NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menemui Wanita-wanita Cantik

Dion bangun kesiangan pagi itu. Posisi matahari sudah mulai tinggi ketika ia menyelesaikan mandi paginya. Dion yang sedang bersiap mencari sarapan pagi terkejut mendapati Hendrik sudah duduk di depan kamar.

“Bro, sejak kapan duduk di situ? Kenapa tidak masuk kamar saja?” tanya Dion kaget.

“Belum terlalu lama, sekira 15 menit. Aku sudah menduga kau sedang mandi jadi menunggu di sini,” jawab Hendrik dengan wajah lesu.

Dion segera mengetahui ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu tapi memutuskan menunda untuk menanyakannya.

“Kita cari sarapan!” ajak Dion sambil menghidupkan sepeda motornya. Hendrik menyetujui ajakan itu dengan beranjak berdiri.

Dion sangat menikmati sarapannya pagi itu sementara itu Hendrik tampak ogah-ogahan. Sesekali sahabat Dion itu melirik ke arah keramaian.

“Ndrik, butuh sesuatu untuk membuatmu nyaman? Lapak sebelah menjual wedang jahe, sangat baik bagi yang habis begadang,” cetus Dion.

Dion tidak tahu pasti mengapa Hendrik tidak merespons pertanyaannya. Mungkin karena suara lalu lintas di depan mereka atau terlalu larut dalam lamunan.

Setelah menghabiskan sarapan, Dion mengajak Hendrik memindahkan kursi sedikit menjauh dari tampat sarapan yang sedang ramai.

“Kita angkat saja kursinya ke bawah pohon situ, biar ngobrolnya enak,” ajak Dion yang tak ingin perbincangan ditindih suara keramaian.

“Lho tidak apa-apa? Penjual nggak keberatan?” tanya Hendrik.

“Tidak. Aku kenal penjualnya karena sudah setahun lebih aku menjadi langganan di sini,” jawab Dion yakin. Hendrik pun mengikuti ajakan Dion membawa kursi plastik ke tempat dimaksud.

“Tadi malam dari mana saja, Bro?” tanya Dion sesaat setelah menyeruput kopi.

“Di warnet saja. Pagi waktu mau sarapan, aku malah melangkahkan kakiku ke sini,” jawab Hendrik.

“Ada masalah apa sampai nggak tidur?” tanya Dion lagi.

Sejenak Hendrik hanya tersenyum mendengar pertanyaan Dion. Ia tampaknya sedang berusaha mengumpulkan kata-kata untuk memulai kisahnya.

“Sekarang aku mengerti dengan apa yang pernah terjadi padamu,” ujarnya masih dengan senyum getir.

“Lho, malah membicarakan aku? Apa yang terjadi?” tanya Dion lagi.

“Atik memutuskanku,” jawab Hendrik pendek. 

Jawaban Hendrik membuat Dion menghembuskan napas panjang. Dion sungguh tak ingin menambah beban pikiran sahabatnya itu dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan. Untuk beberapa saat keduanya hanya berdiam diri.

“Begadang bisa membuat badan tidak nyaman. Ada penjual wedang jahe di sebelah situ. Mau aku belikan?” Dion mengulangi usulnya soal wedang jahe.

Hendrik yang tak tertarik dengan ide itu hanya mengangguk. Dion pun beranjak dan memesankan wedang jahe yang ia sebutkan tadi dari lapak yang bersebelahan dengan penjual sarapan.

“Minumlah wedang mu. Habis itu mandi dan tidur. Siang nanti aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Hari ini tidak usah bekerja di warnet dulu,” ujar Dion.

Hendrik yang terbeban berat menuruti saran Dion dan meminum wedang jahe yang ada di depannya. Ia yang dikagetkan oleh panasnya wedang, buru-buru menjauhkan gelas dari wajah, membuat minuman sedikit tertumpah dan mengenai t-shirt.

“Pelan-pelan saja, Bro! Patah hati itu memang menyebalkan, membuat kita sulit konsentrasi,” ledek Dion sambil tertawa. Tawa Dion membuat Hendrik menyadari kekonyolannya, ia pun ikut tertawa.

“Dihabiskan saja, mumpung masih hangat dan kita harus buru-buru pulang.”

“Lho, baru mulai bersantai malah diajak pulang, bagaimana sih?”

“Kalau minum jahe saat perut kembung, seseorang itu tidak boleh jauh-jauh dari kamar kecil,” jelas Dion. 

Hendrik pun akhirnya paham dengan maksud Dion karena perlahan ia merasa perutnya mulai mulas.

Setelah membayar sarapan dan wedang pesanannya, Dion menghidupkan sepeda motornya mengajak Hendrik pulang ke indekos.

“Wedang jahe itu memang sangat efektif menghadirkan rasa nyaman dan santai, apalagi habis begadang,” Dion ingin menjelaskan manfaat wedang jahe. 

Tapi kondisinya membuat Hendrik tak tertarik dengan penjelasan itu. “Bro, cepat! Aku takut tak tahan lagi!” seru Hendrik yang sudah duduk di boncengan sambil menepuk pundak Dion.

Dion hanya tertawa lalu membawa sepeda motor melaju keluar dari parkiran.

Di kamar kosnya, Dion menyodorkan handuk bersih, kaos dan celana pendek. “Bro mandi dulu, ganti baju supaya nyaman lalu coba tidur. Aku harus mengerjakan sesuatu di komputerku.” 

Hendrik menyambar sodoran Dion dan buru-buru membuka pintu kamar mandi.

Dion memeriksa hasil desain undangan pernikahan karena siang itu ia akan menunjukkannya pada klien untuk meminta persetujuan sebelum dicetak. 

Sesekali ia menatap ke arah Hendrik yang langsung rebah di kasur sambil menonton televisi usai menyelesaikan mandinya.

Kurang dari setengah jam, Dion kembali menatap ke arah Hendrik yang tertidur ditemani lagu-lagu melankolis yang diputar oleh stasiun radio swasta. 

Dion bersimpati pada Hendrik meskipun belum mengetahui mengapa Atik memutuskan hubungan mereka. Tapi Dion tahu, Hendrik yang terkadang bersikap bak playboy sangat menyayangi Atik.

Sudah tengah hari ketika Hendrik terbangun karena suara berisik yang dikeluarkan printer. Tapi ia tak menemukan Dion di sekitar meja komputernya. Hendrik memutar kepala karena mendengar suara dari arah pintu kamar mandi. 

Dion keluar dari pintu itu sambil mengeringkan rambut dengan handuk.“Sudah bangun? Mandi lagi sana biar segar, kita akan makan siang.”

