Sweet Alexsandra, seorang gadis yang memiliki sifat dingin. Ia dipaksa untuk menikahi seorang lelaki kejam demi keuntungan bisnis orang tuanya. Perusahaan lelaki itu begitu sulit ditaklukkan. Sehingga gadis itu digunakan sebagai alat. Sweet harus rela melepaskan segala mimpinya. Menjadi seorang istri dari lelaki yang sama sekali tidak menganggap dirinya ada. Lelaki yang selalu menganggapnya sebagai pecinta harta.
Hidup tanpa cinta sudah menjadi hal lumrah baginya. Mungkinkah ia akan mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon desih nurani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
"Selamat pagi, Tuan." Sapa pemilik suara lembut dan juga tersenyum manis pada Alex.
Ya, dia adalah wanita yang tidak sengaja bertabrakan dengan Alex tadi.
Awalnya Alex memang terpesona dengan kecantikan wanita itu. Namun, perasaan itu hilang seketika. Saat mengetahui jika gadis itu anak dari Jeremy. Sweet. Gadis yang disodorkan untuk ia nikahi.
Cih, cepat sekali dia berganti pakaian. Bukankah tadi dia terlihat jauh lebih sopan? Dan sekarang pakaiannya saja lebih mirip seperti wanita penghibur. Batin Alex
Alex terus memperhatikan penampilan Sweet dengan seksama. Mulai dari rambut hingga ujung kaki. Pakaian gadis itu cukup terbuka, membuat Alex sedikit jangah melihatnya.
*Apa ini yang dinamakan gadis baik-baik*? Bahkan dia terlalu kecil untukku. Alex kembali membatin.
"Aku tidak tertarik dengan anak kecil, tidak masuk dalam seleraku." Kata Alex dengan santai.
Sweet terhenyak mendengarnya. Kedua tanganya mengepal erat. Hatinya dipenuhi dengan rasa kesal setelah mendengar cibiran lelaki itu.
"Ya, Anda benar, Tuan. Saya memang masih kecil. Saya juga tidak pernah berpikir untuk menikah dengan orang tua seperti Anda, Tuan Digan yang terhormat." Balas Sweet penuh penekanan. Sikap manisnya pun berubah dingin.
Sejak tadi ia memang menahan diri untuk tetap bersikap manis. Namun, perkataan lelaki itu benar-benar memengaruhinya. Dan membuka topeng yang ia pasang dengan susah payah.
Brengsek! Bagaimana mungkin aku mau menikah dengannya? Dasar lelaki kejam, bahkan kakiku bergetar saat melihat tatapannya. Umpat Sweet dalam hati. Entah mengapa ia sangat kesal mendengar hinaan Alex. Padahal bukan hanya Alex yang menganggapnya seperti anak kecil. Sudah banyak lelaki lain yang bertanggapan sama seperti Alex. Tetapi perkataan Alex berhasil menggores hatinya.
Jeremy memberikan tatapan tajam pada Sweet. Namun, gadis itu masih tetap dengan ekspresinya. Menatap Alex tak suka. Namun berbeda dengan Alex, ia tetap memasang wajah datar dan bersikap santai.
"Sweet, minta maaf pada tuan Digan," Jeremy bangun dari duduknya, "Tuan, maaf atas ketidak sopanan putri saya."
"Sebaiknya putri anda menyelesaikan sekolah lebih dahulu, baru bisa memilih calon suami." Alex masih mengeluarkan cibiran dan bangun dari duduknya. Entah kenapa ia sangat senang saat melihat wajah kesal gadis itu. Alex pun menghampiri Sweet yang masih bergeming karena menahan rasa jengkel pada Alex.
"Kau hebat, sikapmu terus berubah dalam waktu yang singkat. Wanita sepertimu, kapan saja bisa menerkam, Nona cantik." Bisik Alex tepat di telinga Sweet. Wajah Sweet langsung bersemu merah, menahan emosi yang hampir meledak.
"Brengsek!" Umpatnya seraya mendorong tubuh Alex dengan kasar. Namun, Alex memiliki tubuh kekar. Jadi apa yang Sweet lakukan sama sekali tidak berguna.
"Tuan Santonio, mungkin lain waktu kita bahas masalah ini lagi. Saya lelah, terima kasih atas waktunya." Setelah mengatakan itu, Alex langsung beranjak pergi. Mengabaikan Sweet yang emosinya sudah diubun-ubun.
