NovelToon NovelToon
Alone Together

Alone Together

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horror Thriller-Horror / Teen School/College / Romansa
Popularitas:318
Nilai: 5
Nama Author: Mara Rainey

Tujuh murid Seoryeong Academy terpaksa menjalani detention di hari libur setelah membuat onar di sekolah. Park Jiha, si cewek populer yang semua orang iri. Kim Taera, cewek beprestasi yang sempat jadi primadona namun berakhir difitnah dan dikucilkan. Jeon Junseok, murid bandel kesayangan Guru BK. Kim Haekyung, atlet kebanggaan yang selalu terlihat ceria. Min Yoohan, tukang tidur yang nyaris tidak pernah peduli. Serta Kim Namgil & Park Sojin, Ketua Kelas dan murid teladan yang diam-diam suka bolos demi mojok (pacaran).

Mereka mengira hanya perlu duduk diam beberapa jam, menunggu hukuman selesai. Tapi semua berubah saat seseorang mengunci mereka di gedung sekolah yang sepi.

Pintu dan jendela tak bisa dibuka. Cahaya mati. Telepon tak berfungsi. Dan kemudian… sesuatu mulai mengawasi mereka dari bayang-bayang. Tujuh bocah berisik terpaksa bekerja sama mencari jalan keluar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mara Rainey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15 : Echoes of the Damned

                                                                                  ~Happy Reading~

Langkah sepatu tiga manusia berdebam di tangga, suaranya bergemuruh di tangga kosong. Lorong-lorong membentang seperti terowongan-terowongan gelap yang panjang.

Mereka berjalan menyusuri lorong. Suara percakapan mereka terdengar bergaung di koridor.

Melewati ruang guru yang sepi. Lab komputer yang sepi. Ruangan-ruangan kelas yang sepi.

Yoohan berhenti di pintu berikutnya dan menjulurkan kepala ke dalam ruangan, mengintip. Itu semacam ruangan penyimpanan. Kardus-kardus lama ditumpuk di satu dinding.

Tak ada seorang pun di dalam sini.

Yoohan memeriksa ruangan di sebelah pintu gudang tadi. Di sini juga tak ada orang.

Malah banyak patung. Patung manusia. Setidaknya dua lusin.

Mereka memakai pakaian model kuno dan lucu, mirip kostum pemeran di film-film jadul. Yang lelaki memakai jaket formal dan dasi. Yang perempuan semuanya memakai jaket yang punya bantalan bahu yang lebar. Rok mereka sampai ke pergelangan kaki.

Ini ruang penyimpanan anak-anak teater. Kostum-kostum ini pasti bagian dari project anak teater. Yoohan tidak kepingin tahu, yang jelas ini pasti properti kostum milik mereka.

Yoohan melangkah masuk, mengamati lebih dekat.

Patung-patung itu tampak begitu nyata, begitu hidup. Mata-mata kaca mereka berkilau. Mulut-mulut merah mereka dibuat kasar, tak tersenyum.

Yoohan mengusapkan jari di atas salah satu matanya. Terbuat dari semacam kaca atau plastik. Dia menarik-narik bagian belakang rambut cokelat gelap si patung. Rambut itu mulai meluncur turun. Rambut palsu tentu saja.

Di sampingnya berdiri patung gadis tinggi langsing bersweater putih, memakai rok hitam panjang lurus sampai di pergelangan kaki. Yoohan menatap lurus-lurus mata hitam mengkilapnya.

Gadis patung itu seolah-olah melotot balik.

"Yoohan!" panggil Namgil.

Cowok itu bergegas keluar. "Ada apa?"

Tidak butuh jawaban, karena jawaban yang dia butuhkan tiba-tiba melintas dalam bentuk sekelebat cahaya, melesat cepat, terbang melewati koridor di depan mereka, menuju ke ruangan luas dari titik mereka memulai perjalanan tadi.

Titik dimana pertama kali pria aneh bermantel panjang itu menampakkan diri dan meneror mereka. Bola-bola cahaya itu menuju ke sana.

Sojin terlonjak dan nyaris memekik kalau saja Namgil tidak membekap mulutnya. Bola-bola cahaya yang lebih banyak melesat lagi dan lagi.