“Malas, Bro! Masih mengantuk lagi pula belum lapar.”

“Kalau begitu temani aku menemui seseorang dulu, habis itu baru kita makan siang. Kau pakai saja bajuku, pilih sendiri tuh di lemari,” usul Dion sambil memeriksa beberapa kertas hasil cetakan printer.

Dengan langkah berat malas-malasan, Hendrik pun masuk ke kamar mandi. Sementara Dion sudah disibukkan oleh sesuatu di komputernya.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Hendrik mendapati Dion yang sudah tampak rapi dengan t-shirt polo hitam dan jeans biru tua sedang mempersiapkan tas kerja dan tas duffle.

“Bro, ganteng sekali kau. Mana mau kupakai?” tanyanya.

“Pilih saja di lemari,” jawab Dion yang masih sibuk dengan tasnya.

...***...

Usai mengganti pakaian buru-buru Hendrik menaiki sepeda motor dan membiarkan Dion membawanya entah ke mana. 

Hendrik mengernyitkan kening ketika Dion menghentikan sepeda motornya di parkiran sebuah kompleks perkantoran. Dengan menenteng helm, Dion mengajak Hendrik memasuki kantor percetakan milik Julius.

“Aku freelancer di sini. Ada janji bertemu dengan klien, Bro ikut saja, tidak usah segan-segan,” ujar Dion pada Hendrik yang mengikuti langkahnya.

“Selamat siang!” sapa Riyani, seorang wanita berusia awal 30-an yang bertugas sebagai receptionist pada Dion.

“Selamat siang, Kak! Janji dengan keluarga Darmawati hari ini, bukan?” tanya Dion.

Sejenak wanita itu memeriksa layar monitornya. “Jam 12 siang ini. Masih setengah jam lagi,” jawabnya.

“Eh iya, kebetulan Rina sedang berbicara dengan klien yang tampaknya tertarik menggunakan jasamu,” sambungnya lagi.

Dion kemudian mengajak Hendrik memasuki sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat menerima tamu.

Hendrik takjub dengan ruangan mewah dan modern itu. Terdapat rak-rak kaca memamerkan hasil-hasil desain grafis. Di tengah ruangan sofa-sofa mewah dibentuk menjadi dua kelompok.

Melihat Dion memasuki ruangan, Rina yang bertugas sebagai marketing melemparkan senyum lebar. 

“Kebetulan Ibu, ini Dion, desainer yang saya ceritakan tadi jadi tak perlu melakukan janji bertemu lagi,” Rina memperkenalkan Dion pada dua orang tamunya.

Tak ingin mengganggu Dion, Hendrik memilih untuk duduk di sofa kelompok kedua. Dari tempatnya duduk ia bisa menyaksikan Dion berbicara menjelaskan sesuatu. Sesekali guyonan Dion membuat kedua tamunya tertawa, seorang ibu dan seorang gadis cantik.

Hati Hendrik tergelitik karena Rina yang cantik duduk begitu dekat hampir menempel pada Dion tanpa rasa canggung sama sekali. Tapi itu belum seberapa karena selanjutnya ia menyaksikan cara kedua perempuan yang diperkirakan Hendrik sebagai ibu dan anak menatapi Dion. 

Tampaknya mereka tidak sepenuhnya menyimak penjelasan Dion yang menunjuk pada beberapa undangan di depannya. Secara serempak kedua perempuan beda usia itu tampak terpesona menatapi paras Dion.

“Beruntung sekali kau punya wajah tampan Dion. Ibu dan anak kau buat naksir di waktu yang bersamaan,” gumam Hendri dalam hati.

Hendrik sempat menelan ludah ketika Dion menyebutkan angka untuk jasa desainnya. 

“Empat juta di luar biaya percetakan. Saya beri garansi untuk sifat eksklusifnya. Kalau ibu menemukan desain yang sama, saya akan kembalikan uang ibu. Kecuali tentunya apabila setelah pernikahan lalu ada yang meniru desain saya itu, tentu ibu tidak bisa klaim garansinya,” terang Dion.

“Atau begini deh, kalau ibu atau kakak tidak suka hasil desainnya, tidak usah bayar,” ujar Dion membuat kedua tamunya bingung.

“Maksudnya begini, saya akan membuatkan beberapa draft undangan, itu seperti desain awal, lalu ibu atau kakak pilih yang disukai dan kita fokus ke desain terpilih itu.”

“Nah, sebelum cetak saya kan harus meminta persetujuan dahulu dari ibu atau kakak. Semisal tidak suka atau berubah pikiran, ya tidak perlu bayar. Tapi tentunya desainnya saya simpan buat saya sendiri,” jelas Dion membuat kedua tamunya tersenyum puas.

“Itu artinya, kita masih harus bertemu beberapa kali, dong?” tanya sang ibu dengan nada gembira memikirkan pertemuannya dengan pemuda tampan di hadapannya.

“Ya mau bagaimana lagi, Ibu? Hanya dengan cara itu kita mendapatkan hasil terbaik. Bagaimana, Kak?” kata Dion sambil menoleh pada wanita muda yang merupakan calon pengantin.

“Eh iya. Nanti ketemunya sama saya saja. Soalnya ibu saya pasti akan sibuk,” sahutnya yang merasa ibunya naksir pada pemuda di hadapan mereka.

Mendengar kalimat anaknya, sang ibu sempat menyorotkan tatapan galak tapi kemudian tersenyum karena Dion kembali menoleh ke arahnya.

Hendrik hampir tak bisa menahan rasa geli di hatinya menyaksikan sikap ibu dan anak itu. Ia mencubit pahanya sendiri untuk menahan tawa sambil menundukkan kepala seolah-olah sedang membaca majalah di pangkuannya.

“Enak sekali hidupmu Dion. Selain fee besar, kau bisa pacarin itu ibu, pasti bisa dapat uang lebih banyak,” pikir Hendrik nakal.

Perbincangan Dion, Rina dan keduanya tamunya masih berlanjut dengan akrab sebelum dihentikan oleh Riyani karena tamu yang sudah mengadakan janji dengan Dion telah tiba.

“Mohon maaf, tamu yang sudah membuat janji dengan saya sedang menunggu. Saya pasti akan segera kerjakan dan dalam beberapa hari kita sudah bisa diskusikan draft pertama,” ujar Dion sambil berdiri.

“Minta nomor telepon kamu dong!” pinta sang ibu sambil memegangi ponselnya.

