Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 05
Renjana menarik kopernya dengan langkah berat, melintasi gapura besar yang tertulis "Selamat Datang Di Manarang." Di balik gapura yang kokoh itu, suasana kota kecil yang tenang mulai terasa menyambutnya. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa aroma laut yang menyegarkan. Renjana melirik ke sekitar, melihat sekeliling kota yang tampak sederhana namun hangat. Di ujung jalan, dia melihat seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan perlahan. Wanita itu tampak begitu berbeda dari penduduk lain di sekitar sini—beretnis Tionghoa, dengan kulit yang masih tampak segar meski usianya sudah lebih dari 60 tahun.
Wanita itu mengenakan pakaian yang sederhana, namun ada sesuatu dalam cara dia berjalan yang memancarkan energi yang luar biasa, tetapi dengan sikapnya yang tegap dan wajahnya yang cerah, dia tampak jauh lebih muda dari usia aslinya. Renjana, yang sedang melangkah dengan langkah-langkah ragu, tak bisa menahan rasa kagumnya pada wanita tersebut.
Renjana, yang merasa ada sesuatu yang mengundangnya untuk mendekat, mempercepat langkahnya dan akhirnya menghampiri wanita tersebut. Kini, setelah berada lebih dekat, ia bisa melihat lebih jelas sosok wanita paruh baya yang ternyata bernama Nek Ayun. Meskipun wajahnya ramah, ada aura misterius yang mengelilinginya, seakan dia sudah cukup lama hidup dan mengalami segala sesuatu dengan tenang, tanpa banyak bicara.
Renjana memperhatikan dengan seksama penampilan Nek Ayun. Wanita itu tidak tampak seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak biru putih yang sedikit lusuh, celana kain hitam yang sederhana, dan sepatu boots hijau yang sudah usang. Tas pinggang hitam yang dikenakannya menambah kesan praktis dan sederhana. Namun, yang paling mencolok adalah topi krem yang sudah kusam dan sedikit kotor. Topi itu terlihat seperti teman setia yang selalu dikenakannya dalam setiap aktivitas. Nek Ayun sendiri adalah salah satu keluarga dari Sulastri, sebelum berangkat temannya itu meminta tolong untuk menjaga Renjana selama di kota Manarang.
Renjana juga mencium bau khas laut yang samar-samar tercium dari pakaian dan tubuh Nek Ayun. Bau itu tidak mengganggu, malah terasa alami dan menyatu dengan suasana pantai yang ada di sekitar mereka. Renjana menduga bahwa wanita ini mungkin bekerja di pasar ikan terbesar yang ada di Manarang—tempat yang penuh dengan aroma laut, ikan, dan kehidupan yang keras. Segala yang dipakai Nek Ayun, dari kemeja hingga sepatu boots, sepertinya mencerminkan pekerjaan yang keras, yang berhubungan langsung dengan alam dan laut.
"Saya Renjana, apa Nenek bekerja di pasar ikan?" tanya Renjana akhirnya, meskipun dia merasa sedikit ragu. Wanita itu tidak terlihat seperti orang yang banyak berbicara, tapi Renjana merasa dorongan untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya, tentang kehidupan yang mungkin telah dilaluinya.
Nek Ayun berhenti sejenak, menoleh ke Renjana dengan mata yang tajam namun penuh kehangatan. Senyum kecil terbit di wajahnya, seolah-olah wanita ini sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu. "Iya," jawab Nek Ayun singkat, "Saya memang bekerja di pasar ikan. Setiap pagi, saya mengurus ikan yang baru datang dari nelayan. Tempat itu selalu ramai, tak pernah sepi. Tapi saya suka bekerja di sana. Laut itu punya cara yang aneh untuk menenangkan hati, meskipun keras." Renjana mengangguk, merasa seperti bisa memahami sedikit banyak apa yang dimaksud oleh Nek Ayun.
Nek Ayun menatapnya dengan mata yang penuh pemahaman, seolah membaca kegelisahan di wajah Renjana. "Manarang memang bukan tempat yang rumit," ujarnya dengan suara yang penuh kedalaman. "Orang-orang di sini mungkin terlihat sederhana, tapi mereka tahu bagaimana menjaga diri. Jika kamu ingin merasa diterima, kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri. Jangan takut untuk mencari tahu apa yang kamu butuhkan, dan apa yang bisa kamu berikan."
Renjana terdiam sejenak, meresapi kata-kata Nek Ayun. Dengan sedikit lebih tenang, Renjana akhirnya tersenyum. "Terima kasih, Nek Ayun," ucapnya tulus. "Saya akan ingat itu."
Nek Ayun memacu motornya perlahan meninggalkan pelabuhan yang kini mulai sepi. Matahari yang perlahan tenggelam di balik cakrawala, memberi nuansa keemasan pada langit yang luas. Renjana duduk di kursi belakang motor, dengan kedua koper besar yang terangkat ke dalam gerobak di belakangnya. Koper-koper itu tampak sedikit berat, namun dengan kesederhanaan dan keteguhan wanita paruh baya itu, Renjana merasa sedikit lebih tenang.
Nek Ayun mengendarai motor gerobak dengan sigap, mengendalikan kendaraan yang agak besar itu dengan tangan yang terampil. Meskipun motornya terlihat sederhana, Renjana dapat merasakan kestabilan yang ditunjukkan oleh Nek Ayun, yang sepertinya sudah sangat familiar dengan jalanan kota Manarang. Suara deru mesin motor terdengar meskipun pelabuhan sudah jauh di belakang mereka, dan hanya angin laut yang sejuk menyertai perjalanan mereka
Renjana memperhatikan dengan seksama setiap detil yang ada di sekelilingnya, saat motor gerobak yang dinaikinya terus melaju melewati jalanan yang semakin sunyi. Mereka pertama-tama melewati deretan bangunan tua yang tampak seperti pertokoan, dengan fasad yang sudah mulai pudar dimakan waktu. Beberapa toko tampak tutup, namun ada pula yang masih terbuka dengan lampu neon yang redup. Pemandangan ini memberi kesan bahwa kota ini memang sederhana, jauh dari gemerlap kehidupan kota besar yang pernah dia tinggalkan.