Napas Sojin memburu, menatap nyalang ke depan sana. Yoohan tercengang, nyaris merosot di lantai. Namgil merasakan jantungnya berdebar begitu kencang sampai-sampai dia takut debarannya terdengar oleh makhluk apa pun yang mendiami tempat ini.

Setelah beberapa lama, Yoohan berbisik. "Ayo kita ikuti."

Sojin melotot. "Serius? Aku nggak mau! Gimana kalau yang tadi ternyata arwah-arwah jahat?"

"Buktinya mereka hanya melewati kita," ucap Yoohan. "Bagaimana kau tega menuduh mereka jahat kalau yang mereka lakukan cuma numpang lewat di depanmu?"

Sojin menggeleng-geleng. Air matanya mulai mengucur, dia mengusap wajahnya dengan lengan jaketnya yang kotor. "Kita akan mati di sini..."

"Kita tidak akan mati di sini, sayang," bisik Namgil sambil melingkarkan lengan pada bahu kekasihnya, menariknya lebih rapat. "Aku janji."

Cuek bebek Yoohan jalan duluan. Dia ogah jadi obat nyamuk para pasangan dimabuk cinta.

"Maaf ya..." bisik Sojin. Isakannya mulai mereda. "Aku... aku nggak tahu kenapa aku jadi payah begini..."

"Nggak kok, kau nggak payah." Namgil merangkul dan memeluk Sojin. "Sebaiknya kita bergerak sekarang."

Sojin mengangguk. Napasnya yang nyaris berhenti kembali normal. Jantungnya juga kembali berdetak normal. Setelah dirasa agak tenang, barulah dia membuka mulut.

"Perpustakaan tempat kita dihukum. Entah kenapa aku punya firasat cahaya-cahaya aneh beterbangan tadi ingin menunjukkan sesuatu."

Namgil mengangguk setuju. "Aku juga."

Sojin celingukan. "Ngomong-ngomong Yoohan kemana?"

"Haaaaai!" Cowok itu melambaikan tangan dari balik tembok. "Aku di sini! Bisa lebih cepat sedikit? Lelet kalian!" dumel Yoohan.

Mereka akhirnya mengikuti sekelebat cahaya terang menyerupai kunang-kunang itu, yang seakan menuntun mereka. Menunjukkan jalan kembali ke perpustakaan. Melewati rak-rak buku tinggi dan kondisi perpustakaan yang terlihat lebih suram. Namun cahaya itu ternyata menuntun mereka ke bagian paling belakang perpustakaan, jalan buntu dimana hanya terdapat rak buku tinggi berdiri menutupi tembok. Buku-buku ini adalah buku-buku yang paling tidak akan pernah dilirik siapa-siapa.

Yoohan mendongak memandangi rak buku di hadapannya. "Ini sih jalan buntu."

"Sudah dua kali aku diarahkan ke sini." Namgil bergumam sambil mengusap dagunya, keningnya berkerut, tanda otaknya sedang berputar keras. "Kita bongkar dulu rak buku ini, barangkali dapat petunjuk atau sesuatu."

Dua tiga menit mereka bongkar-bongkar buku, Sojin masih juga belum paham mereka ngapain.

"Ehmm... guys, maaf kalau aku terkesan bodoh karena bertanya, tapi serius nih, aku masih tidak paham kita sebenarnya mencari apa?" Dia melempar satu buku kuno ke belakang punggung. "Semua ini cuma buku-buku pelajaran tua. Tidak ada yang aneh!"

"Aku juga tidak paham. Semua buku sudah kuperiksa, tapi semuanya hanya tampak seperti..." Yoohan membolak-balik lembaran demi lembar di tangannya. "...buku."

Namgil menghela napas lelah. Dia capek. Sumpah! Mana Jiha masih menghilang.

Saat itulah matanya melihat sesuatu terhimpit di belakang rak buku. Bukan... itu jelas-jelas bukan tembok biasa yang datar. Itu...

"Pintu?" Yoohan ternyata melihatnya. "Kenapa ada pintu di belakang sini?"