Dion mengeluarkan kartu nama dari dompet dan memberikannya pada wanita itu. Tanpa memeriksa lagi, wanita paruh baya itu memasukkan kartu itu ke dalam dompetnya sendiri.

Ia tak tahu, bahwa di kartu itu tidak terdapat nomor ponsel Dion. Hanya nomor telepon kantor percetakan dan email marketing. Dion memang tidak pernah memberikan nomor ponsel pada kliennya. Ia lebih memilih berkomunikasi dengan klien melalui Riyani atau Rina.

Sepeninggal kedua tamu, Dion dan Rina langsung menerima tamu lainnya. Seorang wanita muda keturunan berpenampilan seksi mengenakan short pendek memamerkan kaki jenjang dan paha putih mulusnya.

Wanita itu juga mengenakan pakaian ketat tanpa lengan sehingga tubuh sintalnya semakin menggoda mata pria yang menatapnya. Wanita itu didampingi pria berusia awal 40-an dengan badan agak gemuk berkacamata.

Setelah bersalaman, Dion dan Rina terlihat larut dalam pembicaraan dengan kedua orang itu. Dion mengeluarkan beberapa benda yang tampaknya adalah hasil desain dari tas selempang. Guyonan Dion membuat kedua tamunya senang karena ruangan itu segera saja dipenuhi oleh tawa mereka.

Mata kedua tamunya kemudian terpaku pada undangan berukuran besar yang didesain Dion. Ketika Dion membuka undangan berukuran tidak lazim itu, sang wanita pindah dan duduk tepat di samping Dion agar mendapatkan perspektif sama dengan desainernya.

Hendrik kembali menelan ludah. Bagaimana tidak, kini Dion diapit oleh dua orang wanita cantik. Wanita yang merupakan tamu itu bahkan duduk terlalu rapat sehingga tubuhnya nyaris menempel ke badan Dion.

“Bisa gila aku lama-lama di sini menyaksikan Dion digoda wanita sepanjang hari,” gumam Hendrik dalam hati.

Ia tak mengerti mengapa sang pria tampak tidak cemburu pasangannya menempel pada pria lain. Pria berkacamata itu bahkan ikut tertawa ketika Dion menjelaskan sesuatu.

“Apa begini pergaulan orang-orang kaya?” pikir Hendrik.

Lamunan Hendrik terhenti ketika Riyani, wanita yang bertugas sebagai receptionist menyajikan minuman dingin. Hendrik yang sedari tadi merasa haus, senang ketika Riyani juga menyanyikan minuman padanya.

“Bang diminum! Harap sabar, ya! Dion memang suka ngobrol panjang dengan kliennya,” ujar wanita itu ramah.

“Tidak apa-apa, Kak. Aku malah takut sudah mengganggu,” sahut Hendrik.

“Tidak mengganggu. Oh ya, ada snack tuh, cukup untuk dijadikan untuk mengganjal lapar,” tambah Riyani sambil menunjuk stoples di atas meja.

“Terima kasih, Kak! Belum lapar, kok,” jawabnya.

“Aku kembali ke mejaku, ya. Kali aja ada tamu,” pungkas Riyani lalu meninggalkan ruangan itu.

Meskipun diskusi tentang desain sudah berakhir, Dion masih berbincang dengan tamunya. Kali ini Dion tampak serius mendengarkan pria berkacamata itu yang menjelaskan sesuatu. Sesekali Dion tampak menimpali sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Tak hanya dianugerahi wajah tampan, Dion juga memiliki kemampuan komunikasi yang hebat,” pikir Hendrik yang mengakui kelebihan sahabatnya itu. Ia kemudian teringat bagaimana dahulu Dion bisa membuat Marihot, preman kambuhan terkencing-kencing karena kata-kata Dion.

Hendrik juga teringat ketika Dion membuat Atik yang sejatinya adalah gadis galak, marah-marah di rental komputernya dibuat tak berdaya dan menurut pada Dion.

Tapi teringat pada Atik membuat Hendrik kembali sedih. Gadis yang sangat ia cintai itu sudah memutuskan hubungan dengannya.

Hendrik menghentikan lamunannya ketika mendengar suara tawa keras yang dikeluarkan oleh pria berkacamata. Ia melihat pria itu menyerahkan selembar kertas yang Hendrik duga adalah cek pada Dion. Kemudian keempatnya tampak saling bersalaman.

“Pokoknya Dion dan Rina harus hadir di acara pernikahan kami,” ucap pria berkacamata sambil melangkah meninggalkan ruangan dengan menggandeng calon pengantinnya.

Sepeninggal tamunya, akhirnya Dion pun memperkenalkan Hendrik pada Rina dan Riyani.

“Kedua kakak yang cantik dan baik ini namanya Rina dan Riyani, aku memanggil mereka Kak Rina dan Kak Rini,” Dion memperkenalkan kedua wanita itu pada Hendrik.

Hendrik menyambut sodoran tangan Rina dengan antusias. “Hendrikus,” ia menyebutkan namanya sendiri ketika menyalami kedua wanita itu.

Mulanya Hendrik merasa canggung, tapi setelah melihat Rina yang manja pada Dion membuat Hendrik merasa berada di antara sahabat.

Hendrik merasa heran, meskipun Dion memanggil Rina dengan sebutan kakak, tapi justru perempuan itulah yang bersikap seperti adik perempuan. Saat itu Rina sedang merayu Dion agar mau menemaninya memilih laptop yang ingin ia belikan untuk adiknya yang sedang berkuliah.

“Iya deh, Kak. Tapi jangan after office. Aku kan harus bekerja. Hari Sabtu atau Minggu saja, ya, sekalian Kak Rina traktir makan siang,” Dion menjawab permintaan Rina.

Hendrik segera tahu kedekatan Dion dengan kedua wanita itu ketika Dion menyerahkan cek yang diserahkan pria berkacamata pada Riyani. Sementara itu Rina tampak memasukkan sebungkus emping ke dalam tas jinjing Dion tanpa permisi.

“Potong berapa nih?” tanya Riyani kemudian.

“Transfer 6 saja buatku. Sisanya untuk kakak berdua,” sahut Dion membuat kedua perempuan itu tersenyum gembira.

“Kita makan enak siang ini. Aku traktir deh,” ujar Rina bersemangat dan gembira.

“Pasti enak sekali. Tapi aku sudah ada janji makan siang. Berikut saja, ya Kak,” tolak Dion membuat kedua perempuan itu kecewa. Hendrik juga merasa kecewa karena ia mulai naksir pada Rina yang cantik.

