Sinopsis:
Cerita ini hanyalah sebuah cerita ringan, minim akan konflik. Mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari Bulbul. Gadis kecil berusia 4 tahun yang bernama lengkap Bulan Aneksa Anindira. Gadis ceria dengan segala tingkahnya yang selalu menggemaskan dan bisa membuat orang di sekitar geleng-geleng kepala akibat tingkahnya. Bulbul adalah anak kesayangan kedua orangtua dan juga Abangnya yang bernama Kenzo. Di kisah ini tidak hanya kisah seorang Bulbul saja, tentunya akan ada sepenggal-sepenggal kisah dari Kenzo yang ikut serta dalam cerita ini.
Walaupun hanya sebuah kisah ringan, di dominan dengan kisah akan tawa kebahagian di dalamnya. Akan tetapi, itu hanya awal, tetapi akhir? Belum tentu di akhir akan ada canda tawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuliani fadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17
"Bul, ayo berangkat," ajak Kenzo, hendak menuntun tangan Bulbul. Untuk segera berangkat sekolah seperti biasanya.
Namun, Bulbul segera menarik tangannya dengan menembunyikan ke belakang tubuhnya. Tak lupa diiringi gelengan pada kepalanya.
"Endak mau!" tolaknya.
"Kenapa Dek, nanti telat loh," celetuk Winda seraya merapihkan tataan poni Bulbul yang nampak sedikit menghalangi pandangannya.
Bibirnya mengerucut sebal. "Endak mau Mama! Kemayin aja Bulbul dicuyuh belangkat cama Bang Ilham, cama ci Eful duga. Di dalan."
Kenzo menampilkan deretan gigi putihnya, sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf v. Menatap Winda yang juga tengah menatapnya dengan sinis. "Kemaren, kan, Jo, udah telat bangat Mah, serius dah."
"Iya Bul, nanti Mama potong uang jajan Bang Jo!" sindir Winda menatap sekilas Kenzo malas.
"Wet, wet, wet! Tidak bisa seperti itu Purgoso!" sahut Kenzo sewot, menggerak-gerakan tangannya, refleks.
"Lagiankan, uang jajan Jo juga udah di potong Mah kemare, masa sekarang dipotong lagi. Entar Jo jajannya kek gimana? Pake apaan!" sambung Kenzo berujar dengan menampakan wajah memelasnya.
Winda mengelilingkan bola matanya. "Ngepet dulu sana!"
"Hah? Ngepet, Ma?" beo Kenzo seraya mengengguk-nganggukan kepalanya. "Bagus tuh, tapi Mama yang keliling, Jo yang jagain lilin!"
Pakk!
Winda menggeplak anak laki-lakinya itu menggunakan sandal jepit yang dipakainya.
"Sana dah, berangkat lu, gak ada akhlak bangat ngajak ngepet orangtua!"
Kenzo meringis, mengusap-ngusap tangannya yang digeplak Winda tadi. "Kok, malah nyalahin Jo sih. Kan, Mama yang ngajak duluan!"
"Gak ada yang ngajak kamu ngepet. Cuma ngasih saran aja buat lu, selama uang jajan dipotong!"
"Ajaran sesat!" gumam kenzo, "Tapi entar malem Jo ngepet, uangnya Papa, ah."
Winda mendengkus, merotasikan bola matanya. "Itu bukan ngepet, minta namanya!"
Kenzo terkekeh, "Jadi ini kek gimana ini, nanti Abang telat lagih, mau bareng apa kagak?" ujar Kenzo menyudahi pembahasan tentang ngepet.
"Berangkatnya sama Bang Jo aja Bul. Ya?" kata Winda bertanya pada Bulbul.
Bulbul menggelengkan kepalanya. "Endak! Bulbul endak Mau!"
"Yaudah kalo kagak mau. Jo berangkat," pamitnya memberikan tangamnya bermaksud ingin mencium tangan Winda.
Winda menggeplak tangan Kenzo. "Nanti!"
"Terus, Bulbul mau sekolah sama siapa, Dek?"
"Bulbul, mau cama Papa aja!" jawab Bulbul, menghampiri Aldan yang baru saja turun dari lantai atas dan merapatkan tubuhnya memeluk kaki Aldan.
"Yuk Pah, Bulbul mau belangkat cekulah bayeng Papa!"
"Kenapa gak sama Bang Jojo aja?" tanya Aldan dan menganggkat tubuh anaknya itu.
Bulbul mengendikan kedua bahunya. Tak lupa bibirnya mengerucut sedikit. "Endak! Bang Jojo ahat!"
"Kenapa?"
Kenzo berdecak kesal, mendengar Bulbul sudah berbicara seperti itu. Dan ia tahu apa yang akan terjadi lagi selanjutnya. "Ck! Pah, Mah. Jo berangkat duluan yah. Dah! Assalamualaikum!" pamitnya dan segera menyalami tangan Aldan dan Winda.
"Waalaikumsalam," jawab keduanya.
