Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Hujan turun deras tanpa ampun, menghantam bumi dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Langit malam seperti ikut menangis untuk Shanum. Wanita malang yang kini berjalan tertatih di bawah hujan tanpa payung, tanpa arah, tanpa rumah untuk kembali.
Air hujan membasahi tubuh dan wajahnya, menempel di baju yang sudah lusuh dan berat karena air. Di tangannya, ia menggenggam perut besarnya dengan canggung, seolah sedang berusaha menahan bayi di dalam agar tidak terjatuh.
Langkah Shanum terseok. Jalanan licin, genangan air menutupi batu dan lubang kecil. Namun, Shanum tidak punya pilihan lain.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini menutup pintu untuknya. Satu-satunya keluarga yang ia punya telah mengusirnya dengan kata-kata yang menusuk lebih tajam dari belati.
“Ya Allah, ke mana aku harus pergi?” gumam Shanum lirih, suaranya tenggelam dalam suara hujan.
Shanum sempat berpikir menuju kantor polisi atau rumah Pak Darto, pemilik toko tempat ia biasa berbelanja bahan warung.
Tiga kilometer bukan jarak yang jauh bagi orang sehat, tapi bagi wanita hamil besar yang tubuhnya lemah dan menggigil kedinginan, setiap langkah terasa seperti seribu jarak.
Shanum merasa tulang betisnya mulai kaku, dadanya sesak, dan napasnya terengah-engah. Rasa ketakutan membuatnya terus melangkah. Jika ia berhenti di pos ronda atau warung tutup untuk berteduh, pikirannya dihantui bayangan buruk. Bagaimana jika ada orang jahat? Bagaimana jika ia dirampok atau diganggu?
Jadi, satu-satunya pilihan adalah terus berjalan, melawan hujan, melawan dingin, melawan takdir yang semakin kejam.
“Awwww ... Astaghfirullah, sakit sekali!” rintih Shanum pelan sambil menahan perut yang terasa mengeras.
Tiba-tiba, di antara suara hujan, terdengar seperti letupan kecil dari dalam tubuhnya. Sesaat kemudian, hangat aneh mengalir di antara kedua pahanya, membuatnya panik. Shanun berdiri terpaku, jantungnya berdegup cepat, sebelum akhirnya menyadari apa yang terjadi.
“Astaghfirullah ... Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?!” jerit Shanum dalam tangis ketakutan.
Itu bukan air hujan. Itu adalah air ketuban.
Shanum menatap jalan yang gelap, hanya diterangi cahaya lampu jalan yang redup. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Tidak ada suara selain hujan dan degup jantungnya sendiri.
Ketika rasa nyeri semakin kuat, ia memutuskan duduk di pinggir got, bersandar pada tembok yang dingin.
“Nak, tolong jangan keluar dulu, ya. Tunggu sebentar lagi sampai kita sampai ke rumah sakit,” ucap Shanum pelan, mengusap perutnya yang terus menegang.
Setiap kali kontraksi datang, wajahnya memucat. Tubuhnya gemetar hebat.
Di tengah gelap dan dingin, air mata bercampur dengan air hujan di pipinya. Shanum menatap langit yang hitam, mencari harapan di antara jutaan tetes hujan yang jatuh.
“Ya Allah, Engkaulah sebaik-baiknya tempat meminta tolong. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tolong lindungi anakku. Izinkan dia lahir dengan selamat, sempurna, dan sehat.” Suara Shanum bergetar, lirih, nyaris tak terdengar.
Bayangan masa lalu tiba-tiba menari di benaknya. Suara tawa Alvin, tangan hangatnya yang dulu selalu mengelus perutnya setiap malam sambil berbisik, “Kita bakal jadi keluarga kecil yang bahagia, Sayang.”
Air mata Shanum pecah seketika. Rasa kehilangan itu mencengkeram dadanya hingga sulit bernapas.
“Mas Alvin, aku takut. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu.” Shanum berbicara pada kehampaan, pada bayangan yang kini hanya hidup di dalam hatinya.
