Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 AISYAH SERING KELUAR
Setelah Seminggu lebih Aisyah tidak pulang ke rumah dan tidak memberi kabar kepadku. Akhirnya dia sampai. Aku begitu senang sekaligis lega. Ternyata mereka baik-baik saja.
Aku merasa lega sekaligus sedikit canggung. Sudah tiga hari dia pergi tanpa kabar, dan sekarang dia kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Aku berdiri dari sofa, berusaha menyambut mereka. "Aisyah, kamu dari mana saja? Aku khawatir," ucapku, mencoba terdengar wajar.
Aisyah hanya menatapku sekilas sebelum melepas sepatunya dan membantu anak-anak masuk. "Aku baik-baik saja, kan? Anak-anak juga." Nada suaranya datar, tanpa emosi.
Safira melewatiku begitu saja dan langsung masuk ke kamarnya, sementara adiknya mengikuti di belakangnya. Aku mengalihkan pandangan kembali ke Aisyah yang kini berjalan menuju dapur, tampaknya hendak mengambil minum.
Aku mengikuti langkahnya, masih penasaran. "Kenapa kamu nggak kasih kabar? Aku coba hubungi kamu berkali-kali."
Aisyah meletakkan gelasnya di meja sebelum menatapku, tatapannya dingin dan tajam. "Sejak kapan aku wajib kasih kabar ke kamu? Bukannya kamu sudah punya Laras untuk diurus?"
Aku terdiam, tidak bisa langsung menjawab. Aku tahu dia masih marah, dan mungkin kepergiannya kemarin adalah bentuk protesnya.
Setelah meneguk minumnya, Aisyah melanjutkan, "Aku cuma pulang karena anak-anak. Aku nggak ingin mereka merasa kehilangan tempat tinggal, tapi jangan salah paham. Aku tetap akan pergi setelah masa iddahku selesai."
Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang kuduga. Jadi, meskipun dia kembali, hatinya tetap sudah pergi jauh dariku. Aku hanya bisa menatapnya tanpa tahu harus berkata apa.
Mencoba meredam perasaan yang berkecamuk di dalam dada. "Aisyah, aku cuma ingin tahu kamu dan anak-anak baik-baik saja. Aku bukannya..."
Belum selesai aku bicara, Aisyah sudah menyela, "Aku nggak butuh perhatianmu lagi. Kamu sudah memilih hidupmu sendiri, jadi jangan pura-pura peduli."
Aku meremas jemariku, merasa tertampar oleh kata-katanya. "Aku tetap ayah dari anak-anak kita, Aisyah. Aku nggak bisa diam saja kalau kalian tiba-tiba menghilang tanpa kabar."
Dia terkekeh kecil, namun tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. "Lucu. Dulu saat aku masih ada di sisimu, kamu nggak pernah takut kehilangan aku. Tapi sekarang, ketika aku sudah nggak peduli, kamu baru merasa khawatir?"
Aku terdiam. Aku tahu aku telah banyak salah, tapi aku juga tidak ingin semuanya berakhir seperti ini.
Aisyah menghela napas panjang. "Aku lelah. Aku pulang bukan untuk bertengkar denganmu. Aku hanya ingin memastikan anak-anak tidur dengan tenang di tempat yang sudah mereka kenal."
Aku menelan ludah, merasa ada jarak yang semakin jauh di antara kami. "Aisyah..."
Namun dia sudah berlalu, meninggalkanku berdiri sendirian di dapur, tenggelam dalam kebisuan dan penyesalan yang semakin dalam.
...****************...
Semenjak kejadian itu, hampir setiap hari Aisyah selalu keluar rumah setiap kali aku bertanya dia selalu mengatakan. Aku tidak perlu ikut campur.
Aku mulai merasa ada yang berbeda dengan Aisyah. Setiap hari dia pergi entah ke mana, dan setiap kali aku bertanya, jawabannya selalu sama, "Kamu nggak perlu ikut campur."
Aku mencoba bersabar, tapi rasa penasaran terus mengusik pikiranku. Aku bukan siapa-siapa lagi baginya, aku tahu itu, tapi tetap saja… aku adalah ayah dari anak-anak kami. Aku masih ingin tahu dia dan anak-anak baik-baik saja.
Suatu sore, aku melihatnya bersiap-siap keluar lagi. Kali ini aku berdiri di depan pintu, menghalangi jalannya.
