Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Cadangan
Pada akhirnya, mereka semua menunggu pihak damkar datang dan menyelamatkan Eva. Pada saat Eva turun lewat tangga yang dibawa pihak damkar, Adam sudah sampai di rumah. Pria itu geram, tapi ia menunggu Eva sampai di tanah dengan selamat, setelah itu ia baru bisa berurusan dengannya. "Eva!"
Gadis itu melihat Adam dan mendatanginya. "Pak, aku bisa turun sendiri kok, kenapa harus dipanggil damkar, 'kan malu, Pak," katanya tanpa rasa bersalah.
Tiba-tiba tangan Adam terulur dan mencubit pipi Eva.
"Ah ...! Pak ...." Eva mengusap pipinya yang memerah. Ia melirik pria itu yang gemas setengah matti ingin memarahinya tapi tak bisa.
"E-va ...." Adam berusaha menahan emosi dengan mengepalkan kedua tangan dan mengeratkan giginya rapat-rapat. Ia harus menyortir ucapannya agar tidak membuat stres gadis yang sedang hamil itu, tapi ini sudah keterlaluan! "Kita ke ruang kerjaku sekarang." Dengusnya sambil membalik tubuhnya.
"Tapi, Pak ...."
Adam menoleh. "Sekarang!"
Eva terpaksa mengikuti pria itu hingga ke dalam ruang kerja. Adam duduk di sofa sehingga Eva juga duduk di sana dengan wajah cemberut. Pria itu berusaha mengatur napas hingga emosinya mereda. "Apa kamu tidak tahu kalau kamu tidak sedang sendirian?" Ia mulai bisa bicara pelan.
Berpikir sejenak, Eva menjawab. "Kita berdua maksudnya?"
"Bukan. Kamu dan anakmu. Kamu sedang membawa anakmu di dalam perutmu, jadi pikirkan kenyamanannya, pikirkan keselamatannya. Bukankah kemarin-kemarin kamu sudah merasakan kram di perut? Hamil itu bukan hal yang sederhana. Banyak yang harus dijaga. Misalnya, loncat-loncat atau memanjat ke tempat yang tinggi seperti barusan. Bagaimana kalau kamu terjatuh dan terluka? Kalau kamu sendiri, mungkin tidak apa-apa, tapi kamu tidak sedang sendirian, jadi pikirkan bagaimana kalau dia tidak kuat dan keluar sebelum waktunya? Apa kamu tidak sadar itu? Kamu sedang mempermainkan nyawanya!"
Eva menunduk. Ia sadar ia telah salah. Hanya saja menjadi ibu hamil, itu hal baru baginya. Apalagi, sangat mengherankan mendengar ia kram perut hanya karena stres dan kesal. Namun, itulah yang terjadi. Kini banyak yang harus ia pikirkan saat ingin bergerak karena itu sangat berpengaruh bagi bayi dalam perutnya. "Maaf, Pak. Aku terbiasa melakukan semua sendiri jadi bingung saja, kenapa mesti seheboh ini masalahnya hanya karena aku ingin mengambil mangga di halaman belakang."
"Boleh saja kamu lakukan, tapi tidak saat kamu hamil. Apalagi statusmu sudah jadi istriku, kamu tinggal bilang saja pada penjaga gerbang atau pembantu untuk mengambilkan, gampang 'kan?"
"Iya." Eva mengangguk pelan. "Eh ...." Tiba-tiba Eva mengangkat kepalanya dengan kedua mata bersinar terang. "Aku boleh minta mereka ambilkan jambu air di belakang nggak, soalnya lagi panen?"
Adam menghela napas sambil mengusap dahinya. "Hh ... ya sudah. Buat apa sih buah-buah itu? Mangga juga belum matang."
"Mau bikin rujak. Aku lagi suka yang asem-asem, Pak." Ia tersenyum manja dengan mulut mengerucut ke depan. "Boleh, kan? Aku ingin chef Aldi bikinin rujaak ...." Ia memiringkan kepalanya ke samping.
"Ya sudah, pergilah."
"Terima kasih," ucap Eva riang, berdiri dan keluar dari ruangan.
Adam mengusap wajahnya. "Ya ampun ... kenapa aku bisa menikah dengan anak kecil, sih. Hh ... pusing." Ia menggelengkan kepala.
Tak lama terlihat Eva sedang asyik makan rujak yang dibuat chef Aldi di ruang tengah sambil menonton TV. Adam yang penasaran mendekat. Matanya memicing dengan gigi dirapatkan saat melihat Eva mengigit potongan mangga yang masih muda, serasa ikut merasakannya. Asam. "Itu 'kan asem. Apa gigimu tidak ngilu?" Adam mengangkat bahu.
"Ini seger. Cobain deh, Pak!" Eva menyodorkan piringnya pada Adam.
Adam yang memang ingin tahu rasanya duduk dan mencicipi. Ternyata rasanya memang sesuai bayangannya. "Eh, asem!"
"Tapi ini enak ...."
"Lidahmu saja, mungkin." Adam masih memicingkan mata.
"Tapi kuahnya enak. Chef Aldi memang keren nih." Eva mengambil lagi potongan mangga. "Kalo gak mau asem, Bapak bisa coba yang jambunya." Kembali ia menyodorkan piring.
Adam entah kenapa, menurut saja. Ia juga penasaran dengan yang dimakan gadis itu. Sepotong jambu air ia gigit setelah ia colek kuahnya.
"Hati-hati banyak airnya, Pak."
