Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Deadzone
Langkah-langkah kaki mereka bergema di tanah yang gersang, menciptakan irama aneh yang terasa terlalu hidup di dunia yang mati ini. Deadzone membentang di depan mereka seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tanahnya retak-retak, seperti kulit makhluk tua yang hampir hancur. Asap beracun mengepul dari kawah-kawah kecil yang tersebar di mana-mana, dan udara terasa berat dengan aroma logam dan belerang.
Orion memimpin, senapan di tangannya terangkat, matanya waspada terhadap setiap gerakan. Elara berjalan di belakangnya, satu tangan menggenggam tablet yang menampilkan citra langsung dari drone mereka. Di layar, jalur yang harus mereka tempuh terlihat jelas, tetapi ancaman yang mengintai tidak selalu muncul di gambar hitam-putih itu.
"Berapa jauh lagi sampai kita melewati batas Deadzone?" tanya Orion tanpa menoleh.
Elara memeriksa peta di tablet. "Sekitar 15 kilometer lagi. Kalau kita terus berjalan tanpa henti, kita bisa sampai sebelum malam tiba."
Orion mendengus. "Berdoalah agar kita tidak bertemu sesuatu yang membuat kita harus berhenti."
Mereka terus berjalan dalam keheningan yang menegangkan, hanya suara napas mereka yang terdengar di tengah angin yang berbisik lirih. Namun, langkah mereka terhenti ketika Orion tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat agar Elara berhenti.
"Ada apa?" bisik Elara.
Orion menunjuk ke depan, di mana sesuatu bergerak di balik kabut tipis. Sekilas, makhluk itu tampak seperti manusia, tetapi gerakannya terlalu lambat dan tidak wajar. Tubuhnya yang kurus dan tulang belulangnya yang menonjol terlihat jelas, seperti mayat hidup yang berjalan tanpa tujuan.
"Mutan," kata Orion pelan. "Jangan buat suara."
Elara menahan napas, menatap makhluk itu dengan rasa ngeri yang bercampur iba. Mutan adalah hasil dari radiasi yang merusak tubuh manusia, mengubah mereka menjadi sesuatu yang tidak lagi bisa disebut manusia. Mereka tidak memiliki pikiran, hanya naluri dasar untuk bertahan hidup—atau menyerang apa pun yang bergerak.
"Apakah dia akan menyerang kita?" tanya Elara.
"Kalau kita tidak menarik perhatiannya, mungkin tidak," jawab Orion. "Tapi mutan jarang sendirian. Mereka bergerak dalam kelompok."
Seolah menjawab perkataan Orion, suara jeritan melengking tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Elara tersentak, matanya membelalak saat melihat bayangan-bayangan lain muncul di balik kabut. Lima, tujuh, sepuluh mutan mulai bergerak mendekat, tertarik oleh suara drone yang masih terbang di atas kepala mereka.
"Matikan drone-nya!" seru Orion.
Elara dengan cepat mematikan drone itu, tetapi sudah terlambat. Para mutan sudah menemukan mereka. Makhluk-makhluk itu mulai berlari, langkah-langkah mereka tidak teratur, tetapi kecepatan mereka menakutkan.
"Larikan diri atau bertarung?" tanya Elara panik.
Orion mengangkat senapannya. "Tidak ada waktu untuk lari. Siapkan dirimu."
Dia menembak mutan terdepan, pelurunya menembus kepala makhluk itu dan menjatuhkannya ke tanah. Tetapi mutan-mutan lain tidak berhenti. Elara meraih pistol kecil yang dia simpan di jaketnya, meskipun tangannya gemetar saat mengarahkan senjatanya.
"Jangan berhenti menembak sampai mereka semua jatuh!" teriak Orion.
Elara mematuhi perintah itu, menembak dengan ketakutan yang memuncak. Peluru-peluru mereka menghantam para mutan satu per satu, tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Salah satu mutan berhasil mendekati Elara, cakar panjangnya hampir menyentuh wajahnya sebelum Orion menembaknya tepat waktu.
"Fokus!" bentak Orion.
Elara mengangguk, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. Dia terus menembak sampai suara tembakan berhenti, dan satu-satunya suara yang tersisa adalah napas mereka yang terengah-engah.
Ketika semuanya selesai, tubuh-tubuh para mutan tergeletak di sekitar mereka, darah hitam mereka mengalir di tanah yang retak.
"Kau baik-baik saja?" tanya Orion, matanya memeriksa Elara dengan cermat.
Elara mengangguk pelan, meskipun tangannya masih gemetar. "Aku baik-baik saja. Hanya... aku belum pernah membunuh sesuatu sebelumnya."
"Mutan bukan manusia lagi," kata Orion tegas. "Kalau kau tidak membunuh mereka, mereka yang akan membunuhmu. Ingat itu."
Elara tidak menjawab. Dia hanya menatap tubuh-tubuh itu dengan perasaan campur aduk, lalu mengikuti Orion yang sudah mulai berjalan lagi.
---
Ketika mereka akhirnya mencapai batas Deadzone, matahari sudah hampir terbenam. Langit berubah menjadi campuran oranye dan merah yang suram, sementara bayangan Deadzone semakin panjang dan menyeramkan.
Mereka menemukan tempat berlindung di sebuah bangunan tua yang nyaris runtuh. Dindingnya retak, tetapi cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin dan debu yang beracun. Orion menyalakan api kecil dengan sisa-sisa kayu yang dia temukan, sementara Elara duduk di sudut, memeriksa tablet dan drone-nya.
"Kita berhasil melewati Deadzone," kata Elara pelan. "Tapi perjalanan kita masih panjang."
Orion mengangguk sambil menyerahkan sebatang makanan darurat padanya. "Kita akan istirahat di sini malam ini. Besok kita akan melanjutkan perjalanan ke Eden."
Mereka makan dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Elara memikirkan tentang Eden, koloni yang konon memiliki teknologi untuk menyelamatkan umat manusia. Apakah itu benar-benar ada? Dan jika ada, apakah mereka akan diterima di sana?
Sementara itu, Orion memikirkan ancaman yang semakin nyata. Para anarkis pasti sudah tahu tentang mereka. Mereka tidak akan berhenti sampai Elara dan data yang dia bawa berhasil ditangkap.
"Orion," panggil Elara tiba-tiba.
"Ya?"
"Kau pernah kehilangan seseorang, bukan?"
Orion menatapnya dengan mata yang penuh luka yang belum sembuh. "Ya. Keluargaku."
Elara menunduk. "Aku juga. Aku kehilangan adikku ketika perang dimulai. Aku... aku tidak bisa melindunginya."
"Kita semua kehilangan sesuatu," kata Orion pelan. "Tapi itu tidak berarti kita berhenti berjuang."
Elara mengangguk, meskipun rasa sakit di hatinya tidak berkurang.
Di luar, langit semakin gelap. Dan di tempat lain, para anarkis sedang mempersiapkan diri untuk memburu mereka, membawa bahaya yang lebih besar daripada Deadzone atau mutan.