"Aisyah, aku cuma mau tahu kamu ke mana setiap hari?" tanyaku dengan suara lebih lembut dari biasanya.
Dia menatapku tajam, lalu tersenyum sinis. "Kenapa? Takut aku menemukan hidup yang lebih baik tanpamu?"
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Aisyah mengambil tasnya dan berjalan melewatiku begitu saja, meninggalkanku dalam kebingungan dan perasaan yang entah bagaimana terasa begitu menyakitkan.
Bahkan jika aku perhatikan wajah Aisyah, ia terlihat sangat pucat dan juga lesu. Apakah Aisyah sakit?
Aku ingin bertanya, tapi melihat sikapnya yang dingin akhir-akhir ini, aku ragu dia akan menjawab dengan jujur. Namun, aku tidak bisa diam saja.
"Aisyah…" panggilku pelan sebelum dia sempat melangkah lebih jauh.
Dia berhenti, tapi tidak langsung menoleh. "Apa lagi?" tanyanya tanpa emosi.
"Kamu sakit?" tanyaku akhirnya.
Aisyah tertawa kecil, tapi terdengar hambar. "Sakit atau nggak, itu bukan urusanmu lagi, kan?"
Jawabannya menusukku. Aku menghela napas, mencoba mengendalikan rasa kesal dan khawatir yang bercampur jadi satu. "Aku cuma tanya… Kamu kelihatan pucat."
Aisyah akhirnya menoleh, matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit aku baca. "Aku baik-baik saja. Jangan pura-pura peduli."
Setelah mengatakan itu, dia pun pergi, meninggalkanku dengan segudang pertanyaan yang tidak terjawab.
...****************...
Saat aku hendak merebahkan diri di tempat tidur, Laras tiba-tiba berbicara dengan nada yang terdengar tidak senang.
"Mas, kenapa sih akhir-akhir ini kayak selalu memperhatikan Aisyah?" tanyanya sambil menatapku tajam.
Aku menghela napas, sudah bisa menebak arah pembicaraannya. "Aku cuma khawatir. Dia sering keluar rumah, wajahnya juga kelihatan pucat. Wajar kalau aku tanya."
Laras mendengus, lalu duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. "Mas sadar nggak sih? Mas udah bukan suaminya lagi. Kenapa masih repot-repot peduli? Aku ini istri mas sekarang, tapi kenapa rasanya mas lebih perhatian sama dia daripada sama aku?"
Aku mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Laras, aku cuma bertanya. Itu aja."
"Iya, bertanya! Tapi kenapa harus dia? Mas tahu kan aku nggak suka?" Laras makin kesal. "Aku ini istrinya sekarang, Mas! Harusnya perhatian Mas ke aku, bukan ke perempuan yang udah minta cerai!"
Aku mengusap wajahku, mulai lelah dengan pembicaraan ini. "Laras, aku nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma…"
"Cuma apa? Peduli? Kalau gitu kenapa kita nikah? Kenapa Mas bawa aku ke rumah ini?"
Aku terdiam. Laras menatapku dengan kecewa.
"Aku nggak mau setiap hari harus bersaing sama bayangan masa lalu Mas," katanya lirih. "Kalau Mas masih belum bisa lepas dari Aisyah, lebih baik kita bicarakan semuanya sekarang."
Aku menatap Laras, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa langsung menjawabnya.
"Laras," aku akhirnya menghela napas, mencoba berbicara pelan. "Aku tahu ini semua sulit. Tapi aku juga butuh waktu untuk menyelesaikan masalah ini, masalah yang berhubungan dengan Aisyah. Itu nggak berarti aku nggak peduli sama kamu."
Laras menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Tapi, Mas... apakah kamu sadar kalau kamu sering banget bilang itu tapi aku nggak merasakannya? Aku merasa selalu nomor dua di sini." Suaranya bergetar.
Aku meraih tangannya, berusaha memberi pengertian. "Aku minta maaf kalau kamu merasa seperti itu. Aku nggak pernah berniat untuk membuatmu merasa terabaikan. Aku hanya... kadang aku terlalu banyak memikirkan masa lalu, dan itu membuatku bingung."
Laras menarik tangannya, berbalik menghadap dinding. "Mas, aku nggak bisa terus begini. Aku nggak bisa terus-terusan menunggu dan merasa seperti ini. Kalau kamu masih terlalu peduli dengan Aisyah, kita harus bicarakan serius. Apa hubungan kita ini sudah bisa berjalan atau tidak."
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang