Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Sakit?
Lagi, entah kali kesekian di pagi ini Alisya dibuat ketar-ketir dengan ucapan tak terduga dari mulut Hudzai. Walau terdapat cadar sebagai penghalang, tapi bukan berarti tidak mungkin Hudzai benar-benar akan melakukan hal itu.
Tidak ingin sampai kejadian, Alisya memilih diam dan patuh saja akan perintah yang punya kuasa. Walau niat sebenarnya murni karena hal itu mubazir, tapi sebagai istri yang tidak berkontribusi dalam membelinya, Alisya bisa apa.
Beralasan tidak ingin jadi bayang-bayang adiknya, Hudzaifah tanpa pikir panjang menghilangkan segala sesuatu yang sekiranya menghadirkan kenangan.
Terlebih lagi, menurut yang Hudzai tahu cincin itu dipesan secara khusus oleh Abimanyu bahkan dengan inisial nama mereka, jelas dia tidak bersedia menyematkan cincin di jemari sebagai tanda ikatan cinta, seumur hidup terutama.
Cukup lama Hudzai menunggu Alisya kembali bicara. Namun, ancamannya ternyata benar-benar berhasil membuat sang istri terus terdiam, bahkan berkedip saja tidak sampai Hudzai menghela napas panjang.
"Huft, apa yang kutunggu sebenarnya," batinnya kemudian berlalu tanpa kata dan lagi-lagi menimbulkan tanya di benak Alisya.
Apa maunya? Kenapa tiba-tiba? Bagian mana yang salah? Dan ya, berbagai pertanyaan secara beruntun menghampiri Alisya satu persatu.
Dia yang khawatir jika membuat Hudzai tidak suka atau tersinggung dan lainnya mencoba mengekor di balik punggung sang suami sembari sesekali memanggil namanya.
"A'!!"
"A' Hudzai."
Dua kali Alisya memanggil, dan Hudzai tetap bergeming. Seolah tuli dan kian mempercepat langkahnya sampai Alisya harus berlari kecil demi mengejarnya.
"A'!! A' Hudzai marah?" tanya Alisya sengaja mendongak demi bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah suaminya.
"Iya, A'?" sekali lagi dia bertanya demi memastikan barangkali memang salah.
Hudzai menatap sekilas, dia juga bingung sebenarnya kenapa sampai mendahului sang istri. Jangankan Alisya, pria itu juga bingung dengan tingkahnya sendiri.
"Neng bikin salah ya, A'?"
Diam, Hudzai lagi-lagi hanya diam. Bukan karena sedang dalam mode ngambek atau semacamnya, tapi dia kebetulan bingung dengan dirinya, itu saja.
"Kalau Neng ada salah bilang, A', jangan langsung ditinggal, Aa' bisa bilang bagian mana yang bikin kesal biar nanti Neng tidak ulangi lagi, 'kan bisa? Kenapa harus begini coba?" Berawal dari sekadar tanya, diamnya Hudzai justru membuat Alisya salah mengira.
Dia sampai berhenti sejenak sebelum kemudian kembali lanjut bicara. "Jika memang tidak suka dengan pertanyaannya ya udah atuh ... sok buang, Neng teh cuma heran, kenapa harus dibuang? Jual lagi 'kan bisa."
Dia marah, dari sorot matanya bisa disimpulkan sedang marah. Akan tetapi, cara bicara Alisya kali ini sedikit berbeda, walau memang tidak sepenuhnya, tapi sungguh hal itu sukses membuat Hudzai tersenyum.
Sudah pasti senyum dengan menundukkan kepala sembari berlagak memijat pangkal hidung agar tidak begitu kentara. Lembutnya Alisya tatkala memasuki mode teteh-teteh sungguh menggemaskan, Hudzai tak kuasa menahannya diri untuk tidak merangkul pundaknya.
"Iya-iya ... ayo pulang."
"Nanti dulu, main ayo ... pembicaraan kita belum selesai."
"Sudah, aku tidak marah, sungguh," ucap Hudzai berusaha meyakinkan Alisya dengan tatapan penuh makna yang dia layangkan pada sang istri.
Sementara itu, Alisya yang dari sananya gampang luluh tidak memperpanjang masalah karena kebetulan di luar dan menurutnya tidak begitu pantas jika terus dibahas.
Tahu jika Hudzai tidak marah saja sudah cukup, toh memang itu yang dia pertanyakan. Bukan hanya lewat kata, tapi tindakannya dengan merangkul pundak Alisya menjadi bukti kuat bahwa tidak ada kejanggalan di hati sang suami.
