Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sadar posisi
Sakit? Iya. Tapi aku sendiri tidak tahu alasannya kenapa. Dari kecil aku tahu jika aku bukan anak kandung mama Lusy dan Papa Adnan, tidak diakui oleh Alan pun sudah menjadi makanan setiap hari. Bukan lagi hal yang biasa.
Tapi ... ada hal yang tidak aku mengerti untuk yang satu ini. Aku merasa dunia sedang melihatku, dan mengasihaniku. Benci rasanya.
Beberapa kali Bryan membuatku terhibur, tapi tubuhku tidak merespon apapun. Otak ini seolah memberi perintah agar aku tetap diam dan tidak melakukan apapun.
"Ara, tunggu." Bryan menahan tanganku saat hendak turun dari mobil di halaman rumah.
"Abang sayang sama kamu, kamu tau itu kan? Jadi, apapun yang orang katakan, apapun yang terjadi sama Abang atau kamu, Abang sayang sama kamu dan kamu tetap adik Abang. Ngerti?"
"Iya, Bang. Ara ngerti, kok. Bahkan Ara bersyukur karena Abang sangat sayang dan peduli sama Ara. Banyak kok di luaran sana yang sedarah tapi tidak saling menyayangi. Bukankah Ara harusnya bersyukur memiliki kalian? Mama, papa, dan juga Abang."
"Alan juga sayang sama kamu, hanya saja dia punya cara sendiri untuk menyampaikan nya."
"Tapi cara dia menyayangi Ara, itu membuat Ara terluka."
Bryan terdiam.
"Ara turun, ya."
Bryan melepaskan genggaman tangannya. Ingin rasanya aku menangis tapi selalu tidak bisa. Air mataku seolah mengering karena habis terkuras di masa kecil dulu. Di mana saat Alan dengan jelas dan tegas menunjukkan bahwa dia sangat membenci kehadiran ku di rumah ini.
"Ra, Ara." nenek datang menghampiri dengan jalan cepat.
"Apa? Kenapa nenek keliatan kaget gitu sih liat Ara."
"Kamu, iya kamu. Kamu kenapa belanja banyak sekali? Nenek sudah pernah bilang jangan boros. Jangan menyia-nyiakan kasih sayang ibu dan bapak sama kamu."
"Belanja apa sih, Nek? Ara gak ngerti deh."
"Sini." Nenek yang sudah tidak semudah dulu menarik tanganku menuju kamar.
Etdah kenapa harus ditarik segala coba. Toh aku kan emang mau ke kamar.
"Itu lihat. Itu semua isinya baju dan aksesoris kamu. Nenek udah cek tadi."
"Ih, kapan Ara beli itu? Ara nggak--"
Ah, benar. Itu belanjaan aku dan kak Alan tadi.
"Apa? Kenapa diam? Kamu kan yang beli?'
"Iya, tapi itu kak Alan yang beliin?"
"Nak Alan? Gak mungkin. Kamu jangan bohong sama nenek. Kamu pasti menghabiskan uang yang dikasih pak Adnan bukan? Aduhhhh, ara. Kita itu harus tau diri, Nak. Kita jangan menghabiskan uang pemberian ibu dan bapak hanya untuk hal-hal semacam ini. Nenek sudah sering bilang kan sama kamu."
"Tapi, Nek. Ara gak bohong. Mana mungkin Ara menghabiskan uang pemberian mama dan papa untuk hal-hal yang gak penting kayak gini. Ara seriusan itu kak Alan yang beliin."
"Kamu tuh ya, udah berani bohong sama nenek. Siapa yang ngajarin kamu begini? Pasti kamu salah bergaul sama temen kan? Jawab nenek Ara! Kamu harus inget siapa kamu dan siapa kita di rumah ini."
"Tau!" emosiku meledak.
"Ara tau, Nek. Ara tau siapa Ara di rumah ini. Ara bukan darah daging mereka. Ara hanya orang lain yang kebetulan beruntung di urus sama mereka. Ara harus sadar diri dan Ara harus bisa menitipkan diri. Nenek gak usah ngingetin Ara tiap detik karena Ara sangat sadar. kenapa sih, kenapa hari ini semua orang mengingatkan kedudukan Ara di rumah ini?"
Tangisanku meledak tak terkira. Air mata yang biasanya sangat sulit aku keluarkan kini tumpah ruah. Semua beban yang selama ini menghimpit dada, keluar semua.
"Ara sakit kalau terus diperlakukan seperti ini. Jika memang Ara sudah tidak berguna lagi, biarkan saja Ara pergi. Ara gak apa-apa kok."
"Bukan begitu maksud nenek, Ra."
"Enggak, ini bukan tentang nenek. Nek, nenek ngundurin diri aja dari rumah ini. Ayo kita pulang kampung aja, Nek."
"Ara .... Ada apa sama kamu, nak?" tanya nenek gemetar. Mungkin dia takut dan terkejut dengan apa yang aku lakukan. Seumur hidup, baru kali ini aku meluapkan apa yang selama ini aku rasa.
Aku lelah.
"Ayo kita pulang ke kampung, Nek. Ara gak mau tinggal di rumah ini lagi. Nenek, Ara mohon ayo kita pulang," pintaku sambil memohon dalam keputusan asaan.
Nenek memeluk erat dengan tubuh rentanya yang keriput.
Aku duduk di atas lantai dengan tangisan yang tak kunjung usai. Sementara nenek sibuk menenangkan.
"Ara." Bryan memanggil. Aku tidak peduli.
"Sini, Bi. Biar Ara sama saya saja."
Nenek mengangguk. Wajahnya masih terlihat cemas melihat keadaanku, tapi bagaimana pun juga posisinya di rumah ini tetaplah hanya seorang pembantu yang harus manut pada majikannya. Miris bukan.
"Ayo, jangan begini."
"Nggak! Ara gak mau ikut Abang."
"Ara, sayang. Malu dilihatin yang lainnya."
"Gak malu, kok. Toh nenek Ara juga pembantu di rumah ini. Kenapa harus malu, toh kedudukan Ara sama yang lainnya gak beda."
"Baiklah kalau itu yang Ara mau. Abang ikut duduk saja di sini nemenin Ara."
"Gak perlu."
"Ra, kamu marah ya sama kak Alan? Biar nanti Abang yang bilangin sama dia ya. Nanti Abang marahin kak Alan."
"Bukan. Ara bukan marah sama kak Alan. Hanya saja Ara merasa bahwa dunia ini sangat gak adil ke Ara. Ara lelah diingetin terus tentang posisi Ara di rumah ini."
Bryan berusaha memelukku, tapi aku pun berusaha keras menghindarinya.
"Gak mau, jangan peluk Ara."
"Iya, iya. Abang gak peluk. Tapi Ara bangun jangan duduk di sini. lantainya kotor nanti Ara gatel. Kan dari kecil kulit Ara sensitif."
Mendengar ucapan Bryan, rasa sedihku semakin bertambah. Air mataku kembali bercucuran deras.
"Loh, kenapa nangis lagi? Abang salah ya."
"Ara, ara, Ara benci." ucapku gagap.
"Benci sama Abang?"
"Iya. Kenapa Abang bukan kakak kandung Ara?"
Bryan tersenyum. Lalu memegang wajahku dengan kedua tangannya. Perlahan dia mengusap air mata yang sedari tadi membasahi wajah.
Dia tersenyum dengan bibir yang gemetar. matanya mulai berkaca-kaca.
"Abang kenapa sedih?" tanyaku di sela Isak tangis.
"Sepenting apa sih, Ra, hubungan darah?" ucapnya sambil terus mengusap air mataku. Sementara air matanya pun mulai jatuh.
"Tidak bisakah kita merasa cukup seperti ini saja. Saling menyayangi layaknya sodara meski tanpa ada ikatan darah. Harus sebanyak apalagi Abang membuktikan bahwa Abang sayang sama kamu."
Aku menggelengkan kepala sambil berusaha untuk tidak menangis lebih keras.
"Abang sudah sering bilang sama kamu, abaikan orang lain dan pedulikan mereka yang tulus sama Ara."
"Eum, Ara tau."
"Cukup, ya. Jangan bahas masalah ini lagi. Kamu," dia mencubit hidungku. "adalah adik kecil yang paling Abang sayang di dunia ini. Ngerti?"
Aku mengangguk mantap.
"Peluk Abang." dia melebarkan tangannya. Dan aku segera berhambur dalam dekapannya. Meski dia tidak menjelaskan, aku bisa merasakan ketulusan dan kasih sayang dari Bryan. Hanya saja ...