Namun, dunia malam itu terasa begitu kejam. Tidak ada jawaban. Tidak ada tangan yang terulur.
Hanya hujan yang semakin deras, mengguyur tubuhnya yang menggigil dan semakin lemah.
Sampai akhirnya dari kejauhan terlihat sorot lampu mobil yang menembus gelap malam. Hati Shanum berdegup kencang. Ia berdiri dengan sisa tenaga, melambaikan tangan setinggi mungkin.
“Tolong! Tolong aku!” Suara Shanum serak, hampir tak terdengar di antara derasnya hujan.
Mobil sport berwarna merah itu akhirnya melambat dan berhenti tepat di sampingnya. Dari dalam, kaca jendela terbuka, menampakkan seorang pria paruh baya dengan wajah teduh namun cemas.
“Ibu, ada apa?” Suara pria itu tegas, namun lembut.
Shanum menggigil hebat, menangkup kedua tangan di depan wajahnya. “Pak, tolong bawa aku ke rumah sakit. Aku ... aku mau melahirkan, air ketubanku sudah pecah.”
Pria itu segera keluar dari mobil, memayungi Shanum dengan jasnya. “Saya Dokter Anton, dokter kandungan di Rumah Sakit Kasih Ibu. Ayo, kita berangkat sekarang juga!”
Tubuh Shanum nyaris roboh saat dokter itu membantunya masuk ke mobil.
Rasa sakit di perut datang lagi, lebih kuat dari sebelumnya, membuatnya menggigit bibir hingga berdarah.
“Tahan, Bu, sebentar lagi sampai.”
“Tolong, Pak, selamatkan anak saya ...,” gumam Shanum lirih, sebelum akhirnya pingsan di kursi penumpang, tubuhnya basah kuyup dan lemah.
Mobil melaju cepat menembus derasnya hujan. Dokter Anton sesekali menoleh, memastikan wanita itu masih bernapas.
Ketika tiba di rumah sakit, ia berlari masuk ke ruang gawat darurat, menyiapkan tim medis tanpa banyak bicara.
“Segera operasi caesar! Ketuban sudah pecah terlalu lama!” seru Dokter Anton kepada perawat.
Di ruang operasi, tubuh Shanum terbaring lemah. Napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi. Di balik kelemahannya, ia masih berbisik lirih doa terakhir dari seorang ibu yang hanya ingin anaknya lahir dengan selamat.
“Mas Alvin, lihatlah dari sana. Tolong jagakan anak kita ... aku mohon.”
Dalam hening ruang operasi yang dipenuhi suara mesin dan langkah kaki perawat, air matanya kembali jatuh. Antara hidup dan mati, Shanum bertarung bukan hanya untuk dirinya, tetapi demi cinta terakhir yang ditinggalkan oleh Alvin.
Udara di ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar dengung lembut mesin oksigen dan detak jarum jam di dinding. Perlahan, kelopak mata Shanum bergetar sebelum terbuka. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa berat, seolah separuh jiwanya masih tertinggal di alam lain. Aroma obat-obatan menyengat hidungnya, membuatnya sadar bahwa dia berada di rumah sakit.
Dinding putih pucat itu menatapnya dingin. Di luar jendela, sinar mentari menembus tirai tipis, memantul pada peralatan medis yang berkilau. Cahaya itu seperti ejekan, terlalu terang untuk hati yang baru saja kehilangan segalanya.
“Rupanya Bu Shanum sudah sadar.” Suara lembut itu berasal dari Dokter Anton yang baru saja masuk bersama seorang perawat.
Shanum menoleh, tersenyum samar meski bibirnya kering.
“O, iya. Dok, bayi aku di mana?” tanya Shanum dengan sisa tenaga yang ia miliki. Di balik senyumnya tersimpan harapan bahwa ada sesuatu yang masih bisa ia genggam di dunia ini.
