Saat cinta menyapa, mampukah Resti menepis rasa dendam itu?
Restina Adelia, menerima pinangan Raka Abhimana. Pernikahan mereka, hanya diwarnai pertengkaran demi pertengkaran. Suatu hari, Raka pulang dalam keadaan mabuk, hingga membuka rahasia kematian orang tua Resti.
Resti pun memutuskan pergi dari kehidupan Raka. Saat itulah, Raka menyadari perasaannya pada Resti. Mampukah Raka menemukan Resti? Bagaimana cara Raka meyakinkan Resti, bahwa hanya Resti pemilik hatinya, setelah Raka menyakiti Resti terus menerus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruth89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11 ~ Alasan di balik pernikahan
Resti mengepalkan tangan kuat. Mencoba menguatkan diri, untuk mempertahankan rumah tangganya dari para pelakor. Dengan langkah pasti, ia mendekati kamar utama dan membukanya.
Kegiatan mereka terhenti, saat mendengar seseorang membuka pintu dengan kasar. Wanita itu sudah dalam kondisi berantakan. Resti mendekati mereka dan menatap nyalang pada pasangan itu.
"Kau! Keluar dari rumah ini sekarang juga!" usir Resti pada wanita yang menjadi perusak rumah tangganya.
Wanita itu bangkit dan menantang Resti. Sementara Raka, hanya membuang pandangannya.
"Siapa kau, berani mengusirku dari sini?" tanyanya remeh.
"Aku, istri dari pemilik rumah ini!" geram Resti.
Seperti wanita sebelumnya, wajah wanita itu berubah pias. Ia berbalik menatap Raka nyalang.
"Kurang ajar! Kau menipuku!"
Ia menampar wajah Raka, kemudian merapikan pakaiannya. Setelah terlihat rapi, ia melenggang pergi meninggalkan rumah itu. Melihat kepergian pasangannya, Raka mendekati Resti.
"Kau sudah merasa di atas angin, rupanya," desis Raka.
"Aku punya hak melakukan itu! Bagaimana pun, aku masih istrimu!" jawab Resti tegas.
"Ya, kau memang istriku! Istri di atas kertas! Kau tidak lupa, 'kan kalau aku tidak mencintaimu?"
"Terserah! Di atas kertas atau bukan, aku tetap istrimu! Sudah tugasku mengingatkanmu, bila kau salah melangkah!"
"Tidak usah mengguruiku! Aku muak!" pekik Raka.
"Jika kau terus seperti ini, maka aku akan terus melakukannya!" jelas Resti.
Tangan Raka terangkat dan menampar Resti. Terkejut, tentu saja. Hati Resti semakin terasa sakit. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang akan tumpah. Tanpa sepatah kata pun, Raka melangkah pergi. Resti menahannya.
"Kau mau kemana, Mas?" tanya Resti.
"Bukan urusanmu! Minggir!" bentak Raka.
Resti pun melepaskan tangannya dan memberikan jalan pada Raka. Pria itu pergi meninggalkan rumah. Air mata Resti kembali jatuh.
***
Entah berapa banyak Raka menenggak minuman beralkohol di depannya. Setelah pertengkarannya dengan Resti, ia menuju tempat itu. Pikirannya terasa sangat kacau, hingga memilih untuk mendatangi tempat itu.
Beberapa wanita mendekatinya, tetapi Raka menolak mereka. Semakin malam, pengunjung night club' semakin banyak. Raka pun beranjak meninggalkan tempat itu. Ia merogoh sakunya mencari kunci mobil. Namun, tak menemukannya.
"Ah, aku lupa. Aku tidak bawa mobil ke sini," gumamnya.
Ia pun berjalan keluar dengan langkah yang tak stabil. Beruntung, ada sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Setelah menyebut alamat rumahnya, taksi segera menuju ke alamat tersebut.
Satu jam kemudian, supir taksi membangunkan Raka karena mereka sudah tiba ditujuan. Raka membayar ongkos dan turun. Resti yang belum tidur, mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Saat melihat melalui jendela, Raka sedang berjalan sempoyongan.
Segera Resti keluar dan membantu Raka masuk. Namun, Raka terus menerus menepisnya. Raka bahkan memuntahkan isi perutnya sembarangan.
"Pergi!" usir Raka.
