Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
...***...
Pernikahan Bastian dan Farah akhirnya terjadi, setelah mendapatkan restu dari Safira. Kini keduanya telah sah menjadi pasangan suami istri. Ijab kabul dilaksanakan di mansion Bastian secara sederhana, tanpa adanya pesta.
Sebelum menikah Bastian mengajukan persyaratan hitam di atas putih. Dalam surat perjanjian tersebut dia mengaskan bahwa Nyonya Hanum tidak boleh mengganggu ataupun menyakiti Safira baik secara fisik maupun verbal. Dan Tuan Gustav menjadi pihak ketiga yang bertindak sebagai saksi atas perjanjian tersebut.
Dalam surat perjanjian itu Bastian juga meminta kepada Nyonya Hanum, agar tidak mencampuri urusan rumah tangganya bersama kedua istrinya nanti. Dan Nyonya Hanum pun terpaksa menyetujuinya meski tidak secara terang-terangan menunjukkan sikap keberatannya. Mungkin dia akan bermain halus nantinya. Begitulah yang ada dalam pikirannya.
Setelah selesai mengucapkan ijab kabul, Bastian langsung bersimpuh di pangkuan Safira dan menangis sejadi-jadinya. Pria itu begitu emosional meluapkan perasaannya, yang entahlah author pun tak tahu harus bagaimana menggambarkan suasana hati Bastian saat ini.
"Maaf...!" Bastian mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara bergetar, menahan rasa sesak yang membuncah di dalam dadanya.
Ia merangkum wajah Safira dan menciumnya bertubi-tubi, lalu membawa Safira ke dalam dekapan dan memeluknya dengan erat sambil memejamkan mata. Airmatanya terus mengalir seolah enggan untuk berhenti.
"Maafkan Farah, Kak." Farah ikut bergabung memeluk Safira.
"Terima kasih atas kebesaran hati, Kak Fira. Dan Farah janji akan menjaga batasan."
"Tidak, Nona! Harusnya saya yang meminta maaf. Karena kehadiran saya, semuanya menjadi kacau."
"Tidak, Kak. Tindakan Kakak sudah benar, menyelamatkan kehormatan keluarga ini."
Farah melepas pelukan dan tersenyum dengan tulus. Safira yang melihat ketulusan terpancar dari sorot mata Farah, iapun langsung membalasnya dengan hal yang sama.
Safira telah lama mengenal Farah, dan dia tahu bahwa Farah adalah gadis yang baik dan berbudi luhur. Dia akan berusaha ikhlas dan berdamai dengan takdirnya demi anak yang dikandungnya.
Yah, Safira memang berada di belakang antara Bastian dan Farah. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sang suami menikah dengan wanita lain. Dan selama acara berlangsung Bastian tak sekalipun melepaskan genggaman tangannya pada jemari Safira.
Bastian seakan tersadar, langsung membuka mata dan melepaskan pelukannya pada Safira. Kemudian ia menggenggam tangan kedua istrinya dan menatap mereka satu persatu.
"Kalian berdua adalah istriku. Aku mohon dengan sangat, agar kalian bisa hidup rukun dan saling menyayangi." Bastian lantas membawa keduanya ke dalam pelukan dan mencium pucuk kepala kedua istrinya dengan penuh kasih sayang.
Suasana haru biru begitu kental mewarnai ruang utama mansion Bastian pagi menjelang siang hari itu. Semua yang berada di dalam ruangan itu, tak kuasa menahan airmata, menyaksikan adegan yang begitu melodramatik. Mereka semua menutup mulutnya sembari menahan isakannya. Sesekali mereka menyeka airmata menggunakan ujung bajunya.
Mungkin hanya satu orang yang tidak tergugah hatinya dengan semua itu yakni Nyonya Hanum. Beliau menyaksikan interaksi ketiganya dengan tatapan apatis.
Dalam hati ingin sekali menyampaikan protesnya atas sikap Bastian yang begitu mengistimewakan Safira. Bukankah seharusnya hari ini merupakan hari yang istimewa bagi Farah?