Motor bergerak semakin pelan ketika mereka memasuki lingkungan perumahan. Rumah-rumah di sini terbuat dari berbagai bahan—ada yang terbuat dari kayu, dengan dinding yang tampak sudah usang, ada pula yang terbuat dari batu, lebih kokoh dan tampak lebih baru. Masing-masing rumah memiliki halaman yang cukup luas, dengan pohon kelapa menjulang tinggi, daunnya yang rimbun melambai diterpa angin. Suasana yang hangat dan damai menyelimuti lingkungan tersebut, kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di kota besar.
Renjana merasa sedikit terkejut melihat betapa banyak rumah besar yang mereka lewati, dengan halaman-halaman yang luas. Di beberapa halaman rumah, tampak hamparan ikan yang sedang dijemur di bawah sinar matahari yang mulai memudar. Ikan-ikan itu tersebar di atas tikar, siap untuk dijadikan makanan atau mungkin dijual di pasar. Bau khas ikan yang mengering di udara membuat suasana semakin terasa hidup, meskipun sederhana.
Motor gerobak terus melaju, dan mereka melewati sebuah lapangan sepak bola yang terlihat tak terawat. Lapangan itu tidak berumput, hanya beralaskan tanah yang keras, namun tampaknya masih sering digunakan oleh anak-anak di sekitar sana. Renjana melihat beberapa anak kecil sedang bermain layang-layang dengan riang, berlari di tanah lapang, wajah mereka ceria meski dengan alat seadanya. Layang-layang yang mereka terbangkan melayang tinggi di angkasa, menciptakan pemandangan yang penuh warna di langit sore.
Motor gerobak berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang tampak cukup tua, dengan cat dinding yang sudah mengelupas sebagian, memberikan kesan bahwa rumah ini sudah lama berdiri. Meski begitu, ada sesuatu yang hangat dan akrab pada rumah itu—meskipun sudah banyak waktu yang berlalu, rumah ini masih berdiri teguh. Renjana menuruni motor dan mengikutinya menuju bangunan kecil yang terletak di samping rumah utama, yang ukurannya mungkin hanya seperempat dari luas rumah utama itu.
Nek Ayun membuka pintu bangunan samping dengan tangan yang terampil dan tanpa banyak bicara. Di dalam, Renjana melihat sebuah ruang yang sangat berbeda dari yang ia bayangkan. Ruangan itu cukup besar, lebih besar dari yang ia kira, dan sangat bersih—tidak ada debu atau kekacauan yang terlihat. Ada lemari kayu besar yang terletak di sudut ruangan, dengan rak-rak kayu yang penuh dengan barang-barang sederhana. Di sebelahnya, ada sebuah kasur yang sudah dipakaikan seprei bersih berwarna putih, terletak dengan rapi di atas lantai kayu yang terawat. Di dekat jendela, ada sebuah meja kecil dengan dua kursi di sekitarnya, tampaknya sebuah tempat yang nyaman untuk duduk dan menikmati secangkir teh atau sekadar membaca.
Suasana di ruangan itu tenang dan sederhana. Pencahayaan alami yang masuk dari jendela memberikan kesan hangat, meskipun sinar matahari sore yang sudah mulai meredup. Tidak ada banyak dekorasi, hanya beberapa barang yang terletak dengan tertata rapi, memberikan kesan bahwa ruangan ini memang didesain untuk menjadi tempat yang fungsional dan nyaman.
"Ini dulu kamar anak saya," kata Nek Ayun dengan suara lembut, namun ada sedikit nada nostalgia di dalamnya. "Sekarang dia sudah pindah ke Kota Besar. Rumah ini sudah tidak digunakan, jadi saya pikir kamu bisa tidur di sini. Semoga kamu merasa nyaman."
Renjana mengangguk pelan, merasakan sebuah perasaan hangat yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Terkadang, sebuah tempat yang sederhana bisa memberi kenyamanan yang lebih besar daripada yang dibayangkan. Kamar ini bukan hanya sekadar tempat tidur—tetapi tempat yang memberi ruang bagi seseorang untuk beristirahat dan merenung, untuk memulai lagi.
Renjana mendekati kasur yang sudah dipakaikan seprei itu, merasakan kelembutan dari bahan kasur yang terbuat dari bahan sederhana namun nyaman. Tak ada perasaan terpaksa, meskipun ruangan ini sangat jauh dari kemewahan, namun ada sesuatu yang begitu menenangkan dalam kesederhanaannya.
"Terima kasih, Nek," ucap Renjana, suaranya rendah namun penuh rasa terima kasih. "Saya merasa sangat diterima di sini."
Nek Ayun mengangguk pelan dan tersenyum, tidak perlu banyak kata untuk mengungkapkan rasa penghargaan. Dia melihat ke arah jendela sejenak, lalu menoleh kembali pada Renjana. "Tidak perlu berterima kasih," ujarnya dengan tenang. "Jika perlu sesuatu bilang saja, jangan sungkan."
Renjana merasa lega, meski masih banyak ketidakpastian dalam hidupnya, namun di sini, di ruangan yang sederhana ini, dia merasa seolah-olah ada harapan baru yang bisa tumbuh.