Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ARSAL BOHONG
Setelah perkataan Arsal semalam, Ayra jadi bingung bagaimana menghadapi lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu. Di satu sisi ia ingin membalas perlakuan dingin Arsal, namun di sisi lain ia juga tidak bisa mengabaikan nasihan ibunya untuk selalu bersikap baik pada suaminya. Sebab surga seorang istri ada pada suaminya.
Namun sisi manusiawinya terus bersuara agar ia tidak perlu bersikap hangat pada Arsal. Mungkin itulah yang membuatnya pagi ini enggan berbicara bahkan menatap Arsal secara langsung. Jika semalam ia beruntung karena ketika ia pulang, Arsal belum pulang karena masih harus menjemput Kalya di rumah neneknya.
Jangan tanyakan bagaimana Ayra pulang semalam. Setelah mengatakan hal yang tidak masuk akal Ayra semalam, Arsal langsung keluar. Meninggalkan Ayra yang justru terdiam di ruangan Arsal. Dinginnya ruangan Arsal semalam bahkan tidak membuat dada Ayra yang memanas itu dingin. Akhirnya Ayra pulang dengan menumpang pada Haikal dan Riana.
"Tante sudah bersiap pagi-pagi begini?" suara Kalya membuat Ayra yang sedang memasak untuk sarapan menoleh.
Anak kecil itu masih begitu berantakan-khas orang bangun tidur, namun Ayra tidak kuasa menahan senyumnya begitu melihat wajah polos Kalya menatapnya.
"Tante harus berangkat pagi-pagi sekali hari ini." jawab Ayra masih sibuk dengan masakannya.
Kalya tidak berkomentar apapun lagi. Anak kecil itu lalu duduk di meja bar sambil menatap Ayra.
"Semalam kenapa Tante tidak ikut papa menjemputku di rumah Oma?" tanya Kalya sambil meletakkan tangan di dagunya.
"Tante masih di kantor saat papamu menjemputmu. Maaf, ya." ucap Ayra tidak enak hati.
"Jangan minta maaf. Aku juga tidak berharap Tante datang." sahut Kalya datar.
Bukannya tersinggung namun perkataan jujur Kalya membuat Ayra tersenyum tipis. Hubungan mereka masih belum sedekat itu untuk saling bersikap manis satu sama lain.
Namun setidaknya, Kalya lebih manusiawi daripada Arsal. Lelaki itu bahkan belum pernah bicara manis padanya. Jangan harap ada kecupan manis di kening saat Ayra mencium tangan Arsal, baik itu saat selesai sholat maupun pulang-pergi kerja. Lelaki itu seperti sangat menghindari kontak fisik dengan Ayra.
"Pagi, Cantik," sapaan hangat dari Arsal itu membuat Kalya mengangkat wajahnya.
Ayra yang masih fokus memasak hanya memutar matanya mendengar Arsal menyapa Kalya dengan begitu lembut dan hangat. Lelaki itu sama sekali mengabaikan kehadirannya.
"Kamu yakin hari ini nggak mau ikut Papa ke kantor? Disana ada banyak anak-anak yang diundang." kata Arsal pada Kalya.
"Nggak, Pa." jawab Kalya. "Aku sudah berjanji dengan Tante Manda hari ini mau belajar membuat roti."
"Baiklah. Kalau nanti berubah pikiran, minta Tante Manda hubungi Papa."
Suara lembut dan hangat Arsal itu membuat perasaan Ayra ikut menghangat. Setidaknya ia bisa melihat langsung bahwa Arsal bisa juga berperilaku hangat dan lembut. Lelaki itu tampak seperti malaikat Ridwan saat berhadapan dengan Kalya namun jika berhadapan dengan dirinya, Arsal lebih mirip malaikat Malik.