Namun, senyum itu lenyap seketika ketika ia melihat wajah Dokter Anton berubah suram. Perawat di belakangnya menunduk, tak sanggup menatap mata Shanum.
“Maafkan kami, Bu Shanum.” Suara Dokter Anton bergetar pelan. “Bayi Ibu … tidak selamat. Ia meninggal karena keracunan air ketuban.”
“Apa…?” Suara Shanum tercekat.
Dunia seolah berhenti berputar. Shanum merasa sekujur tubuhnya kaku, matanya membesar menatap kosong. Sesuatu di dalam dadanya seperti hancur berkeping-keping, menyesakkan sampai napas pun terasa tak berarti lagi.
Lalu semuanya gelap. Tubuhnya jatuh di atas ranjang, pingsan seolah Tuhan mengasihani hatinya yang terlalu hancur untuk tetap sadar.
Jam delapan pagi, Shanum kembali membuka mata. Kali ini tak ada senyum. Tak ada harapan. Hanya air mata yang mengalir tanpa bisa dibendung. Luka bekas operasi di perutnya tak terasa. Karena luka di hatinya jauh lebih dalam, jauh lebih menyakitkan.
Satu jam kemudian, Dokter Anton menemaninya ke kamar jenazah. Udara di sana dingin menusuk, aroma formalin menyeruak tajam. Di atas meja baja, terbungkus kain putih kecil, terbaring tubuh mungil yang dulu ia impikan menjadi penerus cinta antara dirinya dan Alvin.
“Aaaaaa!” jerit Shanum pecah, memeluk jasad anaknya dengan tubuh gemetar.
“Kenapa kamu tinggalkan Mama, Nak? Kenapa?!” Suaranya serak, terhuyung di antara isak dan napas yang nyaris tak tersisa.
Shanum duduk di lantai dingin, memeluk jasad itu erat-erat. Air matanya jatuh membasahi kain kafan putih yang membungkus bayi mungil itu. Dingin tubuh bayinya menembus kulitnya, membekukan seluruh asa.
Hati seorang ibu mana yang sanggup menahan rasa kehilangan ini? Dalam satu malam, Tuhan mengambil dua cinta yang paling ia jaga, suaminya dan anaknya.
“Ya Allah ....” Suara Shanum nyaris tak terdengar. “Kenapa Engkau tidak ambil nyawaku juga? Aku ikhlas dan ridho, ambil saja aku bersama mereka.”
Tangis Shanum meledak, mengguncang seluruh ruangan. Dokter Anton berdiri mematung. Matanya ikut basah, tapi ia hanya bisa menatap tanpa daya. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan luka di dada seorang ibu yang kehilangan segalanya.
Beberapa jam setelah itu, Shanum duduk termenung di kursi besi ruang administrasi. Matanya bengkak, tangannya gemetar memegang lipatan kain kecil berisi pakaian bayi yang tak sempat dikenakan.
“Maaf, Bu,” ucap pegawai administrasi dingin. “Kalau Ibu tidak bisa membayar biaya rumah sakit, maka jenazah bayi tidak bisa dibawa pulang.”
Kata-kata itu menamparnya keras. Shanum menunduk, menatap lantai dengan pandangan kosong.
“Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Hanya ayah di kampung, tapi aku bahkan lupa nomor teleponnya.” Suara Shanum pecah, hampir tak terdengar.
Pikiran Shanum melayang ke hal-hal menakutkan. Ia takut ... takut jasad putranya dijadikan bahan penelitian, tubuh mungilnya diperlakukan bukan seperti manusia.
“Ya Allah, aku harus bagaimana?” gumam Shanum, tubuhnya limbung, jatuh berlutut di lantai dingin.
Dokter Anton ikut berjongkok di sebelahnya. Ia menepuk bahu Shanum dengan hati-hati.
“Mungkin ada orang yang bisa membantu Ibu menebus biaya rumah sakit, agar jenazah bayi Ibu bisa dimakamkan dengan layak.”
“Siapa, Dokter?” tanya Shanum dengan suara parau.
