Gendhis harus merelakan pernikahan mereka berakhir karena menganggap Raka tidak pernah mencintainya. Wanita itu menggugat cerai Raka diam-diam dan pergi begitu saja. Raka yang ditinggalkan oleh Gendhis baru menyadari perasaannya ketika istrinya itu pergi. Dengan berbagai cara dia berusaha agar tidak ada perceraian.
"Cinta kita belum usai, Gendhis. Aku akan mencarimu, ke ujung dunia sekali pun," gumam Raka.
Akankah mereka bersatu kembali?
NB : Baca dengan lompat bab dan memberikan rating di bawah 5 saya block ya. Jangan baca karya saya kalau cuma mau rating kecil. Tulis novel sendiri!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09
POV Gendhis
.
.
Aku mencoba untuk melupakan Raka dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, takdir tampak mencemoohku. Pada malam hari, aku selalu teringat ketika Raka menyebut nama Silvia. Itu begitu menghancurkan hatiku.
Kepercayaan diriku seolah runtuh ketika mengingatnya. Tidak ada lagi yang dapat aku terima. Semua menjadi trauma yang mendalam bagi diriku.
Aku memilih untuk menyetujui saran dari Ayu untuk kembali bekerja. Cafe Ayu menjadi pilihanku karena tidak ada yang dapat menerimaku yang tidak membawa ijazah dan perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk melamar kerja. Aku pun sudah menyewa sebuah kontrakan untuk ditinggali olehku.
"Untuk apa sih kamu menyewa kontrakan? Kamu bisa menyimpan uangmu dan tinggal bersamaku," ujar Ayu tidak menyukai keputusanku.
Aku menggeleng,"Tidak, Yu. Terima kasih. Kamu telah banyak membantuku. Tidak masalah dengan tinggal sendiri. Lagi pula, aku ingin kamu tinggal dengan nyaman bersama Ayesha."
Ayu hanya tersenyum, Ayesha memang menjadi alasan Ayu untuk tersenyum. Tadinya, aku pikir Ayu akan mempertahankan pernikahan mereka dengan alasan anak. Akan tetapi, keputusannya yang langsung menceraikan Pandu merupakan hal yang sangat patut aku acungi jempol.
"Padahal, bila tinggal denganmu aku sama sekali tidak masalah. Malah, aku mendapatkan seorang teman yang dapat mendengarkan keluh kesahku," balas Ayu.
"Kita bisa berbicara di cafe. Jadi, tidak masalah, kan?" tanyaku.
Aku memilih untuk melanjutkan pekerjaanku. Berkutat dengan pembukuan dan rincian pembelian barang. Ruangan di ketuk dengan pelan. Menampilkan wajah seorang pria yang tampak tidak asing ketika pintu terbuka.
"Permisi, Bu. Pengacara Ibu sudah datang," ucap salah seorang karyawan pada Ayu.
"Halo, Yu. Ada yang ingin kamu bicarakan? Bukankah masalahmu dengan Bayu sudah beres?" balas pria itu.
"Bukan masalahku yang harus kamu tangani. Kamu masih ingat Gendhis, kan?" ujar Ayu.
Aku tertegun seketika. Fajar Ramadhan. Dia adalah teman SMA kami, sekaligus cinta monyetku dulu. Fajar tersenyum hangat, dengan gaya yang sama seperti dulu, meski kini dia tampak jauh lebih dewasa. Kemejanya rapi, rambutnya sedikit berantakan, dan aura percaya dirinya terlihat jelas.
“Halo, Gendhis. Lama nggak ketemu,” sapanya dengan nada akrab.
“Halo, Fajar.” Aku berusaha menyembunyikan kegugupanku, tapi suaraku terdengar sedikit bergetar.
“Kamu apa kabar?” tanya Fajar memecah keheningan di antara kami. Ayu tampak tersenyum mendengar interaksi kami yang canggung.
“Baik,” jawabku singkat. “Kamu sendiri?”
“Aku baik juga. Tapi, jujur, aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini.”
Aku mengangguk pelan. Rasanya sulit menjelaskan kenapa aku ada di sini tanpa membuka luka yang masih terlalu baru. Untungnya, Fajar tampak peka. Dia tidak mendesakku untuk bercerita.
“Aku dengar dari Ayu kalau kamu lagi butuh bantuan. Kalau ada yang bisa aku bantu, kasih tahu aja, ya,” ujarnya lembut.
Aku hanya mengangguk lagi, tak mampu berkata apa-apa. Ayu melihat hal itu dan mulai mengambil alih.
"Ya, singkatnya Ayu ingin mengajukan perceraian untuk suaminya."
