“Regina Meizura Carlton sebenarnya sudah mati. Namun, tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk membalas dendam*
Bagaimana rasanya dikhianati oleh suami, adik, ibu tiri dan juga ayah yang selalu memihak pada mereka. Hingga kematian merenggut Regina dan kesempatan kedua kali ini dia tidak akan melewatkan kasih sayang dari Axel Witsel Witzelm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleena Marsainta Sunting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kembali
“REGI … REGINAAA!!! Kamu mendengarku? Kamu dimana?”
Suara itu, aku mendengarnya dengan jelas. Tidak asing, tapi aku seolah tidak pernah memperhatikan suara itu. Itu suara Axel. Dalam kesadaran yang sepenuhnya hampir hilang, mataku melihat bayangan, wajah itu penuh kekhawatiran dan ketakutan berlari menghampiriku.
“Tolong bertahanlah, aku akan segera membawamu keluar dari sini, Regi, tolong bertahanlah …,” suara kegelisahan dengan bibir yang bergetar. Dia benar-benar seperti akan mati saat itu juga.
Kenapa dia menatapku seperti itu. Aku bahkan tidak pernah bersikap baik padanya. Aku merasa dia juga ikut merasakan semua lukaku. Aku selalu menolaknya karena Nicholas. Tidak pernah sekalipun aku bersikap baik padanya.
Namun, sepertinya semua sudah sangat terlambat. Kepulan asap semakin lama semakin membesar. Aku merasakan tubuhku melayang di udara. Axel mengangkat tubuhku dengan perlahan dan ringkih karena api semakin membesar.
Langkahnya terasa berat bukan hanya karena bebanku, tetapi kondisi isi gudang yang hampir seluruhnya terbakar. Lalu aku mendengar suara besi yang runtuh dimana-mana dan brak! Hantaman itu cukup keras hingga membuatku tersungkur kembali di lantai panas.
Diatasku, tubuh Axel melindungi dari reruntuhan itu. Laki-laki bertubuh besar itu benar-benar menangisiku. Dia melindungiku segenap jiwa dan raga.
“Ma–maafkan aku, Regi, aku terlambat mengetahuinya. Maafkan aku karena gagal melindungimu. Ma–maafkan aku, Reg … aahggh …!!” Kata itu terdengar samar juga lirih permintaan maafnya membuat aku sadar bahwa selama ini dia sangat tulus mencintaiku.
Air mataku mengalir begitu saja di setiap detik kematianku.
Aku tidak pernah menyangka kalau Axel datang menyelamatkanku, tetapi dia meregang nyawa lebih dulu karena melindungiku dari runtuhan besi.
Aku bersalah dan berdosa. Aku telah menyia-nyiakan laki-laki yang paling mencintaiku. Dia, Axel Witsel Witzelm, namanya akan selalu kuingat di akhir kematian yang sangat sangat kejam ini.
***
“Hah!”
Aku membuka mataku saat kudengar rengekan.
“Kak Regi? Kenapa kakak diam saja? Apa kita jadi makan malamnya? Jangan sampai membuat Kak Nicholas menunggu lama. Dia pasti kecewa kalau kakak tidak jadi memberikan kejutan itu!”
Suara manja itu adalah milik Minna Retha Valentina, adik tiriku yang sudah membuatku mati dan tersiksa. Dia sedang mengaitkan tangannya di tanganku sambil menyandarkan kepalanya di sana.
Otakku berpikir kembali. Mati. Aku sadar betul kalau aku sudah mati dalam kobaran api dan dekapan Axel. Tapi, apa ini?
Apa itu adalah sebuah mimpi.
Atau aku salah menilainya.
Ti–tidak. Aku tidak salah. Aku yakin merasakan semua kepedihan dan kesakitan itu. Aku benar-benar sudah mati.
Mungkinkah tuhan sedang memberiku kesempatan untuk merubah takdir dan tentu saja membalaskan semua dendamku.
Sungguh suatu keajaiban. Aku kembali.
Aku bahkan hampir tidak percaya kesempatan itu akan datang padaku. Aku berjanji akan membalas semuanya satu persatu-satu.
Ini kesempatanku. Aku akan menghitung semua yang telah mereka lakukan padaku.
“Akhh!” Minna terkejut karena aku tiba-tiba saja beranjak dari duduk.
Aku ingat hari ini, Minna mengajakku untuk makan malam dan saat pertemuan disana nanti dia akan sengaja menumpahkan sup panas ke tanganku. Lalu aku dibawa ke rumah sakit dan disitulah Nicholas mulai gencar melakukan perhatiannya.