Namun, terlambat. Sedetik kemudian, Adam terbatuk-batuk karena makan jambu air. Eva mengambil gelas berisi air mineral di atas meja dan memberikannya pada Adam. Pria itu masih mencoba mengunyah yang tersisa sebelum akhirnya meminum air yang diberikan istrinya. "Mmh, kamu benar. Kuahnya ini enak. Apa bisa dimakan dengan apel?"
"Mmh? Belum pernah makan rujak itu dengan apel, jadi aku gak tau." Eva pun bingung.
"Coba potongkan buatku. Aku rasa, rasanya tetap bisa masuk."
Eva pun ke dapur. Tak lama ia kembali dengan sepiring potongan apel. Ia melihat potongan jambu air miliknya mulai berkurang. "Bapak, jangan dihabiskan jambunya ...."
Adam mengipas-ngipas mulutnya sambil mengunyah. "Ini lama-lama pedes ya. Kamu jangan makan banyak-banyak nanti sakit perut."
"Tapi itu cemilanku ... mulutku tidak enak kalo tidak makan yang asem-asem," rengut Eva.
Adam mengambil piring yang dibawa Eva sambil memperhatikan gadis itu. "Memang perubahan hormonnya begitu sehingga dia suka makan yang asem-asem. Begitu yang aku baca di internet." "Tapi jangan banyak makan yang pedas-pedas nanti bayinya kepanasan."
"Emang begitu ya, Pak?" Eva menatap Adam dengan mata melebar. Ia kembali mengambil sepotong mangga muda.
"Makanya, isi kepalamu dengan pengetahuan. Kulihat kamu cukup pintar. Kamu 'kan bisa belajar tentang ibu hamil dari internet. Aku pun masih mempelajarinya."
"Mmh ...." "Asyik juga bicara dengan Pak Adam ya?" Eva menatap pria di hadapan.
Adam mencoba apelnya. "Mmh, ternyata enak juga."
"Beneran, Pak?" Eva mengambil satu apelnya. Setelah mencolek kuah rujak, ia menggigitnya. "Mmh, enak!" Matanya membulat sempurna.
"Pada dasarnya kuah rujak ini bisa untuk semua buah, sepertinya."
"Mmh ...." Eva mengangguk-angguk.
Adam memperhatikan Eva. "Kenapa aku mengikuti semua apa yang dilakukannya? Apa aku boddoh? Tapi aku hanya ingin tahu saja, dan sepertinya ngobrol bersamanya juga menyenangkan." "Bagaimana kalau kamu kerja denganku?"
"Apa?" Mata Eva menatap suaminya dengan pandangan heran. "Bukankah aku sudah pernah kerja dengan Bapak?"
"Bukan itu, tapi bekerja di kantor pusat. Rumah ini memang dekat ke pabrik tapi kantornya lebih jauh. Dekat ke tengah kota."
"Kerja apa? Ijazahku hanya lulusan SMA, Pak. Administrasi lagi?"
"Kalau di kantor, itu lebih besar lagi. Namanya Accounting. Apa kamu bisa?"
Eva menggeleng. Administrasi karena lebih mudah. Accounting, dengar namanya saja sulit, apa lagi pekerjaannya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu jadi sekretarisku saja?"
"Sekretaris? Apa Bapak tidak punya sekretaris?"
"Eh, punya sebenarnya, tapi kamu bisa jadi asistennya. Kalo kerjaan lagi penuh, kamu bantu dia."
"Emang ada ya, asisten sekretaris?" Eva sedikit bingung karena setahunya jabatan itu tidak ada."
"Anggap saja kamu magang jadi sekretaris."
Eva menaikkan kedua alisnya makin bingung dan Adam menikmati rujak apelnya walau pedas.
***
"Ini ada pegawai baru ya. Namanya Eva. Dia magang jadi sekretaris." Adam memperkenalkan Eva pada stafnya. Ia melirik Eva.
Eva bisa melihat wajah pria itu tampak dingin. "Beginikah wajah Pak Adam kalo di kantor?" Batin Eva.
"Dia masih keluargaku." Pria itu menyentuh bahu Eva. "Kamu bisa duduk di samping Precille." Adam menunjuk Precille, sekretarisnya yang berdiri di depan.
Wanita itu sangat cantik. Tinggi, kurus bak seorang model. Ia menarikkan kursi untuk Eva di sampingnya. "Silakan."
"Tolong dibantu ya, Precille. Dia belum mengerti pekerjaan ini," pinta Adam.
"Oh, ok."
"Dia juga sedang hamil, jadi tolong dijaga kehamilannya."
Para staf lainnya terkejut. Hamil? Berarti sudah punya suamikah?
Bersambung ....
tapi aku nggak mau kalo cuma sekedar like👉🏻👈🏻
semoga semakin semangat updatenya akak othor!!🙏🏼💪🏼💪🏼
lagian siapa juga yang tahu klo Eva istrimu...
makanya dari awal lebih baik jujur,ini pake bilang sodara lagi
padal aku dari kemarin uda ngumpulin bab, biar bisa d baca maraton, taunya pas baca langsung hbis😭😭
"berharap ada adegan kissing nya"
pas scroll eeh malah ketemu iklan habib jaffar, langsung baca istigfar karena tau yg ku pikirkan itu dosaaaaa😭🤣🤣
ini masalahnya di keyboardmu apa emang kebijakan dari mt/nt?
sekedar nanya aja nggak ada maksud lain mak🙏🏼🙏🏼
nggak!
bapak gay?
anjroot, mau ku tabok kamu ev?!😭😭
adaaa aja gebrakannya ke' nasti sama iwabe