Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.
Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.
Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangan yang Tak Terulurkan
Minggu pagi yang biasanya menjadi momen untuk beristirahat kini berubah menjadi hari yang penuh perasaan tak menentu bagi Nayla. Setelah menyiapkan sarapan untuk ayah dan ibu, ia melipat tangan di meja makan. Hari ini ia berencana melakukan sesuatu yang selama ini enggan ia coba: meminta bantuan dari kedua kakaknya.
“Kakak yakin mau ke sana?” tanya Raka, yang sedang mengelap meja makan dengan kain usang.
Nayla mengangguk, meskipun hati kecilnya penuh keraguan. “Aku harus coba, Ka. kak Ahmad dan kak Arsad juga anak ibu dan ayah. Ini bukan cuma tanggung jawab kita.”
Raka menggeleng pelan. “Kamu tahu Kak Ahmad ada di luar pulau. Dia selalu bilang susah buat kirim uang karena keluarganya sendiri juga butuh. Kak Arsad? Dia nggak beda jauh. Kerjanya di perusahaan besar, tapi alasan ‘sibuk’ selalu jadi tameng.”
Nayla menghela napas, tapi tetap berdiri. “Aku tetap harus bicara, Ka. Aku nggak bisa menyerah sebelum mencoba.”
Raka hanya menatapnya dengan ragu, tapi ia tak mencoba menghentikan kakaknya. Nayla mengenakan tas kecil dan melangkah keluar rumah, bertekad memulai dari kak Arsad, yang tinggal di pinggiran kota.
Rumah Kak Arsad berdiri di kompleks perumahan sederhana yang cukup terawat. Sebuah mobil bekas terparkir di halaman depan, bukti bahwa kehidupan kak Arsad jauh lebih stabil daripada keluarganya. Ketika Nayla mengetuk pintu, wajah kak Arsad muncul dari celah jendela samping.
“Nay? Tumben ke sini,” sapa kak Arsad datar. Ia membuka pintu, mengenakan kemeja lusuh yang menunjukkan ia baru saja bangun tidur.
“Aku mau bicara soal ibu dan ayah,” jawab Nayla langsung.
kak Arsad mempersilakannya masuk, tapi hanya sebentar. Ia memilih duduk di sofa dengan tubuh bersandar santai, mendengarkan cerita Nayla tanpa menunjukkan banyak emosi.
“Kak,” ujar Nayla akhirnya, setelah menjelaskan situasi ibu yang makin lemah dan ayah yang tak mampu bekerja. “Aku tahu Kakak punya pekerjaan bagus di perusahaan itu. Aku nggak minta banyak. Kalau Kakak bisa bantu sebagian untuk obat ibu atau kebutuhan rumah, itu akan sangat membantu.”
kak Arsad tertawa kecil, suara yang terdengar tak sepantasnya dalam situasi itu. “Nay, kamu tahu kan kerja di perusahaan sawit itu nggak segampang yang kamu bayangkan. Gajinya memang lumayan, tapi aku juga ada cicilan motor, bayar kontrakan, dan kebutuhan lain. Lagian, aku cuma karyawan biasa, bukan bos.”
“Tapi ini soal ibu dan ayah, Kak,” Nayla mencoba menahan suaranya agar tak pecah. “Mereka juga yang dulu nyekolahin kita, termasuk Kakak, sampai bisa kerja di sini.”
“Aku tahu,” sahut kak Arsad, kali ini lebih serius. “Tapi keadaan sekarang beda, Nay. Aku juga punya hidup sendiri. Kamu pintar, Nayla. Kamu pasti bisa cari solusi tanpa harus bergantung ke orang lain.”
Jawaban itu seperti tamparan keras bagi Nayla. Ia menatap kakaknya, berharap menemukan sedikit rasa iba di wajahnya. Tapi kak Arsad tetap tak bergeming, pandangannya bahkan seolah mengusir Nayla pergi lebih cepat.
Dengan hati berat, Nayla akhirnya berdiri. “Terima kasih, Kak. Kalau Kakak berubah pikiran, aku harap Kakak tahu di mana harus mencari aku.”
Kak Arsad hanya mengangguk tanpa banyak reaksi. Nayla melangkah keluar dengan langkah berat, berusaha menahan air mata.
Dari rumah Kak Arsad, Nayla mencoba menelepon Kak Ahmad yang tinggal di luar pulau. Beberapa nada sambung terdengar sebelum suara Ahmad menjawab dari ujung telepon.
“Nayla? Ada apa?”
“Aku mau cerita soal ibu dan ayah, Kak,” Nayla mulai, berusaha terdengar tegar.
Ia menjelaskan semua kesulitan yang mereka hadapi, mulai dari kondisi ibu yang semakin memburuk, kebutuhan obat-obatan, hingga ayah yang tak mampu bekerja lagi. Di sisi lain, ia juga menekankan betapa ia dan Raka berusaha mati-matian untuk mengurus semuanya sendiri.
“ kak Ahmad,” Nayla akhirnya memohon, “Kalau Kakak bisa bantu sedikit, kami benar-benar butuh. Aku nggak bisa terus sendiri.”
Namun, seperti yang sudah ia takutkan, jawaban kak Ahmad membuat hatinya hancur.
“Nay, kamu tahu sendiri, aku udah pindah ke sini buat kerja. Keluarga aku juga butuh. Anak-anak harus sekolah, istri juga lagi nggak enak badan. Aku nggak ada uang lebih buat dikirim sekarang.”
“Tapi ini soal ibu, Kak,” desak Nayla. “Ibu yang dulu ngasih kita semua yang dia punya, termasuk buat Kakak.”
“Aku ngerti,” jawab Ahmad, meskipun terdengar terburu-buru. “Tapi aku cuma manusia biasa, Nay. Aku nggak bisa bantu kalian sekarang. Aku harus tutup telepon, aku ada urusan.”
Klik. Telepon terputus, meninggalkan Nayla berdiri di pinggir jalan, terkejut oleh keheningan yang tiba-tiba. Ia ingin menangis, tapi merasa terlalu lelah bahkan untuk air mata.
Ketika Nayla sampai di rumah, Raka menyambutnya di pintu. Melihat ekspresi kakaknya, Raka tak perlu bertanya apa pun.
“Mereka nggak peduli, kan?” katanya pelan.
Nayla hanya mengangguk, berusaha menelan kenyataan pahit itu. “Kita cuma punya diri kita sendiri, Ka,”
Malam itu, setelah semua tugas rumah selesai, Nayla kembali ke depan laptopnya. Tugas akhir yang belum selesai menatap balik padanya, seolah menantang. Meski hatinya penuh kekecewaan, ia tahu tak ada gunanya terus menunggu tangan yang tak akan pernah terulur.
Dalam hati, Nayla bersumpah. Ia akan menyelesaikan kuliahnya, bagaimanapun caranya. Ia akan menjadi pelita bagi keluarganya, meski harus menyalakan cahaya itu sendirian.