Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Jatuh Cinta Pada Anak SMA
POV RYAN
Alur masih maju mundur
Namaku Ryan Cakra Leksono, seorang pria ganteng yang selalu dimanjakan orang tuanya. Karena orang tua terlalu menyayangi, membuat apapun keinginanku pasti selalu mereka penuhi, sehingga membuat masa-masa remaja SMA menjadi berandalan. Suka minum, tawuran, ikut balapan motor, pacar 'pun suka gonta-ganti, dan itu sudah menjadi hal biasa, dikarenakan sombong atas ketampanan yang kumiliki.
Tidak peduli dengan status dan derajat keluarga kaya, yang terpenting hidup terus happy. Bahkan beban hidup terasa tidak bakalan menghampiri.
Karena kemarahan ayahku, yang melihat anaknya sudah tidak bisa diatur lagi dan mulai mengikuti pergaulan bebas. Tanpa penolakan lagi, diri ini dimasukkan ketempat yang menjadi pekerjaanku sekarang, yaitu sebuah abdi negara kepolisian.
Kesetiaanku pada waktu itu hanya pada satu wanita yaitu Dona, seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai model majalah. Kami menjalin hubungan sampai 5 tahun saja. Kami putus terpaksa karena keserakahannya terhadap harta. Dia telah mencampakkan ku begitu saja, yang sudah menikah dengan laki-laki keturunan orang kaya.
Beberapa tahun kemudian diri ini bisa move on, dan telah bertemu dengan sang tambatan hati namanya Mila. Dia adalah gadis yang cantik, sabar, penurut, ramah, dan tutur katanya yang halus serta lembut, membuatku kian jatuh hati padanya.
Selama beberapa minggu berkenalan, tak butuh waktu lama untuk membuat hati kian terpesona. Tanpa tersadar i diri ini mulai tertarik, yaitu perasaan yang semakin lama semakin jatuh cinta padanya, dan itu sungguh satu keberuntungan yang tak menyangka jika Mila ternyata juga diam-diam jatuh cinta padaku.
Saat itu aku memberanikan diri untuk bertemu dengan orang tuanya, untuk segera melamar sekaligus ingin mempersuntingnya. Tetapi sedikit ada rasa kecewa pada awalnya, sebab orang tuanya menolak dengan alasan Mila masih sekolah. Sungguh sangat mengecewakan, tapi aku tak pantang menyerah begitu saja. Dengan bujuk rayuan dan kegombalanku, diri ini berusaha mempengaruhi pikiran Mila, dan pada akhirnya Mila melakukan sesuatu hal yang membuat diri senang bukan kepalang, yaitu mendesak orang tuanya. Dan ternyata usahanya tak sia-sia begitu saja, sebab satu minggu kemudian orang tuanya merestui hubungan kami, dengan syarat tidak boleh memiliki anak sebelum lulus sekolah dulu
Senang, terharu, bahagia, dan segala macam rasa telah tercampur baur menjadi satu pada diriku saat itu, dikarenakan akhirnya bisa memiliki sang pujaan hati dengan ikatan sebuah pernikahan.
Berasa konyol bisa punya istri muda, tapi itulah cinta tak perlu memandang usia yang penting sama-sama mencintai.
"Ini undangan pernikahanku. Jangan lupa ... jangan lupa datang semuanya!" ucapku yang sudah membagi-bagikan undangan kepada anak buah.
"Wah ... wah, Bos. Apa tidak salah pilih nih! Benar-benar cantik sekali," ucap Ebi, yang sudah membuka undangan dengan memasang wajah keheranan.
"Siapa dulu, bos kalian gitu lho! Gak mungkin orang setampan aku ini, dapatnya istri yang jelek juga kali!" Kesombonganku menimpali omongan Ebi.
Mereka nampak memicingkan mata.
"Wajahnya masih imut-imut dan manis juga. Suruh kakak ipar mengenalkan salah satu temannya padaku, maklum anak buahmu ini masih jomblo akut," ujar Ebi meminta.
Plak, buku undangan ku daratkan dikepala Ebi.
"Memang manis dan imut-imut, karena dia memang masih sekolah," jawabku santai.
Semua orang sudah berkumpul, untuk meminta bagian undangan pernikahan diriku.
"Ya ampun bos, selera tinggi bener! Abg diembat juga, ngak salah ini?" celetuk salah satu anak buah lainnya.
