan game MMORPG dan sudah memainkannya sejak 8 tahun lamanya. Mereka berdua menjadi salah satu yang terkuat dengan guild mereka yang hanya diisi oleh mereka berdua dan ratusan ribu NPC hasil ciptaan dan summon mereka sendiri.
Di tengah permainan, tiba-tiba saja mereka semua berpindah ke dunia lain, ke tengah-tengah kutub utara yang bersalju bersama dengan seluruh HQ guild mereka dan seisinya. Dan di dunia itu, di dunia yang sudah delapan kali diinvasi oleh entitas Malapetaka, orang-orang justru memanggil mereka; Kiamat Dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif R. F., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#11 – Incident in Sylvandor
Malam di Sylvandor kini benar-benar beku. Kota yang biasanya berpendar terang oleh sihir, kini tenggelam dalam kegelapan yang membekukan.
Para penduduk nya, yang sudah terbiasa dengan kenyamanan sihir yang menghangatkan di setiap sudut kota, kini terpaksa berkumpul di rumah-rumah mereka yang dingin, berusaha bertahan dari suhu kubah sentral yang tak kenal ampun. Semua sumber sihir yang biasanya disuplai dari pos 9, tempat Haera memimpin, kini terputus begitu matahari palsu padam.
Pos 9, yang sebelumnya menjadi tulang punggung perlindungan dan sumber energi bagi Sylvandor, juga mengalami kekacauan. Para prajurit dan petinggi yang kelelahan setelah menghadapi pergantian pagi dan malam yang tak wajar, mulai tertidur pulas di sekitar api unggun yang mereka buat di dalam tenda. Haera dan Nanthaliene sempat beristirahat setelah malam yang panjang dan penuh ketidakpastian.
Di tengah kedinginan malam itu, tanpa sepengetahuan siapa pun, satu demi satu wanita di Sylvandor menghilang. Tidak ada yang menyadarinya pada awalnya—kota terlalu sibuk mencoba bertahan hidup, sementara prajurit di pos 9 sibuk menjaga api unggun dan menjaga diri mereka tetap hangat.
Namun, saat matahari palsu yang sempat padam selama 6 jam kembali menyala tiba-tiba, menerangi seluruh daratan yang tertutup salju, kekacauan baru mulai terasa.
Di dalam tenda, Haera terbangun seketika saat cahaya terang menyusup melalui kain tenda yang tebal. Nanthaliene dan prajurit-prajurit lainnya yang beristirahat segera bangkit dengan tatapan penuh tanya.
Di luar tenda, prajurit-prajurit mulai bergerak kembali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang tiba-tiba datang. Nanthaliene, yang juga terbangun, segera mendatangi Haera yang masih duduk di tenda, berpikir keras tentang situasi yang semakin tak terkendali.
“Paduka maharani,” salah seorang prajurit mendekat dengan wajah serius begitu saja melalui bagian tenda yang terbuka, “Ada laporan dari gerbang kota. Ratusan wanita di Sylvandor… mereka menghilang.”
Haera mengernyit. "Menghilang?"
Prajurit itu mengangguk, terlihat gelisah. "Ya, Paduka. Tidak ada jejak mereka. Warga yang menyadarinya pagi ini saat cahaya kembali. Mereka semua bingung dan takut."
Seketika itu juga, suasana di dalam tenda berubah tegang. Nanthaliene yang mendengar kabar tersebut, bergegas mendekat, tatapannya terkejut. "Ini pasti ada hubungannya dengan matahari palsu dan entitas yang membawanya. Kita sedang diawasi, dan sekarang mereka mulai menyerang dalam bayangan."
Haera diam sejenak, menatap nanar ke arah matahari palsu yang kembali bersinar di langit. Firasat buruk terus menggelayuti pikirannya. “Ini bukan hanya tentang matahari palsu atau cuaca yang berubah … ada sesuatu yang lebih dalam terjadi. Kita perlu menyelidiki ini sekarang.”
“Kekacauan ini … belum selesai,” Haera berdiri dari tempat duduknya, pandangannya tajam. "Segera kumpulkan para jenderal. Kita harus menyusun rencana baru sebelum lebih banyak nyawa hilang."
***.
Di bawah sinar matahari palsu yang kembali menyala, suasana di dalam tenda pertemuan darurat terasa berat dan tegang. Haera, yang duduk di singgasananya dari kayu, menatap para jenderal yang telah berkumpul. Nanthaliene duduk di samping Aranel, dan keduanya sudah terlihat siap mendukung satu sama lain dalam perbincangan penting ini.
Aranel, dengan wajah yang masih menyimpan kekecewaan, bergabung dengan pertemuan ini meskipun tugasnya membawa kristal mana ke bangsa kurcaci tertunda.
Kini, dengan gerbong terbangnya lumpuh, dia merasa terjebak dan dipermalukan oleh situasi yang tak terkendali ini. Namun, tatapan tegasnya menunjukkan bahwa dia tetap siap menghadapi masalah yang lebih besar—hilangnya ratusan wanita di Sylvandor dan ancaman entitas yang tak dikenal dari pulau melayang di langit.
Pertemuan ini dimulai dengan laporan singkat dari prajurit yang berjaga di gerbang kota tentang hilangnya wanita-wanita tersebut. Setiap jenderal yang hadir mulai memberikan pendapat dan strategi mereka. Namun, suasana menjadi lebih tegang ketika salah satu jenderal pria yang dikenal sinis sejak pertemuan kemarin terhadap Aranel, angkat bicara.
"Paduka," ujar jenderal itu, yang bernama Faelar. "Ketidakhadiran Kaisar manusia adalah hal yang patut kita pertanyakan. Kita di sini berjuang untuk menjaga perbatasan dan menghadapi ancaman yang jelas. Namun, manusia? Mereka bahkan belum mengirim pasukan mereka, meskipun mereka berjanji menggandakan jumlahnya."
Faelar menatap Haera dengan tatapan penuh arti. "Mungkin sudah saatnya kita berhenti bergantung pada bangsa yang terus-menerus ingkar janji."
Nanthaliene, yang duduk di sebelah Aranel, langsung bereaksi. "Jenderal Faelar," katanya tegas, "jika kita memulai perpecahan di tengah ancaman sebesar ini, kita hanya memperlemah diri kita sendiri. Ada masalah yang lebih mendesak di depan mata."
Aranel mengangguk mendukung Nanthaliene, meski tatapannya tak beralih dari Faelar yang mulai menunjukkan ekspresi menyindir. "Ini bukan saatnya menyalahkan pihak lain," tambah Aranel dengan nada tenang namun penuh wibawa. "Kita harus fokus pada masalah di sini, sekarang—hilangnya para wanita dan ancaman dari langit."
Namun, Faelar masih tak menyerah. "Kita semua tahu paduka Haera punya pandangan yang berbeda terhadap bangsa manusia," katanya dengan suara lebih rendah namun tetap terdengar jelas. "Mungkin karena itu kita terlalu lama menunggu mereka."
Komentar Faelar itu mengundang bisikan dari beberapa jenderal lain yang tampak setuju. Meski Haera dikenal dingin dan selalu memandang rendah siapa pun, rasa hormatnya terhadap manusia lebih tinggi dibandingkan dengan bangsanya sendiri, elf. Ini telah lama menjadi bahan pembicaraan di antara para prajurit dan petinggi.
Namun, sebelum argumen bisa berkembang lebih jauh, Haera mengangkat tangannya. Suara percakapan dan bisikan langsung terhenti seketika. Suasana tenda kembali hening, hanya suara angin yang terdengar di luar.
“Tuan Faelar,” kata Haera dengan nada dingin namun tegas. “Ini bukan saatnya untuk berdebat tentang aliansi kita dengan manusia. Aku yang memutuskan untuk menghormati kesepakatan itu, dan keputusan ku tidak untuk dipertanyakan dalam situasi genting ini.”
Tatapan Faelar tertunduk, namun wajahnya masih menampakkan ketidakpuasan. Haera melanjutkan, matanya menyapu seluruh jenderal yang hadir.
“Ancaman yang kita hadapi jauh lebih besar dari rasa tidak suka pribadi atau … perasaan superior kalian terhadap bangsa lain. Kita akan fokus pada satu tujuan—mengungkap misteri hilangnya para wanita dan mencari cara menghancurkan ancaman dari langit.”
Suasana menjadi tegang kembali, namun kini lebih terkendali. Semua jenderal, termasuk Faelar, mengangguk setuju. Pertemuan darurat itu kini kembali berfokus pada masalah yang lebih penting, sementara Haera mengawasi dengan ketenangan dan otoritasnya yang tak terbantahkan.
Di tengah diskusi yang memanas, seorang jenderal elf wanita, bernama Illyndra, mengangkat tangannya, menandakan bahwa dia ingin berbicara. Haera menatapnya dengan dingin, mengisyaratkan agar ia melanjutkan pendapatnya.
"Paduka maharani," Illyndra memulai dengan nada hati-hati namun tegas, "saya memahami kekhawatiran tentang hilangnya para wanita dan ancaman dari pulau melayang itu. Namun, saya ingin mengingatkan bahwa kekaisaran manusia tidaklah sepele. Teknologi sihir mereka terus berkembang pesat, bahkan melampaui sebagian kemampuan kita."
Ia berhenti sejenak, memastikan kata-katanya didengar dengan baik oleh semua yang hadir. "Kaisar Aldarion Arandur bukan sekadar pemimpin. Ia memiliki kemampuan nubuat, kemampuan yang membuatnya mampu melihat masa depan dengan jauh lebih akurat dibandingkan para peramal kita, yang—seperti kita ketahui—mati bersamaan dengan munculnya pulau melayang dan matahari palsu itu."
Kata-kata Illyndra membuat ruangan menjadi sunyi. Semua jenderal memandang ke arahnya, dan beberapa dari mereka, terutama yang mendukung Faelar, mengangguk setuju. Illyndra melanjutkan dengan keyakinan yang semakin kuat.
“Mungkin ada alasan kenapa Kaisar Aldarion tidak datang sendiri dan memilih untuk mengirim lebih banyak pasukan. Kita tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kemungkinan bahwa dia melihat sesuatu yang belum kita ketahui.”
Tatapan Illyndra beralih ke Haera, penuh harap bahwa kata-katanya dapat membawa perspektif baru dalam diskusi ini.
Setelah Illyndra selesai berbicara, Faelar menyeringai tipis, memperjelas arah pikirannya. "Mungkin kita terlalu fokus pada ancaman dari luar," katanya, suaranya penuh sindiran. "Seharusnya perhatian kita lebih tertuju kepada kekaisaran manusia. Mereka bukan hanya ingkar janji—pasukan bantuan yang mereka janjikan juga tidak kunjung datang."
Beberapa jenderal mulai bergumam setuju, sementara Faelar melanjutkan. "Bagaimana jika mereka sebenarnya memiliki agenda lain? Siapa yang bisa memastikan mereka tidak sedang memanfaatkan kekacauan ini untuk keuntungan mereka sendiri?"
Nanthaliene, yang duduk di sebelah Haera, berbicara dengan tenang namun tegas. "Mungkin pasukan mereka juga terjebak, seperti kita. Gerbong-gerbong terbang yang mereka andalkan mungkin lumpuh, sama seperti kita. Mereka ada di pos 8, hanya sekitar 150 km dari sini, dan bisa saja menghadapi situasi serupa."
Haera hanya mengangguk, menyetujui pandangan Nanthaliene. Seiring diskusi berlanjut, fokus kembali bergeser ke isu yang lebih mendesak—ratusan wanita yang menghilang dari Sylvandor tanpa jejak.