Setelah kepergian Alex. Jeremy langsung menarik tangan putrinya. Membawa paksa gadis itu keluar dari bandara dan mendorong Sweet masuk ke dalam mobil dengan kasar.
Di dalam mobil, Sweet hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tahu saat ini ayahnya sedang marah.
"Kau membuatku kecewa, Sweet."
"Sorry, Dad." Sweet memalingkan wajahnya ke luar jendela. Rasa kesalnya yang tadi belum juga mereda.
"Besok, minta maaf secara langsung padanya. Tidak ada penolakan," tegas Jeremy.
Mendengar itu, Sweet pun menoleh. Menatap Jeremy dengan tatapan kecewa.
"Dad, apa perlu melakukan itu? Bahkan dia tidak menginginkanku," protes Sweet.
"Aku tidak membutuhkan pendapatmu, pergi minta maaf."
"Dad...." Jeremy mengangkat sebelah tangannya. Memperingati Sweet agar tidak membantah lagi. Gadis itu terlihat menghela napas berat. Dan suasana pun menjadi sunyi. Hanya deru mobil memecah keheningan. Mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing.
***
Sesampainya di Mansion. Alex melangkah pasti menuju kamar tidur. Ia benar-benar lelah. Perjalanan yang panjang dan pertemuan dadakan berhasil menguras tenaganya. Ia pun langsung menjatuhkan diri di atas ranjang. Memejamkan mata yang terasa berat karena rasa lelah yang mendera.
Baru beberapa menit. Suara ketukan pintu membuat Alex kembali terjaga.
"Siapa?" teriaknya dengan kesal.
"Mala, Ayah. Apa Ayah mau makan atau minum kopi?" sahut seorang wanita bernama Mala dari balik pintu. Ia merupakan anak angkat Alex.
Nirmala Putri Digantara. Wanita yang amat Alex sayangi. Meski ia bukan darah dagingnya.
Alex membuka pintu. Melihat putrinya dengan tatapan lembut. Rasa kesal tadi pun hilang entah kemana.
"Kopi?" tanya Mala seraya tersenyum manis. Alex mengangguk sebagai jawaban.
"Baiklah. Sebentar lagi pesanan akan datang, Tuan." Gurau Mala. Alex tersenyum mendengarnya seraya mengusap kepala wanita itu dengan lembut.
"Nanti letakkan saja di atas meja, Ayah mandi dulu," perintah Alex. Mala mengangguk. Lalu ia pun langsung bergegas pergi.
Di tempat lain. Sweet memasuki mansion mewah milik orang tuanya. Ia berjalan pasti menuju kamar dengan langkah gontai. Hingga sebuah suara berhasil menahan langkahnya.
"Sweety." Suara yang amat ia kenal. Sweet pun menoleh, menatap orang yang tadi memanggil namanya.
Seorang wanita paruh baya berjalan menghampirinya. Beliau merupakan ibu anggkat Sweet. Charlote Santonio.
"Mom, ada apa?" tanya Sweet malas. Rasa kesal tadi belum juga hilang.
"Kamu membuat Daddy marah lagi?" tanya Charlote menatap Sweet penuh tanya.
"Sorry, Mom. Aku tidak ada maksud untuk membuat Daddy marah. Aku lelah, Mom." Sahut Sweet memelas. Ia malas jika harus berdebat dengan sang Mommy.
Charlote tampak menghela napas berat. Tangan mulus miliknya mulai meraih lengan Sweet.
"Istirahatlah, Mommy harus pergi lagi." Charlote mencium kening Sweet dengan lembut. Mendapat perlakuan seperti itu perasaan Sweet jauh lebih tenang. Bahkan ia ingin terus berdekatan dengan Mommynya itu.
"Mom, apa tidak bisa tinggal untuk beberapa saat? Aku perlu Mommy," pinta Sweet memeluk ibu angkatnya dengan penuh kerinduan.
"I'm sorry, Sweety. Mommy tidak bisa, masih banyak pekerjaan yang harus Mommy selesaikan." Charlote melerai pelukannya. Mengusap kepala Sweet dengan lembut. Tentu saja Sweet kecewa mendengar jawaban itu.
"Ya, aku sudah tahu jawabannya." Sweet melepaskan tangannya dari genggaman Charlote. Lalu ia pun bergegas pergi meninggalkan Charlote. Wanita paruh baya itu tidak merasa heran lagi dengan sikap putrinya. Memang seperti itu sifat Sweet sejak dulu. Saat kecewa, Sweet akan langsung meninggalkan lawan bicaranya.
Sesampainya di kamar. Sweet menjatuhkan dirinya di ranjang. Ia memeluk bantal kesayangannya dengan tatapan yang menerawang jauh. Ingin sekali rasanya ia menangis, tetapi itu percuma. Tangisan tidak akan membantunya untuk menyelesaikan masalah kali ini.
Sweet terus berpikir keras. Tentang bagaimana besok ia akan menghadapi sang Daddy. Terutama menghadapi Alex atas permintaan Ayahnya. Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki kejam itu. Beberapa kali Sweet mengembuskan napas kasar.
"Sudahlah, aku lelah memikirkan semuanya. Lebih baik aku merendam diri," ujarnya seraya berjalan menuju kamar mandi. Ingin melepaskan segala penat dalam dirinya.
***
Pagi hari, Sweet sudah terlihat rapi. Rambut panjangnya ia tata dengan gaya messy up-bun. Ia memakai blazer berwarna peach yang dipadukan dengan rok selutut berwarna putih. Tidak lupa handbag favoritnya. Setelah puas dengan penampilannya, ia pun bergegas untuk turun. Melakukan sarapan pagi yang biasa ia lakukan secara rutin.
Seperti biasa, suasana meja makan selalu kosong. Hanya kesunyian yang menemani Sweet. Dengan rasa malas, Sweet mulai menyantap makanan. Lapar atau tidak, Sweet harus tetap menelan makan ke dalam perut. Karena ia memiliki penyakit asam lambung akut.
"Ini bekalmu, Sweet." Suster Lyla memberikan bekal makan siang pada Sweet. Itu juga sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil.
"Terima kasih, Lyla. Apa kau sudah sarapan?"
"Belum, sebentar lagi aku makan." Suster Lyla duduk disebelah Sweet. Menatap gadis itu lamat-lamat. Sweet yang merasa diperhatikan pun langsung menoleh. Membalas tatapan wanita paruh baya yang sudah ia anggap sebagai Ibu sendiri.
"Apa ada masalah?" tanya suster Lyla memberikan tatapan penuh selidik.
"Tidak, aku hanya lelah. Mungkin aku butuh liburan," sahut Sweet sekenanya. Ia enggan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku merawatmu sejak kecil dan tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Sweet. Katakan jika ada yang mengganjal dihatimu, aku siap mendengarkan." Suster Lyla semakin memperdalam tatapannya. Sweet menoleh, membalas tatapan wanita itu. Lalu ia pun langsung menghambur dalam pelukan Lyla.
"Lyla, aku merindukan Ibuku. Aku ingin sekali pulang ke Indonesia, aku rindu kampung halamanku." Sweet memeluk erat tubuh ramping wanita yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia tidak menangis, hanya meluapkan segala kegundahan hatinya.
"Aku tahu itu. Suatu hari nanti, kamu pasti akan pulang ke sana. Hanya saja belum saatnya," ujar Lyla mengelus punggung Sweet penuh kasih sayang.
"Kau benar, Lyla." Sweet melerai pelukannya.
"Sudah, jangan terus bersedih. Lanjutkan hidupmu dan jalani dengan ikhlas. Semua akan berakhir indah, percayalah."
Sweet mengangguk sambil tersenyum.
"Sana berangkat, ini sudah hampir siang. Bisa-bisa kau dimarahi Tuan," ujar Lyla merapikan anak rambut Sweet. Sweet kembali mengangguk.
Selama ini Sweet bekerja di perusahaan Jeremy. Ia menjabat sebagai Manajer keuangan. Tentunya semua itu sesuai dengan keinginan Jeremy. Sebenarnya, Sweet sendiri memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Namun, takdir Tuhan tidak memberinya izin untuk mencapai itu. Ia harus menerima apa pun takdir dalam hidupnya saat ini.
Sejak kecil, Sweet sudah terbiasa menjadi boneka yang dikendalikan penuh oleh Ayahnya. Dan menelan semua rasa pahit manis dalam hidupnya.
"Ok, bawel. Aku pergi dulu," ucap Sweet mencium pipi Lyla. Lalu gadis itu langsung beranjak pergi.
Lyla terus memantau hingga gadis itu menghilang dari pandangannya.
"Semoga Kau cepat menemukan kebahagiaan," ucap suster Lyla seraya menghela napas panjang. Lalu ia pun segera merapikan sisa makanan di atas meja.