Marina Zaheera alias Rina yang adalah keponakan Julius yang merupakan keturunan Turki dan memiliki kecantikan khas Mediterania. Kulit cerah, alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung dan tubuh sintal sedikit berisi dan lebih jangkung dari kebanyakan perempuan Indonesia. Rina yang ramah dan supel juga memiliki tone suara berbeda.

“Bro, kau tahu apa yang sudah kau lakukan? Kau baru saja menolak ajakan makan siang seorang bidadari,” protes Hendrik pada Dion ketika keduanya tiba di parkiran.

Dion hanya tertawa mendengar protes Hendrik. “Memenuhi janji itu lebih penting. Tenang saja, akan ada kesempatan lain. Yuk, kupikir kita belum terlambat,” ajak Dion. 

Hendrik pun menaiki sepeda motor sport Dion dan membiarkan sahabatnya itu membawanya menuju tempat berikutnya.

Hendrik kembali kaget ketika Dion memutar sepeda motornya memasuki parkiran sebuah gedung pencakar langit.

“Kupikir kita akan makan siang,” Hendrik bingung dengan tujuan mereka.

“Memang. Di atas ada restorannya juga. Kita makan di sana,” jelas Dion lalu memasuki lift dari parkir basement yang akan membawa mereka ke lantai di mana restoran berada.

“Selamat siang Pak Dion! Ibu Astrid sudah menunggu, silakan!” sapa petugas penerima tamu ketika Dion dan Hendrik tiba di pintu restoran.

“Bro, mereka sudah kenal denganmu?” tanya Hendrik penasaran.

“Aku lumayan sering kemari karena ada urusan belakangan hari ini, karenanya mereka kenal,” jawab Dion sambil melangkah dan melihat sekeliling ruangan restoran.

Hendrik mengkhawatirkan penampilannya ketika mengetahui ternyata Dion mengajaknya makan siang dengan dua wanita cantik yang tampaknya merupakan orang penting.

“Sial kau Dion! Kenapa tidak bilang kalau hari ini kita akan menemui wanita-wanita cantik,” celetuknya dalam hati.

“Selamat Siang Kak Astrid! Nona Meyleen,” sapa Dion pada kedua wanita yang sudah terlebih dahulu melemparkan senyum pada Dion.

“Hari ini aku bersama seorang teman. Tadi ada urusan bersama, karena sudah waktunya makan siang sekalian saja kuajak kemari. Ini Hendrikus, dia seorang programmer. Computer Network adalah expertise-nya,” Dion memperkenalkan Hendrik pada kedua wanita itu.

Meskipun kata-kata Dion dimaksudkan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya, tapi Hendrik tetap saja gugup ketika menyalami Meyleen dan Astrid.

“Kak Astrid ini seorang eksekutif dari perusahaan real estate terbesar di Kota Medan. Gedung megah ini milik mereka. Nah, yang ini namanya Kak Meyleen, dia teman sekantorku. Manajer Pemasaran yang sangat tangguh,” Dion balik memperkenalkan kedua wanita itu pada Hendrik.

“Meyleen saja, nggak usah pakai kakak,” celetuk Meyleen menyalami Hendrik sambil merengut pada Dion.

“Astrid. Juga jangan panggil kakak, kecuali Hendrik punya abang tampan buat dikenalin ke aku,” timpal Astrid ketika gilirannya menyalami Hendrik.

Tak butuh waktu lama bagi Hendrik untuk mengetahui bahwa Dion lebih dekat dengan Meyleen. Tapi Astrid lah yang lebih genit terhadap pemuda itu.

Hendrik merasa tergoda untuk mengetahui bagaimana cara Dion mengatasi kedua wanita itu karena pada titik tertentu Dion harus memilih satu di antaranya.

Beberapa saat kemudian Hendrik mulai sibuk memperhatikan mimik wajah dan gestur tubuh kedua wanita itu. Sikapnya diam, coba menyimak pembicaraan ketiganya yang sedang membicarakan kesiapan mereka akan lomba maraton yang akan digelar di akhir bulan.

“Desainnya berdasarkan petunjuk Bang Kiki, tinggal menunggu persetujuannya untuk dicetak lalu diletakkan di titik-titik yang diinginkan,” Dion menjelaskan desain baliho yang merupakan bagian dari upaya promosi dan sosialisasi terakhir acara lomba pada Astrid.

Untuk sesaat Astrid memeriksa hasil desain itu. Ia tampak puas karena tak menemukan kesalahan. “Aku akan tunjukkan pada Pak Rizky. Besok siang ia akan kembali dari Jakarta, mudah-mudahan kita sudah bisa mendapatkan persetujuannya setelah makan siang supaya sorenya bisa langsung dicetak,” katanya.

Hendrik yang mulai diserang rasa bosan karena tak menemukan momen yang ia inginkan merasa gembira ketika akhirnya mereka memesan makan siang.

Dion mulanya lahap dengan kakap asam manis pedas kesukaannya. Tapi makanan itu justru mengingatkannya pada Wina yang sering memasakkan makanan serupa padanya. Ia hampir saja meletakkan sendok ketika tiba-tiba sosok Wina mengenakan celemek muncul di kepalanya.

“Kenapa aku harus teringat padanya sekarang?” keluh Dion dalam hati sambil meminum air putih lalu melanjutkan makan siangnya dengan malas-malasan.

“Kenapa Dion? Nggak enak yah?” tanya Meyleen.

“Enak kok. Cuma tiba-tiba saja aku merasa kenyang,” jawab Dion berbohong.

“Satu kosong,” gumam Hendrik dalam hati sambil menikmati Coto Makassar, menu pilihannya siang itu.

“Coba ini, nih. Kamu kan butuh banyak protein.” Meyleen meletakkan beberapa potong ayam ke piring Dion. “Ini Ayam Goreng Hongkong, makan pakai saus spesial, Dion pasti akan menyukainya,” lanjutnya sambil mendekatkan mangkuk saus ke piring Dion.

“Dua kosong,” gumam Hendrik dalam hatinya lagi. Ia sedang menghitung skor perhatian kedua wanita itu pada Dion.

“Jangan semua dong. Malah Meyleen nggak kebagian,” Dion berusaha menghentikan Meyleen yang terus saja menyodorinya makanan.

“Ah tidak apa-apa. Lagipula aku tidak mengira porsinya sebanyak ini,” kilah Meyleen.

“Kenapa Dion butuh protein ekstra? Ingin meningkatkan hormon dan libido yah?” tanya Astrid cuek.

“Aih si kakak. Aku tak membutuhkan libido tambahan. Soalnya tak ada penyaluran halal,” jawab Dion.

