“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Demi Nama
KANTOR SHAILENDRA
Langit di luar mulai menggelap. Hujan turun rintik di balik jendela tinggi lantai 30. Bayu menerobos masuk, tanpa izin, tanpa basa-basi.
Shailendra berdiri di balik mejanya, tangan bertaut di belakang punggung, memandangi layar besar yang menampilkan breaking news—nama Laras terpampang di seluruh media sosial dan portal berita gosip.
“Pa.” Suara Bayu rendah, namun bergetar menahan marah. “Ini ulah Papa, 'kan?”
Shailendra tak menjawab. Matanya tetap terpaku ke layar.
“Papa fitnah dia. Papa jatuhkan dia. Hanya karena dia bukan dari keluarga ningrat seperti yang Papa mau.”
Shailendra menoleh perlahan. “Aku menyelamatkanmu dari kesalahan seumur hidup.”
“Kesalahan?” Bayu mendekat, matanya merah. “Perempuan yang bahkan menolak bantuanku setelah tahu aku pewaris keluarga Shailendra? Yang menyuruhku pergi, bilang aku pantas dapat wanita lebih baik, dan tetap tinggal dalam pernikahan neraka dengan pria yang bahkan menghamili adiknya sendiri?”
“Dia menolakmu bukan karena cinta, Bayu.” Shailendra mengangkat alis, dingin. “Tapi karena dia tahu satu-satunya cara mencuri simpati publik adalah dengan menjadi korban.”
“Berhenti, Pa!” Bayu menghantam meja dengan telapak tangan. “Laras bukan seperti yang Papa pikir! Dia bukan licik. Dia bukan perhitungan. Dia bahkan rela dihina media, dihancurkan reputasinya—demi adiknya. Demi keluarganya. Dan yang paling gila... demi tidak menyulitkan aku.”
Shailendra mendengus, suaranya sarat ejekan. “Kau mau menikahi janda? Kakak dari wanita yang tidur dengan suaminya sendiri? Keluarga yang dibesarkan tanpa kendali, tanpa kehormatan?”
Bayu menarik napas dalam, seperti mencoba mengempas amarah yang siap meledak.
“Cinta bukan tentang kehormatan versi Papa. Bukan tentang marga atau berita media. Laras adalah satu-satunya wanita yang mencintaiku sebelum tahu siapa aku. Dan Papa... Papa tak berhak mengambil itu dariku.”
Shailendra menatap putranya sejenak. “Kalau kau tetap keras kepala, jangan harap mendapat restuku.”
“Kalau restu berarti membunuh hati orang lain,” Bayu menatap ayahnya tajam, “aku lebih baik kehilangan restu itu... daripada kehilangan dia.”
Sunyi sesaat.
Kemudian Bayu berbalik, langkahnya berat namun mantap keluar dari ruangan itu. Sementara Shailendra tetap di tempatnya, wajahnya kaku, namun sorot matanya menggelap.
Ia tahu satu hal: cinta yang tulus... lebih sulit dipatahkan daripada ambisi dan garis darah.
Dan untuk pertama kalinya, Shailendra menyadari—ia mungkin akan semakin dibenci putranya demi mempertahankan nama.
***
KANTOR LARAS – TIGA HARI KEMUDIAN
Bisik-bisik terdengar jelas di antara derap langkah sepatu dan derit kursi kantor. Tatapan sinis, senyum mengejek, bahkan komentar terang-terangan tak bisa dihindari Laras.
“Pantas aja dia diam waktu suaminya selingkuh sama adiknya. Ternyata dia masih cinta sama mantannya.”
“Wajar sih... dulu 'kan dia tahunya mantannya cuma penyanyi kafe. Sekarang tahu lebih kaya dari suaminya, ya pasti dia pengen balik lagi.”
Laras mendengar semuanya. Tapi ia tetap berjalan tegak, tanpa menoleh sedikit pun. Duduk di mejanya, membuka laptop, dan mulai bekerja seperti biasa. Jemarinya mengetik, seolah tak terjadi apa-apa.
Desi datang menghampiri. Wajahnya cemas, menatap sahabatnya dengan rasa prihatin yang sulit disembunyikan.
“Kamu denger, 'kan? Mereka semua masih ngomongin kamu,” ucapnya pelan.
“Aku dengar,” jawab Laras singkat, tenang, nyaris dingin.
Desi menghela napas. “Sampai kapan kamu mau diem aja kayak gini?”
Laras menoleh. Tatapannya tajam tapi lelah.
“Sampai mereka capek sendiri.”
“Ras, kamu nggak harus pura-pura kuat.”
“Aku nggak pura-pura, Des.” Ia menatap layar laptop. “Aku memang baik-baik saja.”
Desi menggenggam tangannya, mencoba menyampaikan kekuatan lewat sentuhan.
“Ini nggak sehat. Kalau kamu butuh bantuan...”
Laras menarik napas. Suaranya lirih. “Aku cuma butuh semua ini cepat selesai.”
Interkom di meja Laras menyala. Suara khas dari speaker menginterupsi percakapan mereka.
"Laras, ke ruangan saya sekarang." Suara Bu Ratna, CEO perusahaan, terdengar tegas dan lugas.
