Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Sang Ratu Bertemu Lawannya
Theresa Coldwell duduk santai di kursinya, satu kaki disilangkan, matanya setengah terpejam karena bosan saat memandangi seisi kelas. Semester baru berarti korban baru—wajah-wajah segar yang belum paham betapa sekolah ini punya hierarki sosial. Dan di puncaknya? Tentu saja, dia.
Lalu pintu kelas terbuka, dan masuklah murid baru.
Tinggi, rambut cokelat tua yang sedikit berantakan, mata hazel keemasan yang menyapu ruangan dengan tatapan santai dan tak terbaca. Seragamnya rapi, tapi dasinya sedikit longgar—cukup peduli agar tak ditegur, tapi jelas tak cukup untuk benar-benar berusaha.
Mainan baru.
Guru itu berdeham. “Anak-anak, kita punya murid baru. Silakan perkenalkan diri.”
Anak itu menyelipkan tangannya ke dalam saku dan berbicara dengan nada terlalu santai untuk selera Theresa. “Adrien Valmont. Aku bisa saja bilang senang bertemu kalian, tapi kita semua tahu basa-basi itu cuma buang-buang waktu.”
Kelas mulai berbisik. Oh, dia salah satu dari mereka—tipe misterius yang mengira sikap dingin bikin mereka menarik. Theresa menyeringai. Sayang sekali baginya, dia sudah terlalu mahir membongkar orang hanya dengan kata-kata.
Theresa bersandar ke depan, dagunya bertumpu di tangan. “Segarnya. Seorang filsuf modern. Jadi, Adrien, kau juga menulis puisi tentang jurang jiwa manusia, atau kau lebih suka menatap jendela dengan tatapan kosong penuh arti?”
Adrien menoleh padanya, tetap tenang. “Tergantung. Kau selalu mengatasi kebosanan dengan mengomentari hidup orang lain seperti penjahat di drama Shakespeare?”
Kelas langsung terdiam.
Theresa berkedip. Apa dia barusan—?
“Berani sekali,” ujarnya santai, segera mendapatkan kembali kendalinya. “Tapi kalau kau berniat menantangku, kau harus tahu banyak yang sudah menangis karena aku. Beberapa bahkan sampai pindah sekolah.”
Adrien menatapnya dari atas ke bawah, tanpa ekspresi. “Dan kau masih di SMA.”
Beberapa siswa terkesiap. Ada yang berbisik, "Oh, mon Dieu."
Theresa menyipitkan mata. “Touché. Tapi untuk seseorang dengan gaya seperti mahasiswa sastra yang kurang tidur, kau tampaknya punya kepercayaan diri yang berlebihan.”
Adrien memiringkan kepalanya, seolah berpikir. “Dan untuk seseorang dengan ego sebesar Menara Eiffel, kau tampaknya mudah terpancing.”
Sekarang kelas benar-benar menahan napas.
Theresa tersenyum—senyum lambat dan berbahaya yang biasanya cukup untuk membuat siapa pun mundur. “Aku suka kau, Adrien Valmont.”
Adrien bersandar di mejanya, tetap setenang sebelumnya. “Sayang sekali.”
Hening. Lalu—
Seseorang tertawa kecil.
Seisi kelas langsung meledak. Sang Ratu Sindiran baru saja dipatahkan. Tak ada yang pernah selamat dari adu mulut dengan Theresa Coldwell. Tapi Adrien Valmont? Dia membalas apinya dengan es.
Theresa mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, menilai lawannya. Tak ada tanda kemenangan di wajahnya—tak ada seringai puas, tak ada kesombongan. Hanya ketenangan, seolah ini cuma hari biasa baginya.
Betapa menyebalkan.
Guru mereka menghela napas. “Nona Coldwell, Tuan Valmont, saya akan sangat menghargai jika kalian berdua—”
Theresa melambaikan tangan. “Oh, jangan khawatir, Madame. Aku dan Adrien hanya… saling memahami.”
Adrien meliriknya sekilas. “Begitukah?”
Theresa menyeringai. “Tentu saja. Karena sepertinya kau punya otak yang berfungsi—sesuatu yang langka di sekolah ini—aku harus mengujinya lebih jauh.”
Adrien menggumam pelan, tetap santai. “Silakan saja. Asal jangan menangis saat kau kalah.”
Mata Theresa berkilat tajam, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang berbahaya. Ini bukan sekedar adu mulut biasa—ini tantangan, dan Theresa Coldwell tidak pernah mundur dari tantangan.