.
.
"Setelah ini kita kemana lagi?"
Sembari memasangkan helm sang istri, Hudzai bertanya dengan harapan masih ada tujuan lain setelah ini. Akan tetapi, jika dilihat dari respon Alisya tampaknya tidak ada.
"Sudah, Aa' mungkin yang ada."
"Sudah semua sih, belum kepikiran mau kemana kalau sekarang," jawab Hudzai jujur karena benar-benar tidak memiliki ide hendak kemana lagi.
Walau bisa saja dia membawa Alisya pergi lebih jauh lagi, tapi dia tidak ingin terburu-buru. Sebagai pria yang tidak asal bertindak, jelas Hudzai memikirkan segala sesuatu dengan matang.
Mengingat mereka masih sangat baru, khawatir andai terburu-buru nanti Alisya justru risih dan terganggu. Atau, dengan kata lain ilfeel, bahkan bisa jadi jijik dalam satu waktu.
"Ya sudah, kita pulang berarti."
"Hem," balas Hudzai terdengar lesu, lemah sekali bahkan seperti tidak makan sehari.
Padahal, belum satu jam dia sarapan, rasanya mustahil lapar lagi. Namun, di mata Alisya yang memang pada dasarnya tidak tegaan, sang suami terlihat begitu mengkhawatirkan.
"A'? Aa' sakit?"
"Tidak, ayo naik," titahnya masih sama, bahkan semakin lemas lagi sampai Alisya menawarkan diri untuk bertukar posisi.
Dia yang menyetir, sementara Hudzai di belakang. Tawaran yang cukup menarik, kebetulan Hudzai merasa tubuhnya memang sedikit letih, sejak tadi sebenarnya.
Hanya saja, melihat tubuh Alisya dia mendadak ragu. "Tidak perlu, Sya, masih kuat."
"Aa' jangan paksain, tuh mukanya sampai pucat gitu."
"Memang bisa?" tanya Hudzai pada akhirnya, sedikit penasaran di tengah dilemanya.
"Bisa, ayo buruan!!" desak Alisya meminta Hudzai untuk turun.
Tidak lagi ada penolakan, Hudzai bersedia dan membiarkan istrinya yang mengemudi.
"Yakin bisa, 'kan?"
Posisi mereka sudah benar-benar bertukar, tapi Hudzai masih dengan kegelisahan dan keraguannya tentang kemampuan sang istri.
"Bisa kok bisa," jawab Alisya sangat meyakinkan.
"Pelan-pelan."
"Iya, A', santai saja ... Neng biasa anterin umi ke pasar."
Begitu Alisya meyakinkannya, tapi sejak awal firasat Hudzai tidak ada baik-baiknya. Beberapa menit pertama semua aman saja, karena belum terlalu ramai.
Akan tetapi, untuk selanjutnya mulai terjadi drama-drama yang membuat jantung Hudzai terguncang. Sebenarnya bukan murni salah Alisya, tapi memang pengendara lain seolah tak punya mata dan melaju seenaknya.
Ditambah lagi, cara Alisya berkendara juga tidak begitu stabil. Entah apa yang dikejar atau dihindari sampai harus semakin lama semakin cepat hingga membuat Hudzai berisik sepanjang jalan.
"Pelan-pelan ... ada mob_"
Tiiit tiiit tiiit
"Iya sabar, Pak!! Ada motor di di depan, heran!!"
"Sen, Bu, Sen!" teriak Hudzai juga tak hanya fokus pada sang istri, tapi orang lain juga demikian.
Terlalu sibuk melihat ke samping kanan, sampai tidak sadar jika kini mereka melewati tikungan tajam kecepatan tinggi hingga membuat Hudzai pucat pasi.
Begitu Alisya memelan dan memasuki pekarangan rumah Sean, tubuhnya seolah lemas dan mungkin tidak punya kekuatan untuk berjalan.
Hingga beberapa saat, pria itu masih diam di posisinya sembari tertunduk lesu.
Sementara di sisi lain, Alisya turun lebih dulu lantaran sang suami tak kunjung turun.
"Aa."
"Hem," sahut Hudzai tanpa menatap lawan bicaranya.
"Ayo turun, kita sudah sampai," ajak Alisya membuat Hudzai perlahan melepas helm dan mengangkat wajahnya.
Dan, saat itulah mata Alisya dibuat membola dan menangkup wajah Hudzai dengan kedua telapak tangannya.
"Astaghfirullah, Aa'? Kok mukanya makin pucat?"
.
.
- To Be Continued -