Beberapa jam kemudian setelah berbincang. Ayu mengajakku makan siang bersama Fajar di sebuah restoran kecil dekat kafe. “Ayo, Gendhis. Kamu harus santai sedikit. Jangan mikirin kerjaan terus.”
Awalnya aku ingin menolak, tapi Ayu terus memaksa. Akhirnya aku ikut juga. Ketika kami tiba, Fajar sudah menunggu di sana. Dia tersenyum ketika melihat kami datang, membuatku merasa sedikit canggung.
Kami mulai berbicara ringan. Fajar dan Ayu saling bertukar cerita tentang masa lalu, membuatku tersenyum kecil meski hatiku masih terasa berat.
“Masih ingat waktu kita dihukum gara-gara telat upacara?” tanya Fajar sambil tertawa.
Aku tersenyum. “Iya. Kamu yang ngajak bolos, kan?”
“Bukan aku, itu kamu yang ngajak duluan!” bantahnya.
Aku tertawa kecil, merasa sedikit lebih nyaman. Tapi di tengah obrolan, aku merasakan sesuatu yang aneh. Ketika makanan kami datang, aroma makanan itu membuat perutku terasa mual.
Aku mencoba mengabaikannya, tapi rasa mual itu semakin parah. Ayu menyadari perubahan ekspresiku.
“Kamu nggak apa-apa, Gendhis?” tanyanya khawatir.
Aku memegang perutku dan menggeleng. “Aku... aku harus ke kamar mandi.”
Tanpa menunggu jawaban, aku segera berdiri dan berlari ke kamar mandi. Rasa mual mengaduk-aduk perutku.
Di dalam kamar mandi, aku berusaha menenangkan diri. Aku membasuh wajahku dengan air dingin, tapi rasa mual itu tidak hilang. Tubuhku gemetar, dan pikiranku mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.
“Kenapa aku tiba-tiba begini?” gumamku pelan.
Aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku merasa seperti ini, tapi pikiranku terlalu kacau untuk menemukan jawaban.
Setelah beberapa menit, aku kembali ke meja dengan wajah pucat. Ayu dan Fajar langsung menatapku dengan khawatir.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ayu.
Aku mengangguk pelan. “Iya, aku cuma sedikit pusing.”
“Kamu yakin? Kalau kamu mau istirahat, kita bisa pulang sekarang,” kata Fajar.
Aku memaksakan senyum. “Tidak apa-apa. Kita lanjutkan saja.”
Tapi di dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Ada suatu hal yang aku takutkan.
Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan apa yang terjadi siang tadi. Rasa mual itu bukan hal biasa, dan aku tidak bisa mengabaikannya.
Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan bekerja. Aku membuka laptop dan mulai mengerjakan laporan keuangan untuk kafe, tapi pikiranku tetap melayang.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Pesan dari Ayu masuk.
Ayu: “Besok aku ajak kamu ke dokter, ya. Aku nggak tenang lihat kamu tadi siang.”
Aku menghela napas panjang. Ayu memang selalu perhatian, tapi aku tidak ingin merepotkannya.
Aku: “Nggak usah, Yu. Aku cuma kecapekan.”
Tapi Ayu tidak menyerah.
Ayu: “Pokoknya aku jemput kamu besok pagi. Jangan nolak.”
Aku tidak punya pilihan selain menyetujuinya. Hatiku terus bergejolak, takut kalau hal yang ditakutkan terjadi.
***
Keesokan paginya, Ayu datang tepat waktu seperti yang dia janjikan. Dia membawaku ke klinik kecil di dekat kafe. Aku merasa sedikit gugup, tapi Ayu terus memberiku semangat.
“Tenang aja, Gendhis. Kalau kamu sehat, aku akan traktir kamu makan enak nanti,” katanya sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk, mencoba menenangkan diri.
Di klinik, dokter memeriksaku dengan teliti. Setelah beberapa pertanyaan dan pemeriksaan, dia memberikan hasilnya.
“Bu Gendhis, saya sarankan Anda melakukan tes lebih lanjut. Ada kemungkinan Anda sedang hamil.”
Kata-kata itu membuatku terpaku. Hamil? Itu hal yang paling aku takutkan. Hamil dalam kondisi aku ingin berpisah dari Raka. Mampukah aku membesarkan anak ini seorang diri? Ketakutan semakin menyelimuti hatiku.
Ayu yang berada di sampingku menggenggam tanganku. "Kamu tidak apa-apa?" ucapnya melihat kekhawatiranku.
Aku menggeleng karena memang suasana hatiku memburuk ketika mendengar kemungkinan aku hamil. "Aku tidak tahu, Ayu. Aku harus apa?" gumamku.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...❣️
Ambisinya bikin otaknya jd gk waras.. mending jd ja* lang aja sekalian..