Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sonia sudah tidak sabar ingin cepat pulang. Hari itu udara rumah sakit terasa begitu pengap, seolah waktu berjalan lambat hanya untuk menguji kesabarannya. Matanya berkali-kali menatap jam dinding yang jarumnya bergerak lambat, seolah menertawakan kerinduannya terhadap si kembar.
Di benaknya, Sonia sudah membayangkan bagaimana lucunya mereka. Mungkin kini sudah bisa berjalan dengan langkah gontai, tertawa renyah ketika digelitik, atau memanggil “Papa” dan “Mama” dengan suara yang belum sempurna. Hanya membayangkannya saja sudah membuat dada Sonia sesak oleh rindu.
“Mas,” panggil Sonia sambil memandang suaminya. “Besok ulang tahun anak-anak yang pertama. Aku ingin merayakannya.”
Sagara menatap istrinya. Senyum tipis muncul di bibirnya. Ada cahaya yang dulu sempat padam kini kembali di mata wanita itu.
“Boleh,” jawabnya lembut. “Kita rayakan sekeluarga di rumah saja, ya. Kasihan mereka masih kecil, rentan dengan virus dan bakteri kalau dirayakan di tempat umum.”
Sonia mengangguk. “Ya, Mas. Di rumah saja juga tidak apa-apa. Yang penting kita semua kumpul bersama.”
Suara “kita” diucapkan Sonia dengan nada penuh harap, seolah doa yang ia kirimkan agar keluarga kecilnya bisa kembali utuh.
“Dokter belum datang juga, ya?” tanya Shanum lagi sambil menatap pintu kamar.
“Katanya nanti jam satu, paling lambat jam dua,” jawab Sagara sambil memasukkan barang-barang ke dalam tas kecil.
“Yaaaah, masih lama,” keluh Sonia sambil memonyongkan bibir.
Sagara terkekeh kecil. Ada sesuatu yang hangat di dada setiap kali melihat tingkah manja istrinya itu. Sonia memang tak pernah bisa diam, bahkan di rumah sakit sekalipun, ia tetap wanita yang penuh semangat. Namun di balik keceriaannya, Sagara tahu betul, ada luka yang masih mengendap di dasar hatinya. Luka kehilangan satu tahun penuh dari hidupnya, dari momen-momen yang seharusnya ia lalui bersama anak-anak mereka.
“Mas,” panggil Sonia memecah lamunan. “Mbak Shanum itu orangnya seperti apa?” tanyanya, nada suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
Pertanyaan itu membuat Sagara terdiam sejenak. Lalu, menatap Sonia.
“Dia wanita baik dan lembut,” jawab Sagara akhirnya. “Namun, kehidupannya tidak berjalan mulus.”
Sonia menatap suaminya penuh perhatian. “Kenapa?”
Sagara menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan kisah yang sudah lama ia simpan dalam hatinya. Kisah yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian dari hidup mereka.
“Suaminya meninggal akibat tabrak lari. Lucunya, mertua dan iparnya malah menyalahkan Shanum atas kematian suaminya.”
Sonia menutup mulutnya spontan. “Ya Tuhan, kasihan sekali nasib Mbak Shanum.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Ya,” Sagara melanjutkan dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. “Dan tidak sampai di situ. Dia diusir sama mertuanya di malam hari saat hujan deras. Padahal waktu itu dia sedang hamil besar.”
Sonia terperanjat. “Apa?! Kejam sekali mertuanya. Dia itu manusia atau bukan?!” Suaranya bergetar menahan amarah dan iba.
Sagara menatap istrinya, lalu berkata lirih, “Dia memang kasihan. Tengah malam, di bawah guyuran hujan, ketubannya pecah. Di jalan sepi, tidak ada siapa pun untuk dimintai tolong. Untung saja Dokter Anton lewat dan melihatnya. Tapi sayang, bayinya tidak tertolong.”
Hening. Ruangan itu seakan membeku.
Sonia memejamkan mata. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi tanpa bisa ia tahan. Ia tak mengerti kenapa kisah itu menusuk begitu dalam ke hatinya, seolah rasa sakit Shanum menular kepadanya.
“Walau Dokter Anton sudah berusaha menolongnya, bayi dalam kandungan Shanum tetap tidak selamat,” lanjut Sagara lirih. “Dan dia juga tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit. Jenazah bayinya sempat ditahan di kamar mayat.”
Tangisan Sonia pecah. Bahunya bergetar hebat. Ia bukan wanita yang mudah menangis, tetapi kali ini seluruh pertahanannya runtuh. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menahan isak yang menyayat dada.
Sagara mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu meraih tangan istrinya perlahan. “Sayang, sudah jangan sedih,” ucapnya lembut, meski hatinya sendiri terasa ikut remuk.
Sonia menggeleng. “Aku tidak bisa membayangkannya, Mas. Bagaimana rasanya kehilangan bayi setelah kehilangan suami. Lalu, dia sendirian tanpa siapa pun. Oh Tuhan, dia pasti sangat hancur.”
Sagara tidak menjawab. Dalam benaknya, wajah Shanum yang pucat waktu pertama kali ia lihat di rumah sakit kembali terbayang. Matanya kosong, tubuh kurus, tangan gemetar. Namun di balik semua itu, ada kekuatan luar biasa yang membuat wanita itu tetap bertahan hidup.
“Lalu, bagaimana bisa kamu mengenal dia, Mas?” tanya Sonia lirih di sela tangisnya.
“Kebetulan waktu itu aku sedang di rumah sakit yang sama,” jelas Sagara. “Dokter Anton bercerita tentang seorang wanita yang tidak bisa menebus biaya rumah sakit.”
Sagara menarik napas dalam-dalam, seolah berusaha menata kalimat yang akan ia ucapkan.
“Kebetulan Shanum memiliki ASI yang melimpah. Maka terjadi kontrak antara aku dan dia. Aku membayar biaya rumah sakit, dan Shanum menyusui anak-anak kita.”
Sonia menatap suaminya. Pandangannya redup tapi lembut. “Beruntung ada dia yang menjadi ibu bagi anak-anak kita?”
Sagara mengangguk pelan. “Ya. Dia merawat mereka dengan sepenuh hati, Sonia. Mungkin tanpa dia, si kembar tidak akan tumbuh sekuat sekarang.”
Air mata Sonia kembali menetes, kali ini bukan karena iba semata, tapi karena rasa haru yang membuncah. Ada sesuatu dalam kisah itu yang terasa begitu takdir.
“Mungkin ini takdir Tuhan,” kata Sonia pelan sambil mengusap air mata dengan tisu. “Kita dipertemukan dengan Shanum karena alasan yang belum kita pahami.”
“Ya,” jawab Sagara lirih. “Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan hati yang terluka agar bisa saling menyembuhkan.”
Sonia menatap wajah suaminya lama sekali. Dalam diam itu, ia merasakan sesuatu yang rumit di dadanya. Antara terima kasih dan rasa takut, antara cinta dan bayangan kehilangan.
Sagara berdiri, merapikan selimut di kaki istrinya. “Kamu istirahat dulu, ya. Nanti kalau sudah ada dokter ngontrol, kita pulang.”
“Mas ....” panggil Sonia lirih. “Kalau nanti aku pulang, aku ingin berterima kasih langsung pada Mbak Shanum dan memberinya hadiah.”
Sagara tersenyum kecil, namun sorot matanya terlihat sendu. “Dia akan senang mendengarnya, Sayang.”
***