"Enggak!" tegas ku.
Tangan terus sibuk membagi-bagikan.
"Berarti? Duh, wah ... wah, bakalan honeymoon terus nih! Jangan-jangan tiap malam bakalan gempa bumi terus itu kamar!" sahutan anak buah lain.
"Tentunya bergoyang terus! Masih muda kuatlah tujuh hari tujuh malam," ejek yang lain.
Mereka suka sekali meledek. Apalagi pada diriku yang sering jadi bahan utama untuk tertawa.
"Hahahah, asyiik beneeer dech nantinya. Haha!" ejek semua orang dengan tertawa puas, akibat telah berhasil mengerjai.
"Haiccch, apaan sih kalian ini. Mau gaji kalian ku tangguhkan semua, hah!" Meledaknya emosi.
"Hehehe, jangan gitu dong, Bos. Kami hanya bercanda saja kali. Tak perlu dimasukkan hati."
"Gimana ngak dimasukkan hati, sedangkan dia calon kakak ipar kalian, jadi harus sopan sedikit 'lah. Apalagi wanita yang kupilih sebagai pendamping seumur hidup. Kalau kalian berkata aneh-aneh lagi mau kurobek mulut tuh?"
"Siap, laksanakan! Hehe, ngak bakalan lagi, Bos!" Semua orang patuh dengan memberi hormat.
"Sudah lupakan saja. Jangan saja kurang ajar lagi jika kalian nanti didepan dia."
"Iya ... iya, Bos. Aman. Kami akan sopan pada istri kesayanganmu, walau dia masih dibawah kami."
"Nah, kan harus gitu. Walau dia masih dibawah umur, tapi dia istri bos kalian, paham!"
"Paham!" jawab kompak semua orang.
Wajah mereka masih terkesan meremehkan. Tak ku pedulikan jika dikatain psikopat yang doyan bocil, yang terpenting cinta ini tulus kepadanya.
"Jangan seperti aku kemarin, Bos. Langkah baru menginjak kasur, malam pertama jadi ambyar, karena ganggang kayu kasur patah tiba-tiba. Ternyata eh ternyata, akibat sudah lapuk," ucap Bagas.
"Itu bukan kayunya yang sudah tua, tapi ini ... ini nich! Kamu saja yang sudah berbadan dua," ujarku yang sudah mencolek perut gendut Bagas.
"Hahahah!" gelak tawaku kompak bersama anak buah, saat melihat perut Bagas membuncit karena gemuk.
"Hehehe. Iya yah!" Bagas meringis, diiringi menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Oh ya, Bos. Memang ngak masalah nih nikah sama bocil?" tanya anak buah lagi.
Sepertinya mereka belum puas kalau aku benar-benar mengeluarkan auman.
"Maksud kamu apaan tuh?" Duduk santai disalah satu meja kerja mereka.
"Itu 'kan masih sekolah. Berarti pasti ada larangan dari pihak orangtua, begitu."
"Ya, jelas 'lah."
"Weh, berarti harus menahan diri dan menguatkan iman nih, haha!"
"Pikiran kalian ini ngeres banget. Gercep dan perlu dibahas habis-habisan. Masalah gituan aja sampai kalian pikirkan. Aku yang menjalani saja santuy. Pastinya iya juga sih. Ada perjanjian kalau ngak boleh punya anak dulu. Menahan diri pastinya juga iya."
"Tapi kamu juga pria dewasa, Bos. Beneran kuat nih?"
"Itu namanya ujian cinta, dudul. Tidak perlu buru-buru mencetak bocil. Sekuat apa kita bisa menahan godaan. Cinta itu tidak perlu harus sat set dikamar, tapi juga pembuktian. Kalau sudah punya bocil berarti itu cinta gitu? Kalau menurutku enggak sih, cinta bisa ditunjukkan dengan sejauh mana kita bisa menjaga dan merawat istri sendiri. Bagaimana kita bisa memanjakannya dulu. Memahami karakter pasangan dan sejauh mana bisa setia."
"Weh, pemikiran yang bagus juga sih. Kelihatan dewasa dan gentle. Salut sama kamu, Bos."
Kami terus saja mengobrol. Anak buah hanya menjadi pendengar, sedangkan orang di atasku dan sudah berpengalaman juga berbagi ilmu dan nasehat.
enaknya kalau ketahuan bukan hnya dihajar tp bakalan kena karma