Dia bersikap baik seolah-olah sangat menyayangiku. Padahal kalau diingat lagi, itu adalah rencana Minna untuk membuat aku lebih dekat dan membuatku terjebak oleh kemunafikan mereka.
Masa ini adalah dimana Minna melancarkan rencana untuk mendekatkan aku dan Nicholas. Jadi, aku kembali pada waktu dimana kami belum menikah. Ini adalah lima tahun sebelum aku menikah dengannya.
Dulu, aku sangat mempercayai Minna dan papa dengan alasan membawa Minna masuk ke dalam keluarga Thomson adalah mencarikan teman bermain untukku agar aku tidak kesepian.
Nyatanya, dia adalah anak selingkuh dari papaku. Mamaku yang malang, dia tidak tahu kalau ternyata papa sudah mengkhianati mama. Dan, kakek sejak awal menentangnya karena mungkin kakek sudah mempunyai firasat ini.
“Uhm, kamu pergi saja duluan. Nanti aku akan menyusulmu. Mungkin aku ada rencana membeli sesuatu sebagai hadiah kejutan,” ucapku.
Jelas nada bicaraku kini berbeda. Dulu aku akan kesenangan setengah mati dan memeluk Minna dengan erat. Mengucapkan banyak terima kasih padanya karena sudah menjadi mak comblang untuk hubungan kita.
Tetapi sekarang, aku tidak akan melakukan itu. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku ingat, Minna sengaja menumpahkan sup panas itu di tangan kananku. Hingga aku harus mendapatkan perawatan cukup ekstra di tanganku. Juga bekas luka akibat siraman itu tidak pernah hilang.
Minna menatapku sesaat. Sepertinya dia cukup terkejut karena aku secara tidak langsung menghempaskan tangannya.
“Mmmm … baiklah, kalau begitu aku akan bersiap-siap dulu, Kak,” seraya mengembangkan senyum, dia merasa sudah berhasil menjebakku.
Aku menyipitkan mataku melihat kepergian Minna yang berlari polos kearah tangga menuju kamarnya. Bagaimana aku bisa terjebak oleh kepolosannya. Dia benar-benar tidak terlihat seperti orang yang akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang dia inginkan.
Wajahnya mencerminkan kalau dia hanya bahagia jika bersamaku.
Aku akan merubah segalanya. Apa yang tidak aku lakukan pada saat itu, sekarang aku akan merubah semuanya. Termasuk penampilanku yang seperti ini. Kali ini kalian pasti menyesalinya.
***
Bruk! Aku menabrak seseorang saat keluar dari satu toko pakaian. Aku merubah dandananku yang terkesan kalem. Sekarang aku memakai dress berwarna merah tanpa lengan dan itu di atas lutut.
Aku biasanya tidak percaya diri mengenakannya. Aku selalu menatap Minna yang berpenampilan berbeda denganku. Dia selalu berpenampilan sedikit berpakaian terbuka untuk menarik lawan jenisnya sedangkan aku selalu tertutup.
“Ma–maaf, aku nggak sengaja. Aku nggak lihat!” cara bicaraku pun terdengar berubah, dulu aku kaku dan malu-malu.
“Akh!” Lenganku tiba-tiba dicengkeram dengan erat. Aku belum mendengar suara apapun secara spontan aku menarik wajahku dan saat mata kami bertatapan.
Jantungku seakan berhenti berdetak lagi. Saat ini, tepat berdiri di hadapanku, dia, Axel Witsel Witzelm, laki-laki berperawakan tinggi juga besar. Dengan dua mata hitam yang tajam juga garis rahangnya yang tajam menambah kedinginan padanya.
Dulu, aku tidak pernah peduli ataupun meliriknya. Aku mengabaikan Axel karena sikapnya selalu saja angkuh terhadapku. Axel selalu menunjukkan sikap tidak ramah dan bersahabat denganku.
Axel selalu menatapku dengan tajam tanpa aku tahu itu adalah tatapan ketulusan dan cintanya yang besar terhadapku.
Tanpa kusadari, air mataku mengalir begitu saja. Aku menyesali semuanya. Seandainya dulu aku bisa sedikit ramah padanya. Aku memberikan kesempatan padanya.
Bahkan hanya untuk berbicara denganku saja aku menolaknya. Aku selalu menjauhi. Apalagi Minna dan Nicholas selalu menjadi penengah yang menjauhkanku dengan Axel.
Tanpa ragu, aku menghempaskan cengkraman tangan Axel dan langsung memeluknya dengan erat. Aku menangis dalam pelukannya.
“Ma–maafkan aku, aku salah. Aku berjanji, kali ini hanya ada kamu!” ucapku lirih dan mungkin saja tidak terdengar oleh Axel.