Meyleen yang tertawa mendengar percakapan keduanya ikut berkomentar, “Dion ini kan atlet andalan kami dalam maraton nanti. Jadi butuh tambahan nutrisi,” ungkapnya.

Astrid mendekatkan sepiring sambal goreng kentang telur puyuh pada Dion. “Wah, kalau begitu kamu butuh ini, telur puyuh, porsinya untuk sekeluarga nih. Habisin.” Astrid memang sengaja memesannya sebagai tambahan pada gurami goreng pesanannya.

“Wah akhirnya ada gol balasan, skor sekarang dua satu,” pikir Hendrik.

Dion yang tak ingin mengecewakan kedua wanita itu akhirnya menyantap makanan-makanan yang disodorkan padanya. Dion sedikit heran ketika sekilas melihat Hendrik tersenyum nakal.

“Dion ngapain aja untuk having fun kalau sedang libur?” tanya Astrid mengisi perbincangan pada makan siang itu.

“Hidupku membosankan. Paling-paling cuci dan setrika baju sampai lelah lalu tiduran. Kalau kakak? Bang Kiki bilang Kak Astrid suka outing yah?” sahut Dion.

“Iya. Aku ikut kelompok pecinta alam. Dulu sering mendaki, berkemah atau rafting di Bukit Lawang,” jelas Astrid.

“Kedengarannya seru. Trus sekarang sudah tidak sering?” tanya Meyleen menimpali.

“Iya nih. Sibuk dengan pekerjaan jadi sulit mencari waktu yang pas. Sekarang sih paling-paling nongkrong di klub bareng teman-teman kalau malam minggu,” jawab Astrid.

“Kak Astrid pasti jago dance club dong?” tanya Dion sambil mempraktikkan hip hop dance dengan mengangkat kedua tangannya seraya menggerakkan bahunya. Gerakan Dion membuat ketiga orang itu tertawa.

“Hah, pasti Dion sering ke klub juga,” tebak Astrid.

“Dulu sering ke klub. Tapi bukan untuk fun, melainkan bekerja sebagai tenaga kasual untuk tambahan biaya sekolah dan kuliah,” jawab Dion.

“Boro-boro dance club, goyang dangdut saja tak bisa padahal orang kampung tulen, loh,” lanjutnya membuat ketiganya kembali tertawa.

“Serius lah. Malam mingguannya nongkrong di mana?” tanya Astrid. Meyleen tampaknya tertarik dengan jawaban Dion karena ia terlihat sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah pemuda itu.

“Serius, Kak. Kalau ada waktu paling-paling aku nongkrong dengan Hendrik di warung kopi atau di depan rumah sambil ngobrol. Itu juga bukan malam minggu karena dia pasti sibuk pacaran,” jawab Dion sambil meraih gelas berisi air putih di depannya.

“Tenang bro. Mulai hari ini aku akan jadi temanmu di malam minggu,” sahut Hendrik yang dari tadi hanya diam menyimak pembicaraan.

Dion sampai tersedak karena kaget mendengar ucapan Hendrik. Buru-buru ia meletakkan kembali gelasnya dan mengambil tisu yang disodorkan Meyleen untuk menyeka air yang meleleh di dagunya karena tersedak tadi.

“Tiga satu. Meyleen tampaknya menang besar,” pikir Hendrik memberi nilai pada perhatian Meyleen. 

Meskipun penasaran mengapa Dion sampai tersedak, Astrid malah melemparkan pertanyaan pada Hendrik. “Kasihan pacarnya ditinggal malam minggu demi si Dion ini. Bila perlu biar aku yang urus dia.” 

Mendengar kalimat itu, Dion tertawa geli karena Astrid justru kembali mengungkit masalah pacaran di malam minggu.

“Sudah ah, Kak! Jangan singgung-singgung malam minggu di depan Hendrik,” jelas Dion. Astrid dan Meyleen menatap heran padanya seolah menginginkan penjelasan.

Sementara itu Hendrik masih asyik dengan hitungannya. “Wah, ajakan yang berani, Astrid harus mendapat nilai dua untuk itu. Tapi itu tidak adil, nilai tetap satu. Posisinya 3 - 2,” batin Hendrik melanjutkan hitungannya. 

Mendapati dirinya ditatapi Dion, Meyleen dan Astrid, Hendrik pun tersadar dari lamunan. “Tidak apa-apa. Sudah putus dengan pacar makanya Dion sekarang punya teman jomblo,” ujarnya sedikit gugup.

“Wah, ada yang lagi patah hati nih,” ledek Astrid sambil menaikkan alisnya membuat pemuda itu salah tingkah. 

“Sudahlah, patah hati tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus cari kegiatan yang fun. Bagaimana kalau kita berempat ke klub Sabtu ini?”

“Itulah sebabnya aku ajak dia ke sini. Di dunia ini masih banyak perempuan cantik. Nah, ini aku sedang tunjukkan dua speciment terbaik dari makhluk yang namanya perempuan,” canda Dion kembali membuat ketiganya tertawa.

“Sabtu, mau?” Astrid mengulangi pertanyaannya, kali ini pada Dion.

“Jujur nih, Kak. Aku tuh nggak kuat minum. Malah ntar malu-maluin. Lagipula aku kan lagi mempersiapkan diri untuk maraton. Mungkin Meyleen atau Hendrik saja deh,” elak Dion membuat Astrid sedikit kecewa.

“Ya sudah, habis lomba maraton deh. Aku juga sudah tidak lama ke klub malam,” Meyleen menimpali.

“Oke, nanti tinggal cari waktu yang pas saja,” timpal Dion membuat Astrid tersenyum semringah.

Obralan mereka masih berlanjut hingga keempatnya merasa cukup dengan makan siang. 

Astrid masih saja mendominasi pembicaraan mereka. Dari isi ceritanya, Hendrik segera tahu Astrid sangat gaul dan memiliki gaya hidup tinggi, mungkin karena pada dasarnya ia berasal dari keluarga berada. 

“Tapi Astrid juga memiliki kepribadian yang toleran, hangat dan ramai,” pikir Hendrik.

“Meyleen minggu lalu memberiku kartu namanya, sangat bagus, elegan dan berkelas. Katanya Dion yang desain. Bikinin buatku juga dong,” Astrid teringat pada kartu nama ketika mereka membicarakan nomor kontak beberapa panitia event.

“Coba lihat kartu nama Kakak,” ujar Dion membuat Astrid mengeluarkan kartu namanya dan kartu nama yang diberikan Meyleen. 