"Kur*ang aj*ar sekali perempuan kampung yang miskin itu. Bagaimana mungkin Bastian begitu tunduk padanya. Lihat saja, kamu akan merasakan apa itu yang namanya diabaikan dan tak dianggap. Hhhh...tunggu saja permainanku...!" Nyonya Hanum tersenyum licik dengan sebuah rencana yang disusunnya.
***
Malam hari seusai makan malam Safira segera masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Wanita hamil itu bahkan mematikan lampu kamarnya. Dia melakukannya agar Bastian bisa menghabiskan malam bersama Farah. Dia tidak ingin egois, meski batinnya tak rela.
Safira duduk di balkon kamarnya menatap langit malam yang penuh bintang. Dia berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang muncul dalam benaknya. Samar-samar dia mendengar ketukan di pintu kamarnya. Namun dia menulikan pendengarannya. Dia sudah bertekad untuk bisa membiasakan diri tanpa Bastian di sisinya.
Safira mengelus perutnya, sebuah tendangan kecil menyambutnya dan sudut bibirnya terangkat menerbitkan senyuman tipis. "Mulai sekarang, adik harus terbiasa tanpa Ayah. Karena Ayah tidak lagi seutuhnya milik kita. Adik mengerti kan, sayang?"
Sementara itu di balkon sebelah, Bastian menekan bibirnya kuat-kuat seraya menutup mulutnya menggunakan kepalan tangannya. Hatinya berdenyut nyeri mendengar ucapan istri pertamanya tersebut.
Beberapa saat lalu setelah tak berhasil membuka pintu kamarnya, dia memutuskan masuk ke kamar sebelah yakni kamar yang dihuni Farah dan langsung menuju balkon.
Ia bahkan tak mengindahkan sapaan Farah, karena hati dan pikirannya sangat kacau. Bastian berjongkok di lantai dengan satu tangan berpegangan pada pagar balkon. Airmatanya terus meluncur deras, menandakan dirinya tidak baik-baik saja.
Farah berdiri di ambang pintu, menatap Bastian nanar dengan perasaan berkecamuk. Ingin hati dia mendekat tetapi seakan ada yang menahannya untuk tetap diam di tempatnya.
"Ya Tuhan... apa aku begitu jahat telah hadir di tengah mereka?" batin Farah, ditepuk dadanya dengan perasaan bersalah.
Bastian bangkit dan terkejut melihat Farah berdiri di belakangnya. Keduanya tampak salah tingkah. Suasana canggung menyelimuti udara di dalam ruangan pada malam itu.
Bastian menggosok tengkuknya yang tidak gatal, lalu berkata, "Tidurlah...! Aku akan ke bawah mengambil air minum." Bastian berkata tanpa menatap Farah dan langsung keluar begitu saja dari kamar, meninggalkan Farah yang menatapnya dengan raut wajah sendu.
Bastian menenggak sebotol air mineral dingin hingga tandas, untuk mendinginkan otaknya yang seakan mengepulkan asap. Diremasnya dengan kuat botol tersebut hingga tak berbentuk. Dia lantas membenturkan dahinya di atas meja dengan rasa frustasi.
"Aku bisa gila, kalau begini terus. Hahhh..." Bastian mendesah pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Sedang apa kamu di sini, Bastian?" tanya Nyonya Hanum tiba-tiba dan mengejutkan Bastian.
"Mami?" Bastian mengernyit bingung melihat maminya masih berada di mansionnya.
"Ini malam pertamamu dengan Farah, kenapa kamu malah duduk di sini? Apa perempuan kampung yang miskin itu--"
"Mami...! Kenapa mami selalu menyebut Safira perempuan kampung yang miskin? Dia punya nama, Safira dan dia adalah istriku!"
"Ingat perjanjian kita dan jangan melampaui batasan! Dan satu lagi, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku, karena apa yang Mami inginkan sudah aku turuti!" Bastian langsung berdiri dari duduknya, lalu melempar botol bekas minumnya ke tempat sampah dengan kasar.
Ia kemudian meninggalkan Nyonya Hanum begitu saja tanpa peduli pada maminya yang berdiri mematung menatap dirinya dengan wajah menegang dan tangan terkepal.
***
Bersambung
𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝 thur
terus Abian itu suami adzana kan?