Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Restoran itu dipenuhi suasana hangat dan aroma masakan Korea yang menggoda. Rose tersenyum tipis, menikmati suasana tempat favoritnya di kota Seoul. Dylan, yang duduk di depannya, tampak menikmati galbi yang ia coba untuk pertama kalinya. Mereka berbicara ringan, berbagi cerita tentang hari-hari yang telah mereka lalui.
"Aku tidak pernah tahu makanan Korea bisa sebaik ini," kata Dylan sambil menyeka sudut bibirnya. "Kamu benar-benar tahu tempat yang bagus, Rose."
Rose tertawa kecil, matanya berbinar. "Ini tempat yang sering aku datangi sejak pertama kali ke Seoul. Semacam tempat pelarian ketika aku ingin sendiri."
Mereka melanjutkan percakapan, menikmati malam yang tampaknya sempurna—hingga ponsel Dylan bergetar di meja. Dylan melirik layar, lalu wajahnya berubah serius.
"Sebentar, aku harus angkat ini," katanya sambil mengangkat telepon.
Rose tetap tenang, meski rasa penasaran mengintip di sudut pikirannya. Ia mendengar Dylan berbicara dengan nada cemas.
"Alia? Apa yang terjadi?" Dylan mendengarkan dengan serius. "Kecelakaan? Kamu di mana sekarang? Baik, tunggu di sana, aku segera datang."
Dylan menutup telepon dan memandang Rose dengan wajah penuh permintaan maaf. "Maaf, aku harus pergi. Alia, keponakanku, kecelakaan. Dia butuh aku sekarang."
Rose menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. "Tentu, aku mengerti. Hati-hati di jalan."
Dylan berdiri, meraih jasnya, lalu mengecup pipi Rose dengan cepat sebelum pergi. "Kita lanjutkan lain waktu, ya."
Rose menatap punggung Dylan yang bergegas keluar restoran. Namun, senyumnya yang tadi hangat kini memudar. Dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Alia bukan sekadar keponakan bagi Dylan—dia sering menjadi alasan Dylan mengabaikan hal-hal penting. Tapi kali ini Rose merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kecelakaan.
Keesokan harinya, di kantor, Rose menjaga jarak dari Dylan. Ia sengaja datang lebih awal dan menghindari ruang kerja Dylan.
Dylan merasa perubahan itu. Ia berusaha mendekati Rose, tetapi Rose terus bersikap dingin. Bahkan saat rapat, ia memilih duduk sejauh mungkin darinya, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Rose merasa lelah. Alia adalah masalah yang terus-menerus muncul dalam hubungan mereka. Namun, kali ini ia yakin bahwa kecelakaan itu hanyalah alasan. Terlebih, ia menerima pesan dari salah satu temannya di Seoul yang mengatakan melihat Alia keluar dari klub malam, sehat tanpa luka apa pun, malam itu juga.
Waktu berlalu, dan hubungan mereka semakin renggang. Dylan terus mencoba mencari tahu apa yang salah, tetapi Rose memilih untuk menjaga jarak. Tidak ada lagi makan malam bersama, tidak ada lagi obrolan ringan di kantor.
Bagi Rose, keputusan ini adalah bentuk perlindungan dirinya. Jika Dylan terus membiarkan orang lain, terutama Alia, masuk dan merusak hubungan mereka, ia tidak bisa terus berkompromi. Dan hingga Dylan benar-benar berubah, Rose lebih memilih untuk menyelamatkan hatinya sendiri.
***
Di kamar hotelnya yang sunyi, Rose berdiri di depan cermin besar. Tatapannya menembus bayangan dirinya sendiri, seolah mencari jawaban yang telah lama menghilang. Wajahnya tampak tegas, tetapi di balik itu ada keraguan yang tak bisa ia abaikan.
"Apakah aku salah menerima dia sebagai kekasihku?" bisiknya pelan.
Suara itu terdengar samar di ruangan, tetapi penuh dengan beban emosi. Ia mengingat kembali saat-saat ketika ia pertama kali merasakan getaran cinta terhadap Dylan—seorang pria sederhana, berbeda dari banyak pria yang mencoba mendekatinya hanya karena statusnya sebagai artis terkenal. Dylan memberinya rasa aman, kebahagiaan yang ia kira tidak akan ia temukan di tengah dunia gemerlap yang penuh kepalsuan.
Namun kini, semua itu terasa kabur. Keputusan untuk merahasiakan hubungan mereka, yang awalnya terasa benar demi melindungi privasinya sebagai artis papan atas, perlahan menjadi tembok yang memisahkan mereka. Tidak ada satu pun kolega di kantor yang tahu tentang hubungan mereka, tidak ada wartawan atau paparazi yang bisa mencium jejak cinta mereka. Namun, justru keputusan itu membuat Rose merasa seperti ia harus memikul beban sendirian.