“Lihat beda kualitas bukan. Kartu namaku terlalu biasa. Aku mau yang begini juga, yang elegan dan tampak spesial,” pinta Astrid setengah merengek membandingkan kedua kartu itu.

“Ah, kartu Kakak sebenarnya bagus juga. Lagipula kalau aku bikin sama dengan milik Meyleen malah jadi nggak spesial lagi,” ujar Dion.

“Yah, jangan dibikin sama dong. Mirip-mirip saja, yang berkelas gitu,” kata Astrid lagi.

“Iya deh aku bikinin. Aku punya beberapa kartu yang bagus di dompet. Coba kakak lihat siapa tahu ada yang kakak suka,” ujar Dion sambil mengeluarkan dompetnya.

“Sekarang posisinya 3 sama. Wah semakin seru saja,” pikir Hendrik melanjutkan hitungannya yang tadi sempat terhenti.

Dion yang mencoba menunjukkan beberapa kartu nama kaget ketika tiba-tiba benda kecil terjatuh dari dompetnya. Dion penasaran karena tidak mengetahui benda apa yang terjatuh, ia lalu berusaha melihat ke lantai dan mencarinya. “Aku merasa sesuatu terjatuh dari dalam dompet,” ujarnya yang tak juga menemukan benda yang ia cari.

“Iya, aku juga melihatnya. Sesuatu yang kecil,” sahut Meyleen.

Penasaran, Dion akhirnya menurunkan tubuhnya ke bawah meja agar mendapat pemandangan yang lebih lega untuk mencari benda terjatuh tadi.

Sementara Dion sibuk mencari di lantai, Meyleen penasaran melihat isi dompet pemuda itu yang terbuka di atas meja. Ia meletakkan jarinya di bibir meminta agar Astrid dan Hendrik tidak mengadukan perbuatannya lalu melihat isi dompet cokelat yang melengkung karena sering diduduki.

Merasa menemukan sesuatu di dompet itu, Meyleen lalu menunjukkannya pada Astrid. Keduanya lalu cekikikan sambil berbisik-bisik.

Hendrik yang penasaran dengan usaha pencarian Dion sejenak menatap ke arah pemuda itu yang masih saja memandangi ubin putih. Tapi Hendrik tercengang mendapati Astrid dengan sengaja merenggangkan kakinya lebar-lebar. Wanita itu membuka pahanya yang hanya dilindungi rok super mini, tepat ke arah Dion yang sedang sibuk menatap ubin.

Pemandangan itu membuat jakun Hendrik naik turun. Pikirannya segera saja dipenuhi fantasi nakal. Tapi ia segera mengangkat kepalanya kembali menoleh ke arah Astrid dan Meyleen yang masih sibuk berbisik-bisik menatap sesuatu di dompet Dion.

“Ketemu!” seru Dion tapi tiba-tiba terdengar suara benturan. 

“Bruk!!!”

Kepala Dion membentur pinggiran meja dengan keras.

“Aduh!” rintih Dion yang muncul dari bawah sambil memegangi sudut atas dahi yang terbentur.

Dion menemukan benda yang terjatuh, yang ternyata adalah sim card lamanya yang terselip di dalam dompet. Sim card itu memiliki warna sama dengan lantai, yakni putih, membuatnya tersamar dan sulit ditemukan.

Ketika tadi mengangkat kepalanya untuk kembali duduk ke posisi semula, Dion kaget melihat kaki Astrid terbuka lebar mengekspos bebas area intimnya. Merasa malu, buru-buru Dion mengangkat kepalanya tapi malah membentur pinggiran meja.

“Kenapa kepalamu, Dion?” tanya Meyleen yang melihat Dion meringis kesakitan sambil mengusap-usap kepala. Sementara itu Astrid tampak tertawa puas. Perempuan itu sudah bisa menduga apa yang menyebabkan benturan kepala Dion.

Di samping Dion, Hendrik tampak tersenyum sambil garuk-garuk kepala. Ia tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Astrid pada Dion.

“Wah, tindakan itu jelas mendapat nilai besar, lima poin sekaligus. Yah sekarang skornya 3 - 8,” pikir Hendrik dalam hati.

“Kepalaku terbentur meja,” sahut Dion menjawab pertanyaan Meyleen. Tapi Dion malah menatap ke Astrid yang tersenyum nakal sambil menundukkan kepala.

Meyleen lalu coba memeriksa kepala Dion sambil menyentuhkan ujung jarinya pada bagian yang tadi dipegangi pemuda itu. “Cuma memerah sedikit. Tidak apa-apa.” 

Meyleen mengusap-usap bagian yang sedikit memerah dan tertutupi rambut lalu mengembalikan dompet Dion. 

“Maaf tadi aku lihat isi dompetmu. Cuma penasaran dengan gambar wanita yang tadi terpampang.”

“Kamu benar, Wina cantik sekali,” sambungnya.

Dion menerima sodoran dompet dari tangan Meyleen sambil mengernyitkan kening. Ia membuka dompet dan melihat foto yang dimaksud Meyleen.

“Meyleen bilang Wina cantik,” Dion menunjukkan foto di dompet pada Hendrik yang duduk di sampingnya.

“Wina memang cantik. Tapi itu bukan fotonya,” ujar Hendrik sambil tertawa kecil. Pernyataan itu membuat Meyleen dan Astrid heran.

“Itu foto ibunya Dion,” lanjut Hendrik karena kedua wanita itu terus saja menatap ke arahnya yang tertawa geli.

“Oh!” seru kedua wanita itu hampir bersamaan. 

“Kenapa simpan sim card di dompet. Dion punya nomor rahasia, ya?” tanya Astrid kemudian.

“Bukan rahasia. Ini kartu perdana yang lama. Pak Sutan memintaku mengganti nomor karena katanya angka 4 sangat dihindari oleh beberapa kultur. Kartu ini memiliki angka empat kembar tiga di belakangnya” jelas Dion.

“Aku pasti tak sengaja menyimpannya di dompet dan melupakannya,” sambungnya lagi.

Dion lalu menunjukkan beberapa lembar kartu nama pada Astrid. “Nih beberapa contoh. Kakak suka yang model bagaimana? Nanti aku bikinin.”

Keempatnya masih melanjutkan obrolan hingga akhirnya membubarkan diri karena masing-masing masih memiliki pekerjaan lain.

“Sebenarnya aku ingin pergi dengan kalian ke gimnasium, tapi aku sudah ada janji sore ini dengan satu yayasan pendidikan,” ucap Meyleen yang berjalan menuju lift dengan Dion dan Hendrik, sementara Astrid kembali ke kantornya yang berada di gedung yang sama menggunakan lift berbeda.

“Di mobil aku punya beberapa botol electrolyte drink yang aku bawa dari Singapura minggu lalu. Bagus untuk diminum ketika latihan,” lanjut Meyleen.

“Itu seperti sport drinks, ya?” tanya Dion.

“Memang pun sport drinks. Tapi minuman ini katanya lebih difokuskan untuk menambah elektrolit pada tubuh,” terang Meyleen.

Ketika ketiganya tiba di mobil Meyleen yang terparkir tak jauh dari motor Dion, gadis itu lalu menyerahkan beberapa botol minuman yang tersimpan dalam kantung plastik.

“Sehabis pertemuan, Meyleen masih kembali ke kantor?”

“Iya, soalnya ada meeting dengan timku sebelum makan malam.”

“Oh. Aku titip tas kerjaku yah. Soalnya repot nih bawa tiga benda.”

Meyleen pun mengangguk lalu membantu melepas tas kerja Dion yang melintangi tubuhnya. “Di dalam ada sebungkus emping. Seseorang memberikannya. Katanya baru digoreng tadi pagi,” ujar Dion usai tasnya terlepas.

“Bagi dong!” pinta Meyleen yang memang menyukai emping melinjo.

“Ambil saja, Nona!” jawab Dion yang menjauh dari mobil Meyleen menuju motornya sendiri bersama Hendrik.

“Kalau habis bagaimana?” tanya Meyleen setengah berteriak karena Dion kian jauh.

“Habisin saja, nggak apa-apa,” sahut Dion juga dengan setengah berteriak.

“Kita langsung ke gym?” tanya Hendrik pada Dion yang mulai menggeser posisi sepeda motornya.

“Iya, Bro. Sebenarnya hari ini aku ajak kau utamanya bukan untuk bertemu dengan Rina, Astrid atau Meyleen, tapi yang berikut ini,” ungkap Dion.

“Mantap. Seorang wanita cantik lainnya?” tanya Hendrik.

Sejenak Dion menatap sahabatnya itu. Sebuah ide muncul di kepalanya dan kemudian melempar senyum pada Hendrik dan mengangguk.

Hendrik merasa senang dengan jawaban Dion. Dia penasaran wanita cantik seperti apa lagi yang akan dikenalkan Dion padanya.

Sementara itu sedan biru yang dikemudikan Meyleen melintasi mereka karena akan keluar dari area parkir.

Meyleen membukakan kaca mobilnya dan melempar senyum pada kedua pemuda yang sedang bersiap menaiki sepeda motor. 

“Empingnya enak!” seru Meyleen yang kini mengenakan kacamata hitam sambil menunjukkan emping di jarinya pada Dion dan Hendrik.

Dion hanya tersenyum mengetahui Meyleen menyukai emping itu. 

“Aku lebih dulu, ya. Kalian hati-hati di jalan,” ucap Meyleen lalu meninggalkan Dion dan Hendrik.

“Bro, Meyleen menyukaimu,” ujar Hendrik yang sudah duduk di boncengan motor. Dion tak menyahut pernyataan sahabatnya itu. Ia mulai menjalankan motornya meninggalkan parkir bawah tanah itu. 

Sesampainya di gimnasium, Dion tak langsung membawa Hendrik menuju sasana tinju yang berada di lantai bawah karena ia ingin memperkenalkan Hendrik pada seseorang.

“Selamat sore, Karenia!” sapa Dion pada wanita muda yang sedang asyik memperhatikan layar komputer di gerai setengah lingkaran.

Wanita itu memutar tubuhnya yang duduk di atas kursi putar tanpa sandaran. “Selamat sore! Tumben Dion tiba lebih cepat dari biasanya,” sahut gadis yang dipanggil Dion sebagai Karenia sambil senyum manis.

Gadis itu mengenakan celana pendek krem memamerkan kaki jenjang dan paha putih mulusnya. Ia juga mengenakan t-shirt putih berlengan pendek. Pakaian itu cukup tipis, sedikit transparan, membuat pakaian dalamnya membayang jelas.

Hendrik kembali menelan ludah. Jakunnya naik turun karena pemandangan itu. Bukan hanya cara berpakaian gadis itu yang provokatif, bentuk tubuh yang sintal, rambut dicat pirang, gadis itu juga memiliki kulit putih dan wajah memikat.

Karenia memiliki mata bulat, hidung bangir, bibir sedikit tebal merah merekah bergincu dan senyum manis yang membuat Hendrik salah tingkah. 

“Iya. Hari ini aku bawa teman. Katanya ia mau lihat-lihat siapa karena tertarik ikut bergabung dengan kelas fitness,” Dion memperkenalkan Hendrik pada Karenia yang merupakan pemilik klub kebugaran itu bersama kakak lelakinya.

Karenia lalu meninggalkan kursinya dan mengajak Dion dan Hendrik duduk di sofa yang ditata di depan gerai. Ia menyuguhkan minuman botol sebelum memulai obrolan.

Karenia kembali melemparkan senyum membuat Hendrik salah tingkah dan gugup. “Sepertinya aku tak perlu menjelaskan apa-apa. Pasti Dion sudah menjelaskan semuanya pada Bang Hendrik.”

“Dia ingin tahu pilihan program untuk kelas pemula, pilihan waktu dan soal biayanya,” timpal Dion berbohong. Ia hanya ingin Karenia berbicara pada Hendrik lebih lama, bukan sekadar berkenalan.

Karenia mengambil beberapa brosur dan pindah ke samping Hendrik. Gadis itu mulai menjelaskan beberapa pilihan untuk kelas pemula sambil menunjuk ke arah brosur dan tabel di atas kertas putih.

Gadis yang kini duduk rapat dengannya membuat Hendrik bisa mencium aroma parfum memikat. Sejenak ia menatapi wajah gadis itu yang dengan luwes memberikan penjelasan. Dada Hendrik pun berdegup kencang.

Ia coba menatap kertas yang ditunjukkan Karenia padanya, tapi matanya kemudian tergoda melihat jari-jari mulus dan lentik dengan kuku yang dihiasi ornamen indah. Sebuah cincin empat di jari tengah mempermanis jari tangan gadis itu. 

Hendrik merasa heran, bagaimana mungkin hatinya berdebar kencang karena memandangi tangan gadis itu. 

“Pasti Dion ngerjain aku. Ah, atau mungkin ia hanya ingin menghiburku saja,” pikirnya berusaha mengusir rasa gugup.

Hendrik yang akhirnya berhasil fokus dan menyimak penjelasan Karenia mulai balas melontarkan beberapa pertanyaan. Setelah beberapa saat, Hendrik bahkan sudah mulai berani berguyon yang membuat Karenia juga lebih santai.

Diskusi mereka berlangsung beberapa lama. Dion hanya memperhatikan keduanya, terutama Hendrik yang sejak pagi gugup kini mulai nyaman dengan dirinya sendiri.

“Bang Hendrik tidak perlu mendaftar kalau hanya sekadar trial. Datang kapan saja, mendaftarnya kalau sudah merasa cocok saja,” ujar Karenia di akhir diskusi.

“Iya nih. Aku pasti akan mendaftar. Hanya saja perlu memikirkan waktu yang tepat; pagi, sore atau malam hari,” jawab Hendrik membuat Karenia senang karena merasa akan ketambahan member sore itu.

“Kalau pagi, kebanyakan ibu rumah tangga dan mahasiswa. Kalau sore seperti sekarang tidak terlalu ramai. Cocok bagi yang lebih menyukai suasana yang sepi. Nah, malam hari biasanya penuh karena banyak member merupakan para pekerja kantoran di sekitar sini. Mereka fitness sebelum pulang ke rumah,” jelas Karenia.

“Dion! Dion!” seru Karenia tiba-tiba pada Dion yang sedang asyik membaca majalah.

“Hadir!” Dion membalas seruan itu.

“Aku ingin membicarakan sesuatu. Masih ada waktu?” tanya Karenia.

“Ih, bicarakan saja. Tak usah tanya waktu. Kalau pun aku sedang bertinju, Karenia tetap boleh bertanya, kok,” jawab Dion.

“Pembicaraan rahasia kah? Atau Karenia akhirnya menyetujui ajakan kencanku?” tanya Dion menggoda sambil meletakkan majalah.

“Gayamu Dion! Kalimatnya terbalik. Apa akhirnya Dion mengajakku kencan? Ayo dong, Karen sudah tunggu setahun nih!” ujar Karenia sambil meletakkan pundak tangannya di dagu menirukan pose seorang foto model.

“Nyaliku belum sebesar itu. Nanti aku belajar ilmu kebal dulu baru ajakin Karen kencan,” sahut Dion sambil tertawa melihat tingkah Karenia.

“Ih, serius nih. Bukan rahasia kok,” ujar Karenia lagi sambil memukul lengan atas Dion.

“Minggu lalu Cece Meyleen cerita kalau Dion itu lumayan dekat dengan Keluarga Sutan, itu tuh politisi dan pemilik real estate terkenal itu.”

“Wah, Karen dan Mey sudah pada tahap gosip-gosipan, ya?” 

Mendengar Dion masih berguyon, Karenia kembali gemas dan mencubit lengan Dion dengan lumayan keras.

“Aduh. Iya deh. Dion akan serius,” ringis Dion.

“Soal kedekatan sih aku tak tahu tolak ukurnya. Tapi anggap saja aku bisa mengajak Pak Sutan atau Bang Kiki berbicara kalau waktunya tepat,” jelas Dion.

“Begini Dion, kami ingin menyewa properti mereka untuk membuka klub fitnes di Perumahan Medan Utara yang baru itu. Hanya saja sulit sekali mendapatkan kesepakatan.”

“Kami sudah bernegosiasi dengan pihak manajemennya, alih-alih dapat harga yang cocok, bahkan untuk mencapai kesepakatan soal perjanjian sewa pun tampaknya mustahil.” 

“Lho, gym ini mau dipindah?” tanya Dion heran.

“Ekspansi. Sedikit banyak kami sudah melakukan survei, meskipun sedikit jauh dari pusat kota tapi perumahan itu memiliki prospek bisnis besar. Selain ukurannya masif, profil penghuni perumahan itu adalah kalangan ekonomi menengah ke atas. Pasti banyak yang menginginkan fasilitas fitnes di tempat itu,” jelas Karenia lagi.

“Trus, nanti andai dibuka di sana, Karen akan pindah juga ke sana? Tempat ini jadi sepi dong,” tanya Dion.

“Makanya Dion pindah juga ke sana,” timpal Karenia.

“Sebenarnya banyak yang menyarankan agar kami tidak melakukan ekspansi. Lebih baik memperbesar yang ini dengan mengganti sasana menjadi area fitnes juga,” jelas gadis itu lagi.

Karenia kemudian tertawa karena melihat ekspresi protes Dion yang menaikkan sebelah alisnya. “Tenang saja Dion. Sasanamu tidak akan kami tutup. Walaupun secara ekonomi tidak memberikan keuntungan besar, tapi kehadiran sasana itu justru membuat tempat ini aman. Pelaku kriminal takut beraksi di area ini karena tak mau berurusan dengan para petinju.”

“Tolong lah Dion. Mediasi kami dengan mereka,” pinta Karenia lagi sedikit manja.

“Well, kalau ada waktu, aku akan menyampaikannya pada Pak Sutan atau Bang Kiki. Mereka berdua sedang sibuk hari-hari ini jadi mungkin akan sedikit sulit menemukan waktu yang pas,” ujar Dion sambil beranjak berdiri karena akan memulai latihan tinjunya di lantai bawah.

“Beneren, ya! Dion akan bantu, toh?” tanya Karenia kembali manja.

“I’ll do my best,” jawab Dion tersenyum sambil mengangguk.

“So, Dion jadi ajak aku kencan?” tanya gadis itu lagi dengan menyatukan kedua telapak tangan dan meletakkannya di pipi kirinya seperti memohon.

Hendrik tidak tahu apa yang dibisikkan Dion tapi gadis itu tampak geli dan tertawa keras lalu memukuli punggung Dion.

Dion pun mengajak Hendrik meninggalkan arena fitnes menuju sasana tinju yang berada di lantai bawah. “Bro, di sebelah situ ada kafetaria. Pesan sesuatu saja kalau mau, soalnya aku akan latihan satu jam kau mungkin akan bosan,” usul Dion.

“Nanti saja, aku masih merasa kenyang,” jawab Hendrik. “Tadi bisikkan apa? Kenapa dia tampak malu dan tertawa begitu?” Hendrik penasaran pada bisik-bisik Dion pada Karenia tadi.

“Aku bilang aku takut mengajaknya kencan karena khawatir tak bisa menahan diri dan dia hamil di luar nikah,” jelas Dion membuat Hendrik jadi ikut tertawa dan melanjutkan langkahnya mengikuti Dion.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!