"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Titik Terang
Di dalam ruang kerjanya yang luas dan megah, Rian menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Deretan angka dan laporan investasi yang terpampang di hadapannya membuatnya semakin yakin ada sesuatu yang janggal.
Salah satu perusahaan yang ia pantau baru saja mendapatkan suntikan dana besar dari investor anonim. Jumlahnya bukan main—cukup untuk menunjukkan bahwa orang di baliknya memiliki kekayaan yang sangat besar dan pemahaman bisnis yang mendalam.
Rian menggerakkan kursinya mendekati layar, membaca ulang detail transaksi tersebut. Pola investasinya terlalu familiar. Struktur pembagian sahamnya, cara dana dialihkan, hingga metode yang digunakan untuk menyembunyikan identitas investor semuanya mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang yang sangat ia kenal.
Tangannya mengepal di atas meja. Hania.
Tidak mungkin ia salah. Pola investasi ini khas putrinya. Sejak muda, Hania telah memiliki jaringan finansial yang luas dan strategi investasi yang sulit dilacak oleh orang awam. Ia memang meninggalkan rumah dan menghilang, tetapi kebiasaannya tidak berubah.
Rian menarik napas dalam. Jika dugaannya benar, berarti Hania masih mengawasi bisnisnya dari bayang-bayang.
Dan lebih dari itu…
Tangan Rian dengan cepat membuka laporan keuangan dari beberapa perusahaan medis dan farmasi. Semakin ia membaca, semakin jelas bahwa ada jejak Hania di sana—seolah-olah putrinya tengah menyusup ke dunia medis dengan cara yang sistematis.
“Jadi kau memang tak pergi jauh, Hania…” gumamnya lirih.
Tatapannya mengeras. Jika Hania memang menyamar dan terlibat dalam sesuatu, pertanyaannya adalah : untuk apa? Apa yang sedang ia rencanakan?
Dan yang lebih penting…
Di mana dia sekarang?
Rian menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap layar laptop dengan sorot mata tajam. Semakin ia menelusuri aliran dana dan kepemilikan saham di perusahaan-perusahaan tertentu, semakin yakin ia bahwa Hania ada di baliknya.
Tapi ia butuh kepastian.
Ia menghubungi seseorang dan memintanya untuk datang. Setengah jam kemudian seorang pria paruh baya dengan setelan rapi masuk ke dalam ruangannya.
"Tuan Rian," pria itu membungkuk hormat.
Rian menautkan jari-jarinya di atas meja. "Adi, aku butuh kau menyelidiki lebih dalam salah satu perusahaan yang baru saja mendapat suntikan dana besar."
Adi mengangguk tanpa bertanya. Ia sudah cukup lama bekerja untuk Rian dan tahu bahwa jika bosnya sampai meminta penyelidikan, berarti ada sesuatu yang serius.
"Perusahaan mana, Tuan?" tanyanya.
Rian menggeser laptopnya, menunjukkan data yang terpampang di layar. "Perusahaan ini. Aku curiga ada seseorang yang sengaja mengalihkan saham ke sini untuk menyembunyikan jejaknya. Aku ingin tahu siapa orang di balik transaksi ini, dari mana dana ini berasal, dan jika memungkinkan—ke mana aliran uangnya setelah ini."
Adi menatap angka-angka yang muncul di layar. Ia bukan orang baru dalam urusan menelusuri transaksi keuangan tersembunyi, dan dari sekilas melihat pola investasinya, ia bisa mengerti kenapa Rian mencurigai sesuatu.
"Saya akan segera mengurusnya, Tuan," jawabnya tegas.
"Dan satu hal lagi, Adi," suara Rian terdengar lebih rendah, lebih serius. "Jika kau menemukan nama Hania di balik semua ini… laporkan padaku dulu. Jangan bertindak gegabah."
Sekilas, ekspresi Adi berubah, tetapi ia segera menguasai dirinya. "Dimengerti, Tuan."
Saat Adi keluar dari ruangan, Rian mengusap dagunya, pikirannya berputar dengan cepat.
Jika benar ini ulah Hania, berarti putrinya tidak hanya bersembunyi—tapi sedang bergerak.
Pertanyaannya sekarang adalah… untuk apa?
***
Hari demi hari terus berlalu, Hania dengan sabar menemani Ziyo terapi. Ziyo duduk di kursi terapi dengan ekspresi datar, namun genggaman tangannya di lengan kursi sedikit mengencang. Ia tak bisa melihat apa pun, hanya bisa merasakan sentuhan terapis di kakinya yang lumpuh dan suara lembut wanita yang selalu ada di sisinya—Hania.
“Baik, Tuan Ziyo. Sekarang kita coba gerakkan jari kaki Anda perlahan,” instruksi terapis terdengar jelas di ruangan.
Ziyo mengerutkan kening, berusaha memusatkan seluruh fokusnya untuk melakukan hal yang seharusnya sederhana, tapi kini terasa seperti menghadapi gunung yang tak tergapai. Otot-ototnya masih kaku, seolah menolak perintahnya sendiri.
Hania berdiri di sampingnya, mengawasi setiap pergerakan dengan saksama. Ia tahu betapa sulitnya ini bagi Ziyo—tidak hanya secara fisik, tapi juga mental.
“Anda tidak perlu terburu-buru, lakukan sesuai kemampuan Anda,” ucap Hania dengan nada tenang.
