Di dunia di mana para dewa pernah berjalan di antara manusia, sebuah pedang yang terlupakan bangun, melepaskan kekuatan yang dapat mengubah dunia. Seorang pemuda, yang ditakdirkan untuk kehebatan, menemukan sebuah rahasia yang akan mengubah nasibnya, tetapi dia harus memilih pihak, pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Cinta dan kesetiaan akan diuji ketika dia menjelajahi dunia sihir, petualangan, dan roman, menghadapi ancaman yang dapat menghancurkan jaringan eksistensi. Warisan Para Dewa menunggu... Apakah kamu akan menjawab seruannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pramsia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Menjelajahi Hutan Sunyi Menuju Takdir
Jian terbangun di hamparan daun kering, tubuhnya masih bergetar sisa kekuatan misterius dari pedang sakral. Aroma tanah basah dan lumut memenuhi indranya, bercampur dengan bau anyir darah serigala yang masih samar, mengingatkannya akan pertarungan dahsyat yang baru saja dilaluinya. Cahaya bintang menembus dedaunan, menciptakan pola perak yang menari di wajahnya. Angin malam berbisik lembut di antara pepohonan, membawa aroma hutan yang lembap dan misterius, aroma yang bercampur dengan aroma bunga liar yang samar dan aroma tanah yang basah. Udara malam terasa dingin menusuk kulitnya, namun di dalam hatinya, ada bara semangat yang membara.
Ia mengangkat pedang, cahaya bulan memantul dari logamnya yang dingin, menunjukkan ukiran bintang di gagang pedang dengan lebih jelas. Ukiran itu tampak seperti peta bintang, sebuah konstelasi yang tidak dikenalnya, namun terasa familiar, seperti kenangan samar dari masa lalu yang terlupakan. Ia mengusap ukiran itu dengan lembut, jari-jarinya merasakan tekstur logam yang dingin dan halus, di beberapa bagian terasa kasar, seperti bekas ukiran yang telah terkikis oleh waktu. "Lebih dari sekadar senjata," gumam Jian, matanya terpaku pada ukiran rumit itu. Ia merasakan getaran halus dari pedang, seolah pedang itu berbisik kepadanya, mengingatkannya pada kekuatan yang baru saja ia gunakan, kekuatan yang terasa asing namun menggairahkan. Kekuatan yang membuatnya mampu melindungi desanya.
Pikirannya melayang, terbayang saat ia pertama kali menemukan pedang itu di gua. Rasa ingin tahunya yang mendalam telah membawanya ke sana, dan kini ia merasakan beban tanggung jawab yang besar. Apakah pedang ini memang ditakdirkan untuknya? Ia mengingat kata-kata misterius yang terukir di pedang, kata-kata yang seakan memanggilnya. Ia harus menemukan seseorang yang bisa menjelaskan semua ini, memahami arti bisikan misterius yang terus mengganggu pikirannya. Ia harus menemukan tujuannya. Ia harus menemukan jati dirinya.
Tiba-tiba, bisikan lembut, seperti desiran angin, menyentuh telinganya. "Carilah Master Agung di Lembah Tersembunyi. Di sanalah kau akan menemukan jalanmu." Jian tersentak. Bisikan itu terasa nyata, seolah-olah datang dari dalam hatinya sendiri, sebuah bisikan yang penuh dengan petunjuk dan harapan. Dengan tekad baru, ia memutuskan untuk mengikuti petunjuk itu. Ia harus menemukan Lembah Tersembunyi. Ia harus menemukan Master Agung. Ia harus menemukan jalannya.
Perjalanan Jian dimulai. Hutan yang gelap dan sunyi menelan langkahnya. Ia berjalan di bawah naungan pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, bayangan-bayangan aneh menari di sekelilingnya, membuat suasana semakin mencekam. Suara malam menggema, kicauan burung hantu yang menyeramkan, gesekan ranting-ranting yang beradu, dan derit-derit misterius yang seakan berasal dari dalam tanah. Bau tanah lembap dan aroma bunga liar yang samar bercampur dengan aroma tajam dari tumbuhan beracun yang merayap di antara akar pohon-pohon raksasa. Ia harus berhati-hati. Ia harus waspada. Ia harus bertahan.
Setiap langkahnya terasa berat; ketakutan dan kegelisahan bercampur aduk. Namun, di dalam hati, ia merasa ada dorongan kuat yang membimbingnya, seolah-olah alam semesta mendukung perjalanannya. Jian berusaha mengingat ajaran orang tuanya tentang berani menghadapi ketakutan. "Ketakutan adalah bagian dari perjalanan," bisiknya pada diri sendiri, "Kau harus berani melangkah." Ia mengingat wajah Nenek Lia, wajah yang penuh dengan rasa syukur saat ia berhasil menyelamatkannya dari serigala. Ia harus melanjutkan perjalanannya. Ia harus menemukan jawabannya.
Setelah berjam-jam berjalan, Jian akhirnya tiba di tepi sungai yang deras. Airnya yang dingin menggigit kulit telanjangnya, tetapi ia tidak peduli. Ia harus menyeberang. Dengan hati-hati, ia melangkah ke atas jembatan tua yang terbuat dari kayu lapuk. Setiap derit kayu di bawah kakinya seakan memperingatkan akan bahaya yang mengintai. Ia merasakan getaran dari pedang di pinggangnya, seolah pedang itu memberinya kekuatan. Ia menahan napas, berdoa agar jembatan itu kuat dan tidak runtuh. Ia harus menyeberangi sungai ini. Ia harus melanjutkan perjalanannya.
Setelah berhasil menyeberang, Jian melanjutkan perjalanan ke dalam hutan yang semakin lebat. Ia merasakan getaran energi dari pedang sakral yang tersimpan di pinggangnya, seolah-olah pedang itu memberikan dorongan semangat. Ia melihat jejak-jejak hewan di tanah, jejak yang menunjukkan bahwa hutan ini dihuni oleh berbagai makhluk hidup. Ia harus berhati-hati. Ia harus waspada. Ia harus bertahan. Akhirnya, setelah melewati berbagai rintangan, ia mencapai puncak bukit. Di hadapannya, Lembah Tersembunyi terbentang luas, jauh lebih megah dari yang ia bayangkan.
(Lanjutkan ke Chapter 3!)