Namgil terpana mengamati ukiran pintu kayu itu. Jangan-jangan mereka diarahkan pada pintu tersembunyi itu? Bukan deretan buku-buku usang ini sumber masalahnya!

Sojin bangkit berdiri. "Mana?" Dia mengintip di antara celah dua buku, benar saja, sekitar sepuluh sentimeter jarak antara rak buku ke tembok bata di belakang sana, Sojin melihat pintu kayu.

"Wah... ada pintu rahasia segala?" Yoohan berdecak-decak. "Aku mulai merasa sekolah ini mirip istana Count Dracula."

"Yoohan, bantu aku dorong." Namgil memegangi pinggiran rak buku, ambil ancang-ancang memindahkan rak itu. Yoohan berdiri di sisi satunya. Pelan-pelan dan dengan segenap tenaga mereka sama-sama mendorongnya ke depan.

"Ukh tebal banget debunya..." Sojin terbatuk-batuk, mengibas-ngibaskan tangan menghirup polusi udara yang menguar dari debu-debu yang berjatuhan dari rak buku.

Setelah dirasa cukup, mereka melangkah di antara celah lebar yang tercipta dari rak buku ke tembok. Yoohan mengamati pintu di depannya. "Siapa kira-kira yang membuat ini kemudian menutupinya?"

Namgil memutar kenop pintu. Pintu itu berayun terbuka.

"Tidak dikunci ternyata," dia kembali mendeteksi keganjilan.

Yoohan mendorong pintu hingga terkuak lebar,derit pintu kayu bergema di ruangan yang gelap.  Yoohan merogoh saku dan mengeluarkan senter miniyang selalu dia bawa. Cahaya kuning bergerak turun menyoroti anak tangga yang berdebu, mulai dari atas sini sampai ke bawah sana. Tangga kayu ini mengarah ke terowongan di bawah tanah.

"Aku mendadak sakit perut." Sojin sudah balik badan, ambil ancang-ancang mau kabur, tapi kerah bajunya keburu ditangkap Yoohan.

"Kita semua harus turun."

"Kita!?" Sojin melotot protes. "Tidak mau! Kau saja sendiri! Byeee~" Sojin menatap Namgil dengan sorot memelas seekor kucing. "Bisakah kita keluar dari sini? Pokoknya aku tidak mau turun ke bawah sana! Di bawah gelap sekalii!"

"Soo?" Yoohan mencibir. "Dasar penakut!"

"Sayang, kita semua harus masuk, kami tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di sini."

Sojin cemberut. "Harus banget ya?"

"Byee!" Yoohan ngeloyor duluan, menuruni tangga tanpa perasaan takut dan ragu. Tangga kayu berderit-derit di bawah kakinya.

Yoohan tidak yakin apa yang dia cari, selain Jiha, tentu saja. Apa tujuan arwah-arwah menujukkan pintu bawah tanah ini? Selain membantu menemukan teman mereka yang hilang, pasti? Lantai di bawahnya berwarna abu-abu dan dindingnya bata merah, Yoohan hanya bisa melihat sejauh itu untuk sementara ini.

Dia mencondongkan leher ke depan dan berteriak. "Jimiiin!"

"Yoohan, jangan terlalu berisik!" Namgil berbisik dari belakang. "Mereka akan mendengarmu!"

"Aku ingin Jiha mendengarku, bukankah itu intinya?"

"Jiha! Bukan seisi gedung. Mereka akan tahu kita mencari dia."

Suara lembut Sojin bergumam. "Yoohan, ayo naik... tidak ada Jiha di bawah sini."

Yoohan mengabaikannya dan melanjutkan empat langkah ke depan sebelum dia menyadari bahwa dua orang itu tidak juga turun mengikutinya. Mereka masih bengong, berdiri di puncak tangga.

Yoohan balik lagi dan mengintip mereka. "Hei! Kalian serius menyuruhku turun sendirian? Gimana sih?" Yoohan berdecak. "Dasar tidak kompak!"

"Kau yakin ini ide yang bagus?" bisik Sojin.

"Kita tidak punya pilihan lain," ucap Yoohan benar-benar habis kesabaran. "Pasti ada yang disembunyikan di bawah sini."