“Baik, Bu,” jawab Laras.
Ia berdiri. Desi menatapnya cemas.
“Bu Ratna?”
Laras mengangguk. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.
Laras melangkah menuju ruang CEO. Punggungnya masih tegak, langkahnya masih pasti. Desi hanya bisa memandangi sosok sahabatnya yang perlahan menghilang di balik pintu.
“Kapan kamu bahagia, Laras...” gumamnya lirih.
Ruang CEO itu terasa dingin meski pendingin ruangan tak terlalu kencang.
Laras duduk di kursi menghadap pimpinan, tangan di pangkuan, wajahnya tenang tapi matanya menunjukkan bahwa pikirannya tak berhenti bekerja. Di hadapannya duduk Ibu Ratna, CEO yang dikenal tajam dan to the point, dengan beberapa dokumen tersusun rapi di hadapannya.
"Sudah lihat berita beberapa hari ini?" tanya Ibu Ratna tanpa basa-basi.
Laras mengangguk pelan. "Sudah, Bu."
Ibu Ratna menghela napas. "Laras, aku menghargai kerja kerasmu selama ini. Klien besar seperti Alvara dan J&J bahkan minta kamu jadi PIC langsung. Tapi sekarang... mereka mulai mempertanyakan integritas perusahaan hanya karena cerita pribadi yang tersebar di media."
Laras mengepalkan tangannya perlahan di bawah meja.
Ibu Ratna melanjutkan, "Aku tidak peduli soal siapa mantanmu, siapa suamimu. Tapi klien tidak bisa dibohongi. Mereka lihat kita seperti kaca—kalau ada retak sedikit, mereka mulai ragu. Apalagi kalau nama yang disebut-sebut itu suami CEO perusahaan klien kita."
Hening sesaat. Lalu, dengan suara lebih lembut, Ibu Ratna menatap langsung ke mata Laras.
"Kau harus beri klarifikasi. Bukan karena aku memihak media, tapi karena reputasi perusahaan ikut terbawa. Dan kalau kau diam saja... kami harus mempertimbangkan untuk mengganti posisimu."
Laras menelan ludah. Ia bisa saja mengangkat kepala dan membela diri. Atau pergi—membawa harga diri yang tersisa.
Tapi ia ingat… ia tak punya tempat untuk pulang.
Keluarganya tak pernah benar-benar mendukung, hanya tahu meminta dan memanfaatkan.
Suami yang menikahinya demi balas dendam.
Ia berdiri sendirian, tanpa siapa pun yang bisa dijadikan sandaran.
Dan masa depan... masih terlalu samar untuk dipijak dengan pasti.
"Apa saya boleh bicara lewat media internal perusahaan? Lewat press release resmi perusahaan agar tidak merugikan pihak manapun?" tanya Laras, masih tenang tapi tegas.
Ibu Ratna mengangguk. "Itu akan sangat membantu."
Laras bangkit dari kursinya perlahan, mengangguk hormat. Sebelum keluar ruangan, ia sempat berhenti sejenak di depan pintu, lalu berkata tanpa menoleh, "Saya mungkin bukan orang paling bersih, Bu. Tapi saya tidak pernah menjual harga diri saya."
Dan ia melangkah pergi. Satu langkah menuju medan baru: meluruskan kenyataan, atau jatuh sepenuhnya dalam permainan gosip yang tak pernah ia mulai.
***
Lobby Hotel Mewah.
Lampu kamera menyala bertubi-tubi. Mikrofon dari berbagai media tersodorkan ke depan wajah Sherin yang tampak pucat, namun tetap memikat dengan riasan natural dan gaun putih sederhana. Satu tangan meraba perutnya yang masih datar, tanda kehamilan muda yang jadi pusat perhatian nasional.
"Terima kasih atas waktunya," ucap Sherin dengan suara gemetar. "Saya tidak berniat mengambil suami kakak saya. Saya tidak pernah berniat menjadi perusak rumah tangga siapa pun..."
Wartawan mulai berseru-seru. Pertanyaan meluncur deras.
"Jadi Anda menyangkal hubungan cinta dengan Edward Sanjaya?"
Sherin menunduk, pura-pura menahan tangis. "Saya... saya hanya perempuan biasa yang dimanfaatkan. Saya dijadikan alat untuk menyakiti kakak saya."
Desahan penonton terdengar. Kamera menyorot wajah pilu Sherin.
"Edward... dia bilang ingin membuat Laras menyesal. Katanya... saya hanya bagian dari rencana. Tapi ketika semua ini terjadi... dia meninggalkan saya. Dan sekarang, kakak saya juga meninggalkan saya."
Salah satu reporter menyela, "Tapi kabarnya Anda memang menyukai Edward sejak dulu?"
Sherin menggeleng. Air matanya mulai mengalir. "Saya memang mengaguminya, dan sempat menjalin hubungan dengannya. Tapi kami sudah putus sebelum ia menikah dengan kakak saya. Saya tahu saya salah... Tapi setelah semua ini terjadi, kakak saya tidak memaafkan saya. Dia hanya pergi. Dia bahkan menolak menjawab pesan dan telepon saya."
Kilatan kamera makin ramai.
"Apa maksud Anda bahwa Laras pergi?"
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka