Di dunia yang penuh intrik dan kekuasaan, Liora, seorang wanita penerjemah dan juru informasi negara yang terkenal karena ketegasan dan sikap dinginnya, harus bekerja sama dengan Darren, seorang komandan utama perang negara yang dikenal dengan kepemimpinan yang brutal dan ketakutan yang ditimbulkannya di seluruh negeri. Keduanya adalah sosok yang tampaknya tak terkalahkan dalam bidang mereka, tetapi takdir membawa mereka ke dalam situasi yang menguji batas emosi dan tekad mereka. Saat suatu misi penting yang melibatkan mereka berdua berjalan tidak sesuai rencana, keduanya terjebak dalam sebuah tragedi yang mengguncang segala hal yang mereka percayai. Sebuah insiden yang mengubah segalanya, membawa mereka pada kenyataan pahit yang sulit diterima. Seiring waktu, mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Namun, apakah mereka mampu melepaskan kebencian dan luka lama, ataukah tragedi ini akan menjadi titik balik yang memisahkan mereka selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kary Akan Pergi
Kary memudarkan senyumnya, seolah senyuman itu terlalu berat untuk dipertahankan mengingat semua keputusan yang kini harus ia hadapi. Kebingungannya semakin dalam, membuatnya merasa seakan tak ada jalan yang benar untuk dipilih. Dengan tangan yang mulai gemetar, ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan pening yang semakin menghantui pikirannya. Scarf yang selama ini selalu ia pakai kini sudah dilepas, seakan ingin melepaskan beban yang semakin menekan dadanya.
"Haruskah aku mundur? Atau terus bertahan?" tanya Kary dengan suara lirih, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri. Suara itu tenggelam dalam keheningan ruangan, tidak ada yang bisa menjawabnya selain dirinya sendiri. Ia merasa terjebak di persimpangan jalan yang sangat sulit, dan apapun pilihan yang diambil, dampaknya akan mengubah segalanya.
Kary meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, meski sinyalnya sudah lama hilang. Dengan sedikit rasa frustrasi, ia menghidupkan ponsel itu, berharap ada sesuatu yang bisa membantunya keluar dari kebingungannya. Namun, ketika layar ponselnya menyala, pandangannya tertuju pada wallpaper yang menampilkan foto masa kecilnya. Foto itu menangkap momen kebersamaan antara dirinya, kakaknya, dan kembarannya—tiga saudara yang dahulu selalu akrab, saling berbagi tawa dan kebahagiaan tanpa ada yang bisa memisahkan.
Ingatan itu datang begitu saja, seperti gelombang yang menghantam dinding pertahanan emosionalnya. Mereka dulu sangat dekat, saling menyayangi satu sama lain. Namun, sekarang? Kini mereka berada di sisi yang berlawanan, berperang dalam dunia yang sama sekali berbeda. Kary menghela napas panjang, menahan perasaan yang mulai mengganggu jiwanya. Hufff...
Setelah beberapa menit tenggelam dalam pikirannya, sepertinya Kary sudah mulai memutuskan apa yang harus dilakukan. Keputusan itu datang dengan berat, namun ia tahu waktu tidak berpihak padanya. Dia tidak bisa berlama-lama dengan keraguan ini. Musuh mereka semakin dekat, dan jika dia terus ragu, semuanya bisa hancur.
Ia harus segera memberi tahu Iron tentang keputusannya. Tidak ada waktu lagi untuk menunda. Kary tahu, target mereka yang selama ini dicari-cari pasti sedang berada di luar sana, siap untuk menggempur mereka kapan saja. Segalanya harus segera diputuskan, atau semuanya akan terlambat.
Kary meletakkan ponselnya dengan cepat, seolah semua keputusan yang ia buat harus segera dilaksanakan tanpa penundaan. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berdiri dan berjalan cepat menuju ruangan Iron. Pikirannya begitu fokus pada apa yang harus dikatakan dan dilakukan, tak ada lagi ruang untuk keraguan.
Dengan satu dorongan keras, Kary membuka pintu ruangan Iron. Suara pintu yang terbuka dengan kasar memecah keheningan, dan Iron, yang tengah tenggelam dalam membaca tumpukan dokumen penting, terkejut mendengar suara pintu itu. Dia menatap dengan tajam, bingung melihat siapa yang datang begitu mendesak.
"Ah, ternyata kau," Iron berujar dengan nada terkejut, matanya sedikit membulat saat melihat Kary. Sepertinya kedatangan Kary yang mendadak ini mengganggu konsentrasi Iron yang sedang fokus pada dokumen-dokumen penting. Pandangannya sekarang beralih pada sosok Kary yang berdiri di depannya dengan aura yang berbeda. Kary yang biasa mengenakan scarf untuk menutupi sebagian wajahnya kini berdiri tanpa penutup itu, menampilkan wajah sepenuhnya—wajah yang selama ini tersembunyi dari pandangan banyak orang.
Iron menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah sedang mencoba memahami perubahan yang terjadi. "Kau membuka scarfmu?" tanya Iron, agak terkejut, dan jelas sekali dia tidak menyangka. Baru kali ini dia melihat wajah sepenuhnya dari sosok yang dikenal sebagai salah satu pembunuh paling berbahaya dan terkenal di dunia gelap. Wajah yang selama ini tersembunyi di balik scarf yang selalu dikenakan, kini tampak tanpa penutup apa pun. Iron bahkan merasa seperti melihat sosok yang baru.
Kary tidak mengatakan apa-apa, hanya mengarahkan pandangannya tajam pada Iron, menunggu reaksinya dan menilai apakah dia siap menerima berita yang ingin disampaikan.
Kary hanya terdiam mendengar ucapan Iron yang sedikit bercanda itu. Iron, yang selalu terlihat santai dan penuh keyakinan, menatap Kary dengan ekspresi yang tidak bisa sepenuhnya dipahami. “Ternyata wajahmu terlihat mungil juga ya,” ujarnya, setengah bercanda, seperti ingin meredakan ketegangan yang ada di antara mereka.
Namun, Kary tidak bergeming, tidak ada respons sama sekali dari dirinya. Ketegasan di wajah Kary mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin terjebak dalam pembicaraan ringan. "Aku ingin mengundurkan diri," ujar Kary tanpa ragu, suaranya tegas dan jelas. Kali ini, dia tidak ingin membuang-buang waktu untuk basa-basi atau tanggapan konyol dari Iron.
Iron terdiam mendengar kata-kata itu. Wajahnya yang sebelumnya menunjukkan senyum tipis itu tiba-tiba memudar, namun senyum itu masih belum sepenuhnya hilang. Ia hanya menatap Kary dalam diam, seolah mencoba mencari tahu apakah yang didengarnya itu benar atau hanya lelucon belaka.
"Kau bilang apa?" tanya Iron, suaranya lebih pelan dan serius dari sebelumnya, seolah meminta konfirmasi lebih lanjut. Kary tetap diam, tidak menjawab. Dia tahu Iron sudah mendengar dengan jelas apa yang dia katakan, namun dia juga tahu bahwa Iron mungkin masih terkejut dengan keputusan itu.
"Mengundurkan diri?" tanya Iron lagi, kali ini sedikit lebih tajam, mencoba memastikan apakah Kary benar-benar serius. Kary hanya mengangguk kecil, tanpa ragu sedikit pun.
“Chahahhaah,” tawa Iron, suara tertawanya menggema di dalam ruangan, namun tidak ada kehangatan di balik tawa itu. Hanya ada keheranan dan sedikit ketidakpercayaan. "Kau sedang bercanda, nona?" tanya Iron dengan nada yang sedikit mengandung ejekan, tidak percaya dengan keputusan Kary yang tiba-tiba itu.
Kary menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Tidak, aku serius,” jawabnya singkat, tanpa emosi yang berlebihan. Kali ini, dia tidak akan mundur dari keputusan yang sudah dibuat. Iron terdiam sejenak, menilai Kary dengan tatapan tajam, seakan mencoba mengukur niatnya. Semua kata-kata dan reaksinya mulai terbaca dalam kesunyian yang terjalin di antara mereka, tetapi Kary tetap berdiri dengan sikap yang tidak goyah.
"Tidak ada yang bercanda. Aku akan segera keluar," ujar Kary dengan tegas, membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti saat suara tegas Iron terdengar memecah keheningan, menghentikan niatnya untuk pergi lebih jauh.
"Jangan main-main, nona. Kau tidak akan bisa keluar begitu saja," ujar Iron dengan nada serius, suaranya kini lebih berat, menggambarkan ketegasan yang sebelumnya tidak ia tunjukkan. Tawanya yang sebelumnya masih terdengar kini tiba-tiba lenyap, tergantikan oleh nada yang penuh peringatan. "Apa kau tidak tahu bahwa kita sedang menjadi incaran mereka? Kau mau mati tertangkap?" tanya Iron, suaranya lebih keras, berusaha menyadarkan Kary dari keputusannya yang mendalam itu.
Kary tetap tidak menoleh, langkahnya terhenti sesaat, tubuhnya masih membelakangi Iron. Namun, sebelum benar-benar pergi, suaranya terdengar jelas, penuh tekad. "Kau merendahkanku?" tanya Kary, suaranya tajam, meskipun tubuhnya tidak bergerak sedikit pun.
Iron terdiam, tidak bisa menjawab. Kary melanjutkan dengan nada yang lebih dingin, "Aku akan pergi dengan caraku. Berusahalah menjaga dirimu sendiri, aku tidak akan membantu lagi." Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Kary berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Iron yang terdiam di tempat.
Iron hanya bisa membulatkan matanya, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Sosok yang selama ini selalu melindunginya, yang bahkan rela mempertaruhkan nyawanya untuk membantunya, kini malah memilih untuk pergi begitu saja, mengundurkan diri tanpa ada rasa ragu. Kary, yang dikenal karena ketegasannya, kini membuat keputusan yang tak terduga. Iron berdiri, tidak mampu bergerak, membiarkan Kary meninggalkan ruangan itu dengan cara yang begitu tegas. Apa yang baru saja terjadi?