Kenzo segera bergegas berjalan pergi. Namun, ia membalikan badannya sedikit menatap pada Bulbul. Kedua jarinya ditunjukan pada kedua matanya lalu diarahkan pada Bulbul, tak lupa remaja itu menatap kesal Bulbul.
Namun, tak disangka apa yang dilakukannya itu, dibalas oleh Bulbul. Dengan melakukan apa yang Kenzo lakukan. Dan Bulbul menjulurkan lidahnya mengejek Kenzo.
"Sialan tuh bocah ngebales lagi!" sewot Kenzo bergumam, lalu kakinya melangkah menuju garasi.
"Yuk, berangkat Bul," ujar Aldan, pria itu masih menggendong Bulbul sambil memberikan sebuah kecupan pada pipi anaknya itu.
Bulbul mengangguk membalas kecupan singkat pada pipi Aldan. "Dadah, Mama. Bulbul belangkat."
"Assalamualaikum," salam pamit Aldan.
"Waalaikumsalam."
••
Mobil yang Aldan kendarai sudah pergi keluar dari kediamannya. Dan kini tengah melaju dijalan keluar kompleks perumahannya.
"Pa, Dedek bayina, Bulbul, udah adi belum?" celetuk Bulbul bertanya, yang duduk dikursi depan samping Aldan. Seperti bisa, gadis itu tengah menikmati susu favoritnya.
Aldan seketika mengalihkan pandangannya sekilas pada Bulbul. Dan kekehan gelipun Aldan lakukan mendengar penuturan anaknya itu. "Belom dong Bul, sabar."
Bulbul mengerucut bibirnya. "Kok Ama banget cih, Papa?"
"Sabar dong Bul," sahut Aldan lagi, "Emang dia pikir sekali buat langsung jadi apa," sambung Aldan bergumam pelan, sambil diiringi gelengan pada kepalanya.
"EFULL!" panggil Bulbul berteriak, sepontan gadis itu berdiri pada jok mobil itu sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil yang tertutup disebelahnya, memanggil Eful yang terlihat sama-sama hendak berangkat sekolah diantarkan oleh Ilham.
Aldan langsung membukakan kaca mobilnya, agar Eful bisa mendengar apa yamg diomongkan anaknya.
Bulbul mengeluarkan sedikit kepalanya. "HAI! EFULL!" teriak Bulbul sekali lagi. Dengan mata yang merem-melek akibat terpaan angin.
Aldan berdecak, "Ck! Bul, kepalanya jangan terlalu dikeluarin, bahaya entar jatuh lagi!" tegur Aldan, dan langsung memegangi anaknya itu, dengan mencekal rok yang dipakai Bulbul.
"HAI, JUGA BULBUL!" sahut Eful sama-sama berteriak.
"EFULL! NANTI ITA ETEMU DI CEKULAH YAH!" ujar Bulbul.
"IYA BUL. DADAH EMBUL EFUL DULUAN!" sahut Eful dan motor yang Ilham kendarai melaju mendahului mobil yang Aldan kendarai.
"Udah Bul, duduk lagi yang bener, bahaya!" tegur Aldan menarik pelan rok anaknya itu.
"Cepat Pah! Ebut ejal motol ci Eful!" pinta Bulbul sembari bertepuk tangan riang.
"Enggak ah, Bul, bahaya nanti tabrakan," sahut Aldan.
Bulbul menekuk wajahnya kesal. "Ihh! Papa mah!"
Mobil yang Aldan kendarai, akhirnya sampai dan memberhentikan tepat di depan gerbang TK Permata Hati.
Aldan turun terlebih dahulu dan segera membantu membukakan pintu mobil untuk Bulbul. Dan mengangkat tubuh anaknya itu agar segera turun.
"EFUL! TUNGGU!" teriak Bulbul dan berlari menghampiri Eful yang masih berada di area gerbang, dengan Ilham yang terlihat sudah hendak melajukan motornya kembali.
Tin!
"Om, duluan," sapa Ilham pada Aldan, tak lupa menganggukan kepalanya sebagai sapaan.
Sementara Aldan sendiri hanya merespon dengan anggukan singkat dan senyuman tipis.
"Bul, sini dulu," perintah Aldan pada Bulbul.
Bulbul menoleh dan menghampiri Aldan kembali.
"Belajar yang rajin, jangan nakal, jangan cengeng. Kalo ada yang jahatin Bulbul, lawan aja jangan takut. Oke?" tutur Aldan sambil mengangkat ibu jarinya.
Bulbul mengangguk. "Iya, Papa!"
"Good," ujar Aldan lagi dan mengecup singkat kedua pipi anaknya itu.
••
Suasana SMA Pelita Nusantara, siswa-siswi di sana tengah berbondong-bondong melangkahkan kakinya menuju tempat dimana surga dunia para pelajar, yang tak lain adalah kantin. Namun, tidak semua dari para murid disana menghabiskan waktunya ke kantin, entah ada angin puting beliung dari mana Kenzo berta kedua temannya memilih tidak nongkrong disana.
"Sat, tau kagak lu--"
"Kagak!" sahut Satria memenggal perkataan Gibran, sambil menyeruput marimas kap yang telah dibelinya dikantin sekolah. Ngomong-ngomong keduanya tengah berada duduk nongkrong di pos khusus penjaga gerbang sekolah.
"Gue belom selesai ngomong, Sat!"
"Oh, yok lanjut-lanjut," ujar Satria sembari mengengguk-nganggukan kepalanya.
Gibran mendengkus kesal, "Kagak jadi dah, lupa gue mau nanya apaan!" sahut Gibran. Dan mencomot sebuah gorengan yang telah tersedia disana.
Satria memutar bola matanya. "Gabut bet lu keliatannya, ye!"
"Bukan gabut Sat, otak gue kalo lagi laper suka tiba-tiba lupa mau nanya apaan!" sahut Gibran kembali menyuapakan gigitan gorengan terakhir pada mulutnya.
"Terserah lu dah, otak lu isinya makanan terus!" ucap Satria. "Btw, si Kenzo kemana dah, ke toilet kagak balik-balik. Nih gorenganya abis ngamuk tuh, anak!" sambung Satria berdiri dan mendongkak ke arah luar memeriksa apakah keberadaan Kenzo sudah terlihat.
"Paling tuh anak lagi ngeden, boker dia!" sahut Gibran.
"Kalian ngapain nongkrong disini?!" celetuk Mang Hasan, salah satu penjaga sekolah di SMA Pelita Nusantara. Yang mana baru saja dan memasuki pos itu.
"Emang ngapa, Mang?" tanya Gibran lalu menyeruput minumannya.
"Lagian disini adem Mang!" Satria ikut menimpali.
"Ya, kagak, biasanya kalian nongkrong di kantin, atau didepan kelas,"
"Kagak dah Mang, nongkrong dikantin kudu banyak duid. Dompet kita lagi kanker," ujar Satria sambil memasang wajah perihatinnya.
"Bethol!" Gibran menyetujui ucapan Satria.
"Ngomong-ngomong liat si Kenzo kagak Mang?" lanjut Gibran bertanya.
"Kenzo?" beo Mang Hasan, dari mimik wajahnya pria paruh baya itu terlihat tengah berpikir. "Yang cekep, wajahnya imut-imut gitu--"
Seketika Satria menirukan orang yang tengah muntah mendengar apa yang Mang Hasan ucapkan. Sementara Gibran tersedak minumannya sendiri mendengarnya.
"Hueekk! Imut katanya, imut-imut minta ditabok!" sahut Satria memotong ucapan Mang Hasan. Sambil bergidik ngeri.
"Imut macam bagong kali ye. Masih gantengan sayalah Mang, dia mah masih dibawah sayah!" timbrung Gibran menaik-turunkan kedua alisnya.
"Wey! Ketauan lu pada ngejelek-jelekin gue!" celetuk Kenzo menoyor kepala keduanya dari belakang mendengan apa yang tengah diobrolkan. "Sirik aja lu berdua, emang bener dah gue paling imut, ganteng lagih."
"Orangtua kagak akan bo'ong, ye!" sambung Kenzo, dan menghempaskan bokongnya diantara Gibran dan Satria.
"Njir, mana dah gorengan gua, kok tinggal sebiji!" sewot Kenzo sambil mengangkat wadah gorengan itu.
Kenzo menatap sinis kedua temannya itu.
Satria yang ditatap oleh Kenzo seperti itu, refleks mengangkat kedua tangannya. Tak lupa gelengan kepala di lakukan.
"Sumpah dah, bukan gua! Noh, si Supri," belanya sambil menunjuk pada Gibran.
"Caelah lu, gue cuman makan sembilan biji," ujar Gibran, "Pelit amat lu!"
Kenzo kembali menoyor kepala Gibran dari samping. "Sembilan biji pala lu peang, gue aja belinya sepuluh. Gak tau malu banget lu jadi temen, nyisain gue satu biji doang!"
"Yaelah lu, entar dah gue ganti," ujar Gibran sambil mengibaskan tangannya. "Kalo inget," sambungnya bergumam.
Kenzo mendengkus kesal mendengarnya, menyimpan kembali plastik gorengan yang tinggal sisa satu biji lagi itu dan berdiri dari duduknya.
"Gue mau ke--wah apaan tuh anjir! Eh, eh--sialan tuh kucing! Gorengan gua!" sewot Kenzo yang baru saja berdiri berjana satu langkah dan berbalik badan, melihat gorengan satu-satunya lagi yang baru saja disimpannya raib di gondol kucing.
Refleks Gibran dan Satria ikut berdiri. Satria membuka sepatunya dan melempar kucing itu. Namun, sama sekali tidak mengenai kucing tersebut yang sudah keburu pergi sambil mambawa gorengan dimulutnya keluar jendela.
"Yah, si doi dah pergi!" gumam Gibran sembari menatap kepergian kucing itu.
••