Namgil menggandeng tangan Sojin, pelan-pelan menuntunnya menuruni tangga.

Yoohan menemukan saklar dan menghidupkannya. Bola lampu satu watt tergantung rendah di langit-langit menyala.

"Here we are!" Yoohan merentangkan kedua tangan. "Masih berfungsi. Pertanda ruangan ini masih digunakan."

Mereka dihadapkan pada ruangan berlantai beton dan berdinding bata lebar dengan tiga pintu baja berkarat di masing-masing sisi. Koridor itu tampak sangat mirip penjara di film lama.

Air mengalir di dinding membentuk jalan basah dan menetes ke lantai. Sojin mengernyit jijik menatap sekeliling ruangan. "Bau apa sih?" gumamnya. "Tempat apa ini? Lebih mirip penjara." Sojin bergidik. "Ayo pergi! Tidak ada siapa-siapa di sini."

Namgil berusaha mengabaikan bau busuk di sekelilingnya. Sekarang dihadapkan dengan dilema yang tak terduga. Pikiran untuk membuka salah satu pintu. Tapi sebelum kembali ke atas, tidak ada salahnya kan dicoba?

Namgil bergegas menghampiri pintu pertama di sebelah kanan. Pintu besi itu sudah berkarat.

Namgil membukanya lalu meraba-raba saklar di tembok, lampu satu watt menyala di atas kepala mereka.

Tidak ada ancaman, tidak ada senjata, tidak ada jebakan, tidak ada panah yang diarahkan ke wajah mereka. Hanya sebuah kamar.

Tidak, bukan hanya kamar.

Yoohan dan Namgil memandangi dekorasi kamar itu. Empat sofa merah, dua sofa masih cukup baru, dua lagi sangat tua dengan kain pelapis yang sudah robek. Ada banyak bantal. Permadani menutupi sebagian besar lantai beton. Di tembok terpajang lukisan. Ruangan ini nyaman dalam cara yang eksentrik. Perpaduan aneh antara yang lama dan yang baru, kotor dan bersih.

Ada kompor di ujung ruangan, mengkilap dan bersih seolah-olah itu baru saja digunakan. Jaring laba-laba tebal membentang dari bagian atas cerobong asap ke dinding di sebelahnya. Aneh banget kompor dibersihkan jaring laba-laba dibiarkan.

Mesin jahit, gantungan baju, kursi goyang antik... mesin cuci...

Ruangan itu menambahkan dimensi baru pada pemahaman Namgil tentang Oh Seoyeon dan adiknya.

Masalahnya adalah, dimensi itu tidak jelas dan semakin menarik rasa penasaran Namgil untuk menyelami lebih dan lebih dalam.

Kemudian Namgil melihat sesuatu yang lebih tidak beres lagi. Ada pentagram yang dibuat dari cat merah terpampang di tembok di sebelah kiri. Tulisan yang terbuat dari cat warna hitam melintang di bawah gambar pentagram: Upah dosa adalah maut.

Kata-kata Daehwan memenuhi telinganya: "Kalian para pendosa pantas mati."

Di bawah pentagram terdapat meja kaca, dan di atas meja itu berdiri lilin-lilin hitam. Sepertinya yang tinggal di sini memiliki keyakinan berbeda dari masyarakat kebanyakan...

Yoohan melintasi ruangan, menghampiri pintu di samping pentagram. Menemukan lemari di dekatnya, dia berhenti dulu untuk memeriksa isinya. Ternyata penuh dengan lilin hitam, kain, dan sapu. Tidak ada yang tampak seperti pistol atau apa pun yang bisa digunakan untuk melumpukan orang.

Yoohan membuka pintu di dekatnya. Ternyata ini ruangan lain.

Ternyata ruang bawah tanah ini lebih luas dari kelihatannya.

Yoohan menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan. Beton abu-abu di semua sisi. Jaring laba-laba yang tebal di semua sudut dan sepanjang dinding. Sebuah meja terdampar di tengah ruangan. Tidak ada furnitur lain. Ini lebih membosankan dari yang tadi.

Yoohan melangkah masuk. Tirai panjang berwarna merah membingkai sebuah cermin besar di dinding kiri. Pentagram dengan kata-kata yang sama muncul di dinding seberang. Upah dosa adalah maut. Cuma segitu. Hanya meja, cermin, grafiti.

Yoohan geleng-geleng kepala. "Tempat apa sih ini?"

Yoohan kemudian berpaling menatap cermin. Dia berkedip berkali-kali, mengucek-ngucek matanya, takut salah lihat. Ada yang aneh dari cermin ini.

"Keluarlah, Yoohan! Apa kau dengar aku? Kita harus bergerak!" panggil Sojin.

 "Ada yang salah dengan cermin ini!" jawabnya.

"Siapa peduli? Ayo pergi!"

"Aku tidak punya bayangan!"

Konyolnya klaim Yoohan tersangkut di benak Namgil. Dia masuk ke ruangan itu dan langsung berdiri di sebelah Yoohan, terpana memandangi cermin. Benar! Tidak ada bayangan! Koreksi: bayangan mereka berdua tidak nampak di cermin ini. Padahal meja di belakang mereka terlihat jelas. Begitu juga tembok di sekelilingnya.

"Kita harus pergi," gumam Namgil. Dia merinding menatap cermin ini lama-lama. "Ayo periksa ruangan lain."

"Ini cermin tipuan atau semacamnya. Mereka sengaja dibuat seperti ini untuk mendukung trik sulap," tukas Namgil menambahkan. Mungkin Daehwan dan teman-temannya pernah menjadi bagian dari sirkus atau pertunjukan sulap.

"Tidak, ini bukan cermin tipuan. Aku terlihat seperti vampir di sini, Bung!" Yoohan ketawa. "Ini agak keren tapi menyeramkan."

"Ayo keluar." Namgil menjauh dari cermin.

Yoohan menyusul, sesekali melirik ke belakang, masih penasaran dengan cerminnya.

"Kalian dapat apa di dalam sana?" tanya Sojin menyambut di depan.

"Cermin," sahut Namgil. "Yang tidak memantulkan bayangan manusia."

"Bro, aku sekarang tidak yakin aku ini manusia," ucap Yoohan.

"Jangan bercanda terus!" Namgil kesal. "Kapan kau bisa serius?"

Yoohan menyeringai geli, mengacungkan dua jari.

Sojin lagi-lagi mendongak, menatap suasana di sekitarnya penuh selidik. "Kalau memang ada yang pernah tinggal di bawah sini, seram juga... maksudku, selama ini kita bersekolah di atas kehidupan orang lain. Kita belajar di kelas, mencoba mencerna materi dari para guru, sementara ada orang memasak dan mencuci tepat di bawah kaki kita. Mengawasi kegiatan kita, memata-matai seluruh aktivitas kita."

Namgil bergidik. "Jangan ngomong sembarangan."

"Lho? Apa aku keliru?" Sojin mendelik tidak terima. "Buktinya kita terjebak di gedung ini bersama orang-orang gila! Darimana datangnya mereka?"

.

.

.

Gadis-gadis remaja selalu terlihat sangat lemah ketika mereka tertidur. Sangat tidak berdaya. Kau dapat dengan mudah membunuh mereka, memotong leher mereka atau menusukkan pisau ke dada mereka dengan begitu mereka tidak akan pernah menyadari pelakunya.

Jiha bergerak tidak nyaman di tempat tidur, mulutnya terbuka dan lidahnya menjilat bibirnya, membuatnya basah dan berkilau. Seutas rambut panjang jatuh di pipi kirinya. Jiha mencoba menggerakkan lengan kirinya untuk menepis rambut di pipi, namun rantai membatasi gerakannya. Jiha mengerang pelan dalam tidur. Rambutnya meluncur ke depan, menutupi matanya. Cewek itu menjilat bibirnya lagi. Tenggorokannya kering. Bibirnya juga.

Dia mencoba untuk berpaling, namun lagi-lagi gerakannya terhenti, rantai yang sangat kuat mengikat pergelangan kakinya, menahannya. Rantai-rantai itu bergemerincing saat dia menarik kaki kirinya, kemudian kaki kanannya. Rantai itu tidak tebal, tidak perlu begitu. Tidak perlu banyak tenaga untuk menahan seorang gadis. Pria yang melakukan ini pada Jiha sudah berpengalaman.