Namun, sebelum pembicaraan sempat mendalam, seorang prajurit penjaga tiba-tiba masuk ke dalam tenda, wajahnya pucat dan nafasnya tersengal. Di belakangnya, seorang pria tua manusia tertatih-tatih masuk, terlihat lelah dan putus asa. Pria tua ini mengenakan mantel tebal yang sudah kusam, dengan rambut putih acak-acakan dan tangan yang gemetar.
Haera memandang ke arah pria tua itu dengan rasa ingin tahu yang dingin. "Siapa dia?" tanyanya.
"Pria tua ini, Jorgir," jawab sang penjaga, "adalah saksi dari hilangnya para wanita. Putrinya, seorang gadis berusia 19 tahun, ikut menghilang di depan matanya."
Suasana tenda menjadi semakin tegang. Sang pria tua, yang bernama Jorgir, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Itu terjadi begitu cepat," suaranya parau. "Di tengah kegelapan, aku melihat sesuatu ... sebuah sosok. Tingginya besar, mengenakan jubah hitam, dengan topeng berbentuk gagak. Aura kegelapan yang dikeluarkannya ... sangat menyesakkan. Putriku ... dia menghilang bersamaan dengan makhluk itu."
Jorgir terdiam, terlihat sangat terguncang. Semua mata tertuju pada Haera, menanti keputusan atau respons yang akan diambil setelah mendengar kesaksian yang begitu mengerikan.
Haera terdiam dan tampak sedang memikirkan sesuatu dengan mendalam. Matanya melirik ke arah Jorgir, dan tanpa sengaja ia melihat bercak hitam di leher Jorgir yang tiba-tiba muncul dan mulai membesar.
Di dalam tenda, suasana berubah menjadi mencekam saat semua orang ikut terkejut melihat bercak hitam muncul di leher Jorgir. Dengan cepat, bercak itu menyebar, membentuk urat-urat gelap yang terlihat mengerikan di kulitnya. Jorgir menjerit kesakitan, suara teriakan itu menggema di dalam tenda yang sebelumnya dipenuhi diskusi strategis.
Nanthaliene, yang tak bisa tinggal diam, bergegas ke arah Jorgir. "Ini adalah kutukan!" teriaknya, dan tangan-tangannya mulai memancarkan cahaya hijau saat ia berusaha menyembuhkan pria tua itu. Dia berusaha keras, menggunakan semua pengetahuan dan kekuatan sihir Druida yang telah ia pelajari selama hidupnya.
Namun, kutukan itu tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Bercak hitam itu semakin menjalar, menyerap semua cahaya harapan yang ada di sekitar mereka. Dalam sekejap, Jorgir terjatuh, terkulai lemas, dan tidak lama kemudian, nafasnya terhenti. Keheningan melanda tenda, menggantikan teriakan panik yang sebelumnya menggema.
Nanthaliene terdiam, terkejut oleh kegagalan penyembuhannya. Dia menatap tubuh Jorgir dengan rasa putus asa dengan tangan nya yang juga mulai gemetar. Dalam sekejap, ingatan akan keberhasilan-keberhasilan masa lalunya memudar, dan hanya ada kekosongan di dalam hatinya.
Dia menoleh ke arah Haera, yang masih duduk di singgasana, tampak tenang meski situasi semakin genting. "Paduka … ibu," Nanthaliene berusaha berbicara, suaranya bergetar. "Kita harus melakukan sesuatu. Kutukan ini bukan sembarangan. Ini adalah tanda bahwa entitas dari pulau melayang itu telah mengincar kita. Kita tidak dapat tinggal diam!"
Haera memandang Nanthaliene dengan tatapan yang dalam, membaca kekhawatiran dan ketegangan di wajah Nanthaliene. Dalam sekejap, kesadaran akan bahaya yang mereka hadapi mulai menyusup ke dalam pikiran Haera, dan dia tahu bahwa waktu mereka semakin menipis.
***.
Bersambung ….