Resti tak menghiraukan ucapan Raka. Ia terus membantu sang suami. Membersihkan tubuhnya yang terkena muntahan dan bau alkohol. Namun Raka terus menolaknya.
"Tidak usah sok peduli padaku! Pergi! Pergi sejauh mungkin dariku!" teriak Raka.
Ia bahkan tertawa keras. Entah apa yang ia tertawakan. Resti tetap membantunya. Lagi dan lagi, Raka mendorong Resti menjauh.
"Kamu gak akan nyaman, tidur dengan kondisi begini, Mas," ujar Resti.
"Kenapa kau selalu seperti ini? Aku selalu menyakitimu, tapi kau selalu bersikap baik padaku? Apa kau ingin mengejekku?"
Resti tak menganggap serius ucapan Raka. Ia memilih terus membersihkan tubuh Raka. Membuka sepatunya, mengganti baju, kemudian membaringkannya.
"Kau tahu, aku selalu merasa bersalah padamu. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa bersikap baik padamu. Aku takut kau membenciku. Aku takut, saat kau mengetahui semuanya, kau akan membunuhku!"
Raka terus berbicara tentang hal yang tidak Resti mengerti. Namun, Resti berusaha untuk tetap mengabaikannya. Meski sejujurnya, ia cukup penasaran dengan hal yang Raka bicarakan.
"Aku tidak akan membunuhmu, Mas. Karena aku tidak punya alasan," jawab Resti.
Ini adalah jawaban pertama Resti, sejak Raka berbicara panjang lebar. Namun, reaksi Raka di luar dugaannya. Pria itu tertawa, membuat Resti mengernyitkan dahi bingung.
"Apa kau yakin? Benar kau tidak akan membunuhku?" tanya Raka.
Ia menatap dalam mata sang istri. Resti pun menganggukkan kepala sebagai jawaban. Raka membenarkan posisi duduknya.
"Aku menikahimu, bukan karena wasiat orang tuamu. Itu hanya alasan saja, agar kau setuju. Semua aku lakukan karena aku tidak sengaja menabrak mereka hingga tewas. Itu, hanya rasa bersalahku," ucap Raka.
Bak mendengar suara petir yang menggelegar, Resti menatap tak percaya pada sang suami. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Kau tidak percaya? Aku, meminta Bayu mengurus pembayaran rumah sakit. Kau menolaknya. Pada akhirnya, aku meminta dia, mencari lokasi pemakaman, dan memberikan yang terbaik untuk mengantarkan orang tuamu ke peristirahatannya yang terakhir."
Air mata Resti terdorong keluar. Ia tidak tahu harus bicara apa. Ia tak menyangka, bila sang suami hanya menikahinya karena rasa bersalah. Dadanya terasa semakin sesak.
"Tapi, dengan bodohnya aku menyakitimu. Aku selalu dan selalu menyakitimu. Tapi, kau justru bertahan dengan semua yang kulakukan!"
Raka menatap Resti yang terduduk diam di depan meja rias. Bola matanya terus bergerak ke sembarang arah.
"Pergilah. Kau boleh menuntutku atas kematian orang tuamu. Kau juga boleh meminta apa pun sebagai kompensasi. Aku tidak akan menolaknya."
Raka pun merebahkan dirinya. Ia membelakangi Resti. Sementara wanita itu, diam terpaku. Air matanya tak berhenti mengalir, meski tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
***
Waktu sudah lewat tengah malam. Raka bahkan sudah terlelap. Namun, Resti tak kunjung menutup matanya. Sejujurnya, ia sangat terkejut mendengar semua kebenaran yang Raka ungkapkan.
Benarkah semua yang suaminya ucapkan? Bisakah Resti mempercayai kata-kata orang yang ada dalam pengaruh alkohol? Ia tidak tahu harus bagaimana saat ini. Belum lagi, permintaan sang mertua yang terus terngiang di telinganya.
"Semua ini seperti mimpi. Bodohnya aku, jatuh cinta pada pria yang sudah membunuh orang tuaku!" Resti menertawakan dirinya.
Namun, sudut hati Resti terasa sangat sakit. Resti menepuk dadanya sedikit keras. Namun, ia tak bisa menghilangkan rasa sakit itu. Matanya kembali menatap sang suami yang terlelap di sana.
"Haruskah aku membunuhmu?" gumam Resti.
Kpan lgi nie kax🥰🥰🥰🥰🥺🥺🥺🥺🥺🥺