“Pak Sagara,” jawabnya pelan. “Beliau sedang mencari ibu susu untuk bayi kembarnya yang alergi susu formula.”
Sekilas, ada cahaya kecil di mata Shanum. Jiwa keibuannya yang remuk itu tersentuh.
“Bayi kembar …?” gumam Shanum lirih. “Mereka pasti lapar, pasti menangis mencari ibunya.”
“Bisakah Dokter pertemukan aku dengan beliau?” Suara Shanum penuh tekad, walau tubuhnya masih lemah. Ia rela melakukan apa pun agar bayinya bisa dimakamkan dengan tenang.
Beberapa menit kemudian, Shanum melangkah ke ruang bayi bersama Dokter Anton. Di sana, ia melihat seorang pria berwibawa bersama wanita paruh baya—Mami Kartika—dan dua perawat.
“Pak Sagara, Bu Kartika, kenalkan ini Bu Shanum,” ucap Dokter Anton.
Sagara dan ibunya menoleh. Tatapan mereka tertuju pada Shanum, menelusuri wajah pucat yang masih menyimpan sisa air mata. Ada duka yang begitu jelas tergambar di matanya, tapi juga kelembutan seorang ibu yang tak hilang meski kehilangan segalanya.
“Bu Shanum kehilangan bayinya saat melahirkan,” jelas Dokter Anton. “Beliau masih memiliki ASI yang banyak dan membutuhkan bantuan untuk menebus biaya rumah sakit dan pemakaman.”
Mami Kartika menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu tanpa ragu memeluk Shanum. Pelukan seorang ibu kepada sesama ibu yang sama-sama terluka. “Sabar, Nak,” bisiknya lembut.
Sagara menatap keduanya, lalu berkata, “Jika kamu bersedia menyusui dan merawat anak-anakku sampai mereka disapih, aku akan lunasi semua biaya rumah sakit dan pemakaman. Aku juga akan memberi uang bulanan dua puluh juta.”
Shanum terdiam, air matanya kembali mengalir bukan karena sedih, tapi karena Tuhan ternyata masih membuka jalan kecil di antara reruntuhan hidupnya.
“Baik, Pak … aku bersedia,” ucap Shanum lirih namun penuh keyakinan.
Tangisan dua bayi menggema dari boks di sudut ruangan. Shanum mendekat, menggendong salah satunya dengan hati-hati. Ajaib, tangisan bayi itu langsung berhenti.
Sagara dan Mami Kartika terpana. “Coba gendong satu lagi,” pinta Mami Kartika.
Shanum menggendong bayi kedua dengan tangan sebelahnya. Sama, bayi itu pun langsung diam, kepalanya menempel di dada Shanum.
“Susuilah mereka,” ujar Sagara singkat sebelum beranjak keluar untuk mengurus administrasi.
Shanum menatap dua bayi itu dengan mata basah. Perlahan ia membuka kancing bajunya, lalu menyusui mereka sambil melantunkan shalawat dengan suara lirih dan bergetar.
“Tenanglah, Nak … minumlah! Semoga kalian tumbuh sehat, menjadi anak-anak yang sehat dan hebat.”
Air mata Shanum jatuh satu-satu ke pipi kedua bayi itu, bercampur dengan rasa syukur dan kehilangan yang belum sepenuhnya sembuh.
“Bayinya kembar … pria dan wanita?” tanya Shanum lirih, menatap Mami Kartika.
“Ya, cucuku sepasang,” jawab Mami Kartika tersenyum, meski matanya juga basah.
Di balik senyum itu, Shanum tahu Tuhan mungkin telah mengambil dua cinta dari hidupnya, tetapi kini memberi dua jiwa kecil untuk ia peluk kembali.
Di antara tangis lembut dua bayi itu, hati Shanum mulai belajar untuk hidup lagi.
Seperti nya Shanum yng bakal ketiban pulung nih 😠😠😠
Trus siapa yg menukar bayi Sonia dengan bayi Shanum ?