Pakaiannya terlihat mahal. Label desainer. Itu adalah salah satu hal yang membuat orang tertarik padanya, cara dia berpakaian. Cara berpakaian dan rambutnya. Rambut panjang yang membisikkan kalimat penggoda bahwa dirinya ingin dibelai, rambut itu memanggil siapa saja untuk mendaratkan jari-jari di sana.

Pria itu duduk di sisi tempat tidur, mengulurkan tangan untuk membelai rambut Jiha. Halus. Rasanya lembut. Kulitnya juga lembut saat disentuh. Kulit gadis muda. Berapa usianya?

Tujuh belas mungkin. Delapan belas. Tentunya tidak lebih tua. Itu yang membuat pria ini tertarik pada Jiha.

Anak gadis.

Tangan pria itu menempel di pipi kiri Jiha, menuju ke bawah dagunya. Jiha menggumam pelan dalam tidur, namun pria itu tidak mengerti apa yang Jiha gumamkan. Dia memiliki suara yang indah, suara yang digunakan sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Suara tegas. Tegas tapi lembut.

Pria itu melirik arlojinya. Pengaruh obat akan hilang dalam beberapa menit. Pria itu telah menggunakannya berkali-kali sehingga dia tahu seberapa efektif obat itu. Dia juga pernah menggunakannya sekali pada dirinya sendiri sehingga dia tahu bagaimana rasanya terbangun dalam keadan bingung selama sepuluh menit.

Tangannya bergerak menjamah bagian depan blus kuning yang Jiha kenakan, dia menyelipkan tangan ke dalam baju Jiha. Merasakan renda bra dan daging lembut. Pria itu menyeringai saat menemukan jackpot yang dia cari, dia menemukan puting. Tiba-tiba didorong keinginan untuk mencubit daging itu, mencubit puting susu itu dan menahan teriakan Jiha dengan mulutnya. Namun pria itu tiba-tiba berubah pikiran, dia mengeluarkan tangannya dari baju Jiha.

Jiha terbatuk dan mencoba menutup mulutnya dengan punggung tangan kanan, sayang ada rantai yang mencegahnya. Kelopak matanya berkedip dan dia menjilat bibirnya sekali lagi. Dia akan haus berat ketika dia terbangun. Selalu begitu.

Pria itu melangkah ke kamar mandi, mengisi cangkir kertas dengan air dingin. Tidak ada kursi di toilet, tidak ada cermin di dinding, tidak ada tirai mandi atau gantungan handuk, tidak ada yang bisa digunakan sebagai senjata. Pria itu telah banyak belajar dari pengalaman.

Pria itu tadinya mengira menempelkan cermin ke dinding bukan masalah, tetapi salah satu dari korbannya pernah memecahkan kaca dan mendatanginya dari belakang sambil menggenggam potongan cermin. Sekarang tidak boleh ada lagi benda-benda "berbahaya" di kamarnya.

Pria itu meletakkan cangkir kertas di lantai keramik, lalu duduk di sisi tempat tidur lagi.

Ada gembok kecil di pergelangan tangan dan pergelangan kaki Jiha, mengikat rantai ke tempat tidur.

Tangan Jiha menarik-narik rantai penahan hingga beradu dengan rangka tempat tidur. Dia mengerang dan kelopak matanya berkedip. Matanya terbuka tapi dia kesulitan fokus, Jiha menggelengkan kepalanya perlahan-lahan, seperti anak kecil yang mengalami mimpi buruk. Dia menggumamkan nama laki-laki yang bisa jadi nama kekasihnya.

Kekasih bocahnya.

Junseok?

Itukah nama sang kekasih?

Lengan kanan Jiha bergerak-gerak, menarik lebih keras kali ini, menggesek kulit pergelangan tangannya, dia membuka mata sepenuhnya dan melihat pria lain duduk di sisi ranjang.