Ziyo mendengus pelan. “Kamu tidak perlu menghiburku, Hania. Aku tahu kondisiku.”
Hania tetap tenang. “Saya tidak bermaksud menghibur, hanya mengingatkan bahwa pemulihan membutuhkan waktu. Tidak ada yang bisa berubah dalam sekejap.”
Ziyo terdiam sejenak sebelum menghela napas panjang. Ia mencoba lagi, dan kali ini, ada sedikit gerakan pada jari kakinya. Walaupun sangat kecil, Hania bisa melihatnya dengan jelas.
“Tuan Ziyo, Anda berhasil menggerakkan jari kaki Anda,” ujar Hania. Ada nada kagum dalam suaranya, tapi tetap terkendali.
Ziyo mengernyit. “Benarkah?”
“Ya,” sahut Hania. “Saya melihatnya sendiri.”
Ziyo tak bisa melihat ekspresi Hania, tetapi entah mengapa, suaranya membuat dadanya terasa lebih ringan. Ada ketulusan di sana—bukan sekadar basa-basi atau simpati kosong, melainkan keyakinan.
Sang terapis mengamati interaksi keduanya dengan senyum tipis. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka—sesuatu yang terasa hangat meski tak terucap. Seharusnya hubungan mereka sebatas pasien dan perawat, atau bahkan majikan dan bawahan. Namun, melihat bagaimana Hania dengan tulus membantu Ziyo dan bagaimana Ziyo tampak begitu nyaman di dekatnya, sang terapis merasa ada ikatan yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka.
Saat sesi terapi selesai, Ziyo merasa tubuhnya lebih lelah dari yang ia perkirakan. Hania mendekat, tangannya terulur untuk membantunya berdiri, namun Ziyo ragu sejenak sebelum menerimanya.
“Aku bisa sendiri,” ucapnya pelan.
Hania tidak menarik tangannya. “Saya tahu. Tapi tidak ada salahnya menerima bantuan, bukan?”
Ziyo tidak segera menjawab. Namun kali ini, ia membiarkan Hania membimbingnya berpindah ke kursi rodanya.
Di sepanjang perjalanan kembali ke kamar, Ziyo mendengarkan langkah kaki Hania yang teratur di belakangnya. Hening sesaat sebelum ia berkata, “Terima kasih sudah menemaniku.”
Hania menatap padanya. “Saya hanya menjalankan tugas saya.”
Namun, Ziyo tidak yakin itu sepenuhnya benar. Ada sesuatu dalam cara Hania merawatnya—sesuatu yang lebih dari sekadar tugas. Sesuatu yang perlahan membuat keberadaan wanita itu terasa lebih dari sekadar seorang perawat di sisinya.
***
Di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Rian duduk di balik meja kayu mahoni dengan ekspresi dingin. Di hadapannya, seorang pria paruh baya berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggung—orang kepercayaannya yang baru saja kembali dengan laporan yang telah ia tunggu.
“Jadi, benar?” suara Rian terdengar tenang, namun ada ketegangan terselubung di baliknya.
Pria itu mengangguk. “Ya, Tuan. Nona Hania menarik sebagian besar sahamnya dari perusahaan-perusahaan lama dan mengalihkan investasinya ke satu tempat—perusahaan milik Ziyo.”
Rian menyandarkan punggungnya, jemarinya saling bertaut di atas meja. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan, namun pikirannya berputar.
“Hampir seluruh asetnya dijual untuk berinvestasi di sana?” tanyanya lagi, memastikan.
“Benar, Tuan.”
Keheningan memenuhi ruangan. Rian menghela napas dalam, mencoba memahami motif di balik tindakan putrinya. Kenapa Hania begitu fokus pada perusahaan Ziyo? Apa yang membuatnya mengambil risiko sebesar ini?
“Berapa jumlah investasinya?”
Pria itu menyerahkan dokumen di tangannya. Rian membukanya dan alisnya sedikit berkerut saat melihat angka yang tertera di sana.
“Jumlahnya tidak sedikit…” gumamnya.
Ia mengenal putrinya dengan baik. Hania bukan tipe orang yang mengambil keputusan gegabah, apalagi soal keuangan. Jika ia sampai melakukan sesuatu sebesar ini, pasti ada alasan kuat di baliknya.
Rian menutup map dokumen itu dan mengambil ponselnya. Tanpa ragu, ia menekan nomor seseorang yang sudah lama bekerja di balik bayangannya.
“Aku butuh informasi lengkap tentang perusahaan Ziyo. Semua yang bisa kau gali—struktur manajemennya, pergerakan keuangannya, dan orang-orang di sekitarnya.”
Suara di seberang terdengar mengonfirmasi perintahnya.
Rian menambahkan dengan nada lebih rendah namun penuh makna, “Dan cari tahu segala hal tentang Ziyo. Aku ingin tahu siapa dia, bagaimana dia bisa menarik perhatian putriku, dan apa hubungan mereka sebenarnya.”
Setelah menutup telepon, Rian kembali menatap dokumen di tangannya. Ada sesuatu yang terjadi di balik ini semua, dan ia tidak akan diam saja sampai mengetahui jawabannya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Tinggal bersama kakak ziyo dan hania...
Diva dilaporkan ke polisi...
Demi ambisimu ingin menguasai perusahaan Clara tega selingkuh dengan Clara...