Ayra meringgis membayangkan nasibnya yang mirip seperti istri-istri tertindas di sinetron. Hanya saja bedanya, suaminya tidak pelit dan tidak selingkuh. Walaupun sifatnya dingin dan sering berkata nyelekit namun dengan sifat baik yang Ayra paparkan tadi membuat Ayra tidak terlalu pusing dengan sikap Arsal.
"Oke makanannya siap." Ayra dengan cekatan menyiapkan makanan untuk mereka sarapan.
Dua porsi nasi goreng lengkap dengan sosis dan ayam suwir itu kini tersedia di hadapan Arsal dan Kalya. Tak lupa segelas susu cokelat untuk Kalya dan segelas kopi untuk Arsal. Menurut informasi dari Kalya, papanya itu selalu minum kopi di pagi hari. Karena hal itulah, walaupun Ayra masih mengingat jelas perkataan kejam Arsal semalam, ia masih menyiapkan makanan untuk Arsal.
"Hanya dua? Tante nggak makan?" tanya Kalya setelah minum susu.
Ayra tersenyum kecil. "Tante bisa makan di kantor." jawab Ayra menatap anak itu dengan sayang.
"Terima kasih Tante untuk sarapannya." ucap Kalya tulus. Anak itu makan dengan begitu lahap.
"Oke. Sama-sama, Cantik." sahut Ayra lalu menatap Arsal yang masih menatapnya diam sedari tadi.
See? Bahkan Kalya lebih bisa memperlakukan Ayra dengan baik daripada Arsal. Setelah mengutarakan maksudnya menikahi Ayra semalam sifat dinginnya semakin menjadi-jadi. Ayra bingung mengapa ada manusia yang tahan tidak bicara seperti Arsal.
"Silahkan makan, ya." Entah Arsal yang memang sepeka itu untuk menyadari perkataan itu untuk dirinya, walaupun mata Ayra menatap Kalya saat mengatakan itu, namun lelaki itu mulai menyuapkan suapan pertama ke mulutnya.
Saat Arsal dan Kalya sedang makan, tangan Ayra kembali membuatkan makanan sederhana untuk bekal Kalya. Tentunya ini atas inisiatif dirinya sendiri, terutama saat beberapa waktu yang lalu Kalya bercerita bahwa ia juga ingin merasakan disiapkan bekal oleh ibunya.
Ayra dengan cepat menyiapkan roti sandwich untuk Kalya. Tidak lupa ia memasukkan buah juga ke kotak makan Kalya. Setelah memastikan bekal tersebut siap, Ayra meletakkan itu di meja dekat Arsal dan Kalya sarapan.
"Bekalnya sudah Tante siapkan, ya. Jangan lupa dibawa." kata Ayra sambil meletakan tas makanan itu di meja.
Kalya menghentikan aktivitas makannya. Matanya mengerjap beberapa kali. "Bekal ku Tante?" tanya Kalya dengan nada rendah.
Ayra mengangguk cepat. "Iya. Tante buatkan khusus untuk kamu. Jangan lupa dibawa dan semoga kamu suka." Ayra memberikan senyum terbaiknya pada Kalya.
Anak itu tersenyum manis. Sesuatu yang jarang Kalya tunjukkan pada Ayra. "Terima kasih, Tante."
"Kamu sudah berterima kasih padaku dua kali. Tapi Tante senang. Karena wajah mu ternyata bisa semanis ini." sahut Ayra ceria. Lalu matanya tidak sengaja melihat ke arah jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Dia terlambat sedikit dari jadwal yang seharusnya.
"Oke. Kamu lanjut sarapan ya, Tante mau siap-siap dulu."
Tanpa menunggu jawaban Kalya apalagi Arsal, Ayra segera melepaskan apronnya dan segera berjalan cepat ke kamar untuk mengambil tasnya. Ayra segera mengambil tasnya dan memastikan bahwa semua barang-barang pentingnya sudah ia masukkan ke tas.
Setelah memastikan bahwa semua sudah siap, ia langsung berbalik, namun ia hampir saja akan berteriak karena entah sejak kapan Arsal sudah berdiri di belakangnya.
"Ngapain sih berdiri disitu? Mana nggak ada suaranya lagi." gerutu Ayra tanpa sadar.
"Kamu kenapa pergi pagi-pagi begini?" tanya Arsal dengan datar.
Ayra melihat jamnya. Ini memang masih pagi untuk Arsal, namun ini sudah terlambat hampir dua puluh menit dari yang Ayra rencanakan.
"Saya ada urusan. Ini penting, urusan kerjaan juga kok. Jadi tenang, saya nggak akan macam-macam."
"Acaranya baru akan dimulai jam 9. Sekarang bahkan baru jam 6 lewat. Urusan apa yang membuat kamu buru-buru seperti ini?"
Ayra terdiam. Arsal jarang berbicara panjang lebar seperti ini. Seharusnya Ayra senang, pertanyaan Arsal seperti menunjukkan sisi perhatian seorang suami pada istrinya. Namun lagi-lagi perkataan Arsal semalam terngiang di kepalanya.
Saat Ayra baru saja akan menjawab, ponselnya berdering. Ayra segera mengambil ponsel yang berada di tasnya. Nama Haikal tertera. Tanpa menjawab pertanyaan Arsal lebih dulu, Ayra segera menjawab panggilan tersebut.
"Halo, Mas."
"Buruan turun. Kita sudah di bawah. Nanti telat." kata Haikal langsung dari seberang.
"Iya. Ini aku baru mau turun. Tunggu." Ayra segera menutup panggilan tersebut. Ia baru saja akan segera membuka pintu kamarnya, namun tangannya lebih dulu di tahan Arsal.
"Kalau saya tidak memberikan kamu izin untuk berangkat bersama Haikal, apakah kamu akan menurutinya?" tanya Arsal dengan pelan namun tatapannya begitu tajam mengintimidasi Ayra.
"Maksud kamu?" tanya Ayra.
"Kalya meminta kamu ikut mengantarnya pagi ini. Jadi saya harap kamu bisa mempertimbangkan itu."
Ayra bimbang. Kenapa tiba-tiba Kalya meminta itu? Ingin ditolak, namun ia tidak ingin Kalya kecewa. Namun jika ia menerima permintaan Kalya, maka ia akan terlambat datang dan harus bersiap mendengar omelan Riana nanti.
Ia ingin menolak mengantarkan Kalya, namun bayangan wajah cantik anak itu saat tersenyum padanya, membuat Ayra tidak ingin membuatnya kecewa.
"Baiklah. Saya ikut mengantarkan Kalya ke sekolah." jawab Ayra.
Setelah mendengar itu, Arsal melepaskan tangan Ayra. Lelaki itu langsung menuju kamar mandi. Sedangkan Ayra segera mengirimkan pesan pada Haikal bahwa ia batal ikut mobil Haikal.
Tanpa memperdulikan beberapa pesan protes Haikal, Ayra pun meletakkan kembali tasnya di dekat meja rias. Ia segera keluar kamar memastikan Kalya sudah mulai bersiap-siap ke sekolah.
Ayra segera menuju kamar Kalya. Ternyata anak itu sedang berusaha memakai kaos kakinya. Ayra segera membantu Kalya.
"Bukannya Tante sudah akan pergi. Kok masih disni?" tanya Kalya heran.
"Kamu sendiri yang bilang mau Tante ikut antar kamu ke sekolah." jawab Ayra, masih membantu Kalya memakai kaos kakinya.
"Oh iya? Tante tidak salah?" tanya Kalya lagi. "Sepertinya aku tidak pernah bilang begitu." lanjut anak itu yakin.
Ayra terdiam. Jika Kalya berkata seperti ini, mengapa begitu berbeda dengan Arsal? "Apa mungkin Arsal berbohong padanya? Tapi untuk apa?" tanya Ayra dalam hati.
berdebar dan selalu ternanti