Damian, lelaki yang dikenal dengan julukan "mafia kejam" karena sikapnya bengis dan dingin serta dapat membunuh tanpa ampun.
Namun segalanya berubah ketika dia bertemu dengan Talia, seorang gadis somplak nan ceria yang mengubah dunianya.
Damian yang pernah gagal di masa lalunya perlahan-lahan membuka hati kepada Talia. Keduanya bahkan terlibat dalam permainan-permainan panas yang tak terduga. Yang membuat Damian mampu melupakan mantan istrinya sepenuhnya dan ingin memiliki Talia seutuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Talia segera berdiri dan bergegas ke dapur. Tangannya dengan cepat meraih gelas dan menuangkan air dari teko, lalu kembali ke kamar dengan langkah setengah berlari. Damian masih terbaring dengan napas tersengal-sengal, bibirnya pucat dan kering.
"Hei, ini aku bawain air," katanya sambil duduk kembali di sisi ranjang.
Mata Damian sedikit terbuka, tapi masih terlihat samar dan buram. Talia menyentuh bahunya pelan.
"Kamu bisa bangun sedikit? Aku bantu minum."
Damian mengerjapkan mata beberapa kali, lalu dengan susah payah mengangkat kepalanya. Namun, sebelum dia benar-benar bisa duduk, tubuhnya melemas lagi.
"Ya ampun, kamu lemah banget," gumam Talia sambil menghela napas.
"Oke, aku bantu."
Ia menyelipkan kedua tangannya ke ketiak Damian dan membantunya sedikit terangkat. Pria itu mendesis pelan, wajahnya makin mengernyit karena nyeri. Dengan hati-hati, Talia menempelkan gelas ke bibirnya.
"Pelan-pelan, sedikit-sedikit aja dulu minum ya," katanya.
Damian meneguk air dalam jumlah kecil, tetapi cukup untuk membuat tenggorokannya terasa lebih baik. Setelah beberapa tegukan, dia menjauhkan wajahnya.
"Udah?"
Damian hanya mengangguk lemah, matanya menutup kembali.
Talia menghela napas lega dan menurunkannya perlahan ke bantal.
"Kamu tuh kayak habis perang aja tahu nggak," gumamnya.
"Padahal aku nggak tahu kamu siapa, tapi aku nolongin juga. Baik banget nggak sih aku ini? Udah jago nyanyi, baik pula."
Damian tidak menjawab, tentu saja meski dia dapat mendengar apa yang gadis itu katakan. Pria itu kembali tenggelam dalam tidurnya yang gelisah dan tubuhnya yang terasa begitu kesakitan.
Talia menarik kursi ke dekat kasur dan menatap pria itu dengan campuran perasaan bingung dan penasaran.
"Siapa sih kamu? Kayak familiar mukanya tapi aku gak inget pernah lihat di mana." gumamnya pelan.
Gadis itu menggigit bibir, berpikir. Sejak awal, Damian muncul secara misterius, terluka parah, dan tidak ingin dibawa ke rumah sakit. Itu saja sudah cukup mencurigakan. Tapi entah kenapa, dia tidak merasa Damian adalah orang jahat, meski ia tidak menampik lelaki ini kejam dan suka mengancamnya.
Talia meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Zaka.
Talia:
Kak Zaka, dia tadi sadar sebentar, minta air. Normal kan?
Tak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
Zaka:
Mm, normal. Berarti dia nggak kehilangan terlalu banyak darah. Tapi tetap hati-hati, Talia.
Talia menghela napas.
"Iya, iya," gumamnya sambil menutup ponsel.
Ia kembali menatap Damian. Matanya bergerak sedikit di balik kelopak yang tertutup. Sepertinya dia sedang bermimpi.
Tanpa sadar, Talia tersenyum kecil.
"Kamu ini tampan banget sih, nyebelin ah," gumamnya mencolek kecil pipi Damian.
Lalu, seolah mendengar gumamannya dan merasakan pipinya di sentuh, mata Damian tiba-tiba terbuka.
Talia tersentak.
"Eh?!" Dia langsung gugup merasa terciduk.
Tatapan pria itu masih kabur, tapi perlahan fokus. Sepasang mata hitam pekat menatapnya tajam, meskipun jelas terlihat lemah.
"Kamu … Jangan sentuh aku ..." suaranya serak penuh peringatan, tapi hampir tak terdengar.
Talia berkedip, lalu tersenyum ragu.
"Heheh. Maaf, tadi gak sengaja."
Katanya beralasan, lalu merutuk dalam hati.
Ganteng-ganteng sensitif amat.
Damian mengerang pelan, mencoba menggerakkan tubuhnya. Tetapi rasa sakit segera membuatnya meringis.
"Jangan banyak gerak! Luka kamu masih parah," kata Talia cepat, tangannya refleks menahan bahunya.
Damian menatapnya tajam.
"Aku di mana?"
Talia mengangkat alis.
"Di rumah aku. Kamu lupa?"
Pria itu diam sejenak, lalu matanya menyapu ruangan dengan tatapan penuh waspada. Ruangan tersebut penuh dengan poster band. Jauh dari kesan feminin.
Damian menatap ke gadis yang duduk di depannya lagi, lalu tatapannya fokus ke tangan gadis itu yang masih ada noda darah. Darahnya pasti.
Talia mengikuti arah pandang pria itu, sesaat kemudian teriakan kencangnya langsung membuat telinga Damian sakit sehingga lelaki itu menatapnya tajam.
"Ahh! Darah! Darah!" setelah berteriak heboh, gadis itu cepat-cepat berlari masuk ke kamar mandinya.
Damian menggeleng sambil sesekali meringis kesakitan. Ia masih melirik ke arah kamar mandi, merasa gadis itu terlalu lebay.
Beberapa saat kemudian gadis itu kembali dengan senyum cerah.
"Sudah bersih." katanya kembali duduk di tepi ranjang sambil terus menatap Damian. Pria itu balas menatapnya datar, belum bersahabat.
Talia menghela napas melihat betapa kakunya laki-laki itu.
"Haissh, gak ada lembut-lembutnya. Padahal aku jelas udah nolongin sampe bela-belain bawa ke sini.
Ya udahlah, yang penting kamu sadar." katanya blak-blakan.
"Kamu lapar?"
Pria itu tidak menjawab. Masih menatapnya dengan ekspresi yang sama.
"Oke, anggap itu jawaban 'iya'," kata Talia sendiri. Ia pun berdiri dan menuju dapur. Semua pembantu rumah ini sudah tidur, hanya dia saja yang bangun. Jadi, walaupun dia tidak pandai memasak, dia mencoba memasak apa saja bahan yang dia lihat di dapur.
Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan semangkuk bubur hangat. Ia duduk di samping ranjang lagi, lalu menatap Damian yang masih memejamkan mata.
"Hei, makan dulu," katanya.
Damian membuka mata perlahan, menatap bubur itu dengan ekspresi datar. Bubur itu penuh dengan rempah-rempah. Malah jadi seperti rumput di mata Damian.
"Jangan lihat dari tampilannya, bubur ini berkhasiat. Aku masukin banyak rempah-rempah yang bisa bikin luka kamu membaik. Ayo aku suapin." Talia hendak menyuapi Damian tapi langsung di tolak.
"Aku bisa makan sendiri."
Talia mendecak.
"Oh ya? Baru ngangkat kepala aja udah kayak orang mau pingsan. Jangan sok jagoan, deh. Anggap aja aku perawat."
Damian mendengus kecil, tetapi tidak membantah. Ia membiarkan Talia menyuapinya perlahan, meski ekspresinya jelas-jelas tidak nyaman. Belum pernah ada yang menyuapinya semasa dia hidup, bahkan Kanara si mantan istri. Sekarang wanita itu sudah hidup bahagia dengan suami barunya, bersama laki-laki yang dia cintai.
"Gimana, enak kan?"
Damian tak menjawab. Rasanya memang lumayan, tetapi dia tidak ada niatan untuk memuji. Itu bukan tipenya.
Talia mendengus pelan lalu melanjutkan menyuapinya sampai bubur di mangkuk habis.
Saat selesai, Damian bersandar dengan napas lebih tenang. Wajahnya masih pucat, tapi sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Talia meraih kain basah dan menyeka keningnya.
"Kamu harus istirahat lagi. Kata kak Zaka, dokter yang mengobatimu tadi, kamu jangan sampai dehidrasi. Jadi kalau haus lagi langsung bilang saja. Mudah-mudahan aku belum ketiduran. Tapi kalo aku ketiduran kamu gak boleh keluar sendiri. Gak boleh ada orang di rumah ini yang boleh tahu aku bawa laki-laki gak jelas ke sini. Pokoknya kalau kamu haus terus aku ketiduran, bangunin aja. Kalau aku gak bangun-bangun, minum air dari keran wastafel juga boleh kok." Talia berbicara panjang lebar tanpa berpikir panjang.
Damian kembali menatapnya tajam.
Sinting.
Orang sakit disuruh minum air keran.
"Ya sudah, kamu istirahat lagi sana. Aku mau mandi dulu. Badanku udah lengket semua." setelah mengatakan itu, Talia mengambil beberapa pakaian dari dalam lemari dan menghilang di kamar mandi. Damian menatap pintu kamar mandi sesaat, lalu kembali berbaring.
dobel up
hahaa dasar kau damian nyosor langsung
👍🌹❤🙏🤣🤣🤣