Jiha berteriak, bukan kata-kata yang keluar, hanya teriakan terkejut dan takut seolah-olah dia baru saja berbelok di sebuah gang gelap dan melihat pria itu berdiri di sana dengan pistol di tangan. Jiha menjerit, memberontak seolah berusaha menjauh dari pria itu.

Pria seram itu duduk diam di tepi tempat tidur, mengamati Jiha berteriak, menunggunya selesai.

Pria mengerikan itu tersenyum ketika sorot bengis Jiha mengawasinya. Dia tahu betul usaha gadis ini menjeritkan nada delapan oktaf percuma saja. Kamar ini kedap suara.

.

.

.

Taera mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya pening ampun-ampunan. Sesuatu yang dingin dan basah jatuh diatas keningnya. Taera tercekat. Mengira itu tetesan darah, ternyata cuma air. Air yang begitu dingin. Membuatnya menggigil.

Dimana ini?

Dia terbatuk-batuk sambil mengerang kesakitan. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki bergetar ngilu. Rasanya seperti dihujani ribuan jarum suntik. Taera menoleh ke sisi kanan. Menjerit lalu berguling menjauh setelah melihat penampakan wajah pucat kebiruan dengan dua mata berlubang dan darah kering yang mengalir turun sampai ke pipi.

Dadanya naik turun dengan tempo cepat. Masih tak mempercayai apa yang baru saja dia lihat.

Manusia? Apa yang barusan itu manusia? Manusia mati?!

Taera beringsut mundur, menyeret bokongnya menjauhi si mata berlubang tadi. Menakutkan sekali. Mulutnya menganga lebar dan kedua matanya seperti dicungkil paksa.

Taera mengernyit merasakan tekstur kasar dibawah telapak tangannya. Selain kasar, juga lembab dan berbentuk gundukan-gundukan kecil. Aneh sekali.

Dia melirik kebawah. Rupanya benar. Seluruh permukaan lantai disini terbuat dari batu bata.

Hal pertama yang dia lihat begitu mendongak ke atas adalah...

Tubuh tak bernyawa yang tergantung di tali dalam posisi terbalik. Lehernya patah ke kiri dan sepertinya memang sudah mati sebelum digantung disitu.

Taera bernapas lebih cepat ketimbang biasanya. Urat nadi di lehernya berdenyut-denyut. Aliran darah di seluruh tubuhnya terpompa cepat dari jantung melesat naik ke ubun-ubun. Membuat tubuhnya bergetar dan kepalanya kliyengan pusing sekaligus. Perutnya bergejolak dan matanya melotot ngeri saat melihat pemandangan menjijikkan lain. Tubuh-tubuh manusia digantung berjejer dalam posisi terbalik. Taera mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan mual.

Ya ampun. Apa sebenarnya Taera telah mati dan masuk Neraka? Atau dia hanya sedang bermimpi? Kalau ini benar-benar mimpi, pasti ada cara agar dia bisa bangun dari mimpi buruk ini!

Udara semakin lama semakin menusuk di sini. Parahnya, selain membuat tubuhnya menggigil, juga berdampak pada perutnya yang melilit.

Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri?

Jujur saja, dia tak ingat apa-apa lagi. Ingatannya seperti berkabut.

"Haekyung?" gumam Taera agak serak. "Haekyung!" panggilnya lebih keras. Suaranya bergema, memantul melalui tembok-tembok bata yang kosong.

"HEEEII! DIMANA KAU?"

Hening. Yang terdengar hanya gema suaranya sendiri.

.

.

Bersambung...

1
QueenRaa🌺
Keren banget ceritanya thorr✨️ Semangat up!!
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩
Mari saling mendukung🤗
Mara Rainey: siappp aku akan mampir. makasih juga lho udah berkenan mampir dan meninggalkan komentar serta vote. /Heart/
total 1 replies
QueenRaa🌺
satu kata untuk novel ini, SERU!
Rasanya kaya bener bener ada di sana dan ikut ngerasain apa yg tokoh tokohnya alami
Mara Rainey: Makasih bangett untuk reviewnya, aku akan berusaha lebih baik lagi dan lebih semangat lagi. senengg banget dikunjungin author favoritkuuu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!