"Apa aku salah percaya dia bisa menjaga hatiku?" gumamnya lagi, mengusap wajahnya yang lelah.
Ia tahu Dylan mencintainya, tetapi cinta saja tidak cukup. Dylan membiarkan hal-hal di sekitarnya—seperti Alia—mengganggu hubungan mereka. Malam itu di restoran adalah puncaknya. Rose tahu Alia tidak benar-benar kecelakaan. Ia tahu itu hanyalah jebakan untuk menarik perhatian Dylan, dan yang lebih menyakitkan adalah Dylan tetap memilih pergi.
Hari ini adalah hari keberangkatan Rose ke Jepang untuk sebuah proyek besar. Tasnya sudah tertata rapi, dan paspor tergeletak di atas meja. Rose berjalan ke balkon, memandang langit Seoul yang cerah, tetapi hatinya terasa mendung.
Ia meraih ponselnya dan membuka daftar kontak. Nama Dylan masih ada di sana, tetapi ia tidak merasa ingin menghubunginya. Sebaliknya, ia menekan tombol untuk memblokirnya.
"Maaf, Dylan. Aku harus menyelamatkan hatiku sebelum semuanya hancur."
Rose tahu, memutuskan hubungan dengan Dylan tidak akan mudah, tetapi ia merasa harus melakukannya. Ia tidak ingin terus menerus menjadi orang yang berkorban dalam hubungan ini. Terlebih lagi, sebagai seorang figur publik, ia harus menjaga reputasi dan mentalnya. Hubungan yang terus diguncang oleh drama hanya akan membuatnya semakin terluka.
Bandara Incheon terasa ramai seperti biasanya, tetapi bagi Rose, hiruk pikuk itu adalah pelarian. Ia mengenakan masker dan topi untuk menghindari perhatian orang-orang. Dengan jadwal padat di Jepang, ia berharap bisa melupakan rasa sakit yang sedang ia rasakan.
Pesawatnya akan segera lepas landas, tetapi Rose sama sekali tidak memberi tahu Dylan tentang keberangkatannya. Ia ingin menghilang sejenak dari kehidupannya, dari Dylan, dari semua hal yang membuatnya merasa tertekan.
Di dalam pesawat, Rose duduk di dekat jendela. Ia menatap langit biru yang terbentang luas, mencoba mencari kekuatan dalam kebebasan yang ditawarkan oleh jarak. Ia tahu, ini adalah langkah pertama untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
"Kadang cinta tidak cukup untuk membuat semuanya baik-baik saja," pikirnya. "Aku pantas mendapatkan seseorang yang benar-benar berjuang untukku."
***
Dylan melangkah masuk ke gedung megah agensi Wang Yibo dengan penuh semangat. Hari ini adalah pertemuan penting untuk membahas peluncuran album baru dari beberapa artis papan atas, termasuk Rose. Sebagai bagian dari tim bisnis yang menangani pemasaran internasional, Dylan merasa pertemuan ini akan menjadi salah satu momen besar dalam kariernya.
Namun, di balik semangatnya, ada satu alasan lain yang membuat langkah Dylan terasa lebih ringan—kesempatan untuk bertemu Rose. Sudah beberapa hari sejak ia merasa hubungan mereka mulai merenggang, dan Rose semakin sulit dijangkau. Bahkan, pesan-pesannya tidak pernah dibalas, panggilannya tak pernah dijawab. Tetapi Dylan yakin, hari ini ia akan menemui Rose di tempat kerja mereka.
Ketika masuk ke ruang pertemuan, Dylan langsung menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Para kolega sudah mulai berkumpul, wajah-wajah serius tampak berdiskusi tentang strategi promosi, tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Rose.
"Rose belum datang?" tanya Dylan dengan nada santai pada salah satu rekan kerja.
"Oh, Rose? Dia terbang ke Jepang pagi tadi untuk proyek promosi album," jawab rekan itu tanpa banyak berpikir.
Jawaban itu membuat Dylan tertegun. "Ke Jepang? Kenapa aku tidak tahu apa-apa?" pikirnya. Perasaan cemas mulai menghantui. Ia mencoba bersikap profesional dan ikut mendengarkan diskusi, tetapi pikirannya terus melayang pada Rose.
Selama rapat berlangsung, Dylan tidak bisa fokus. Pembahasan tentang strategi pemasaran, daftar lagu, dan rencana tur dunia Rose seharusnya menjadi topik yang menarik bagi Dylan, tetapi bayangan Rose yang tidak ada di tempat terus menghantui pikirannya.
Ia memikirkan semua kemungkinan—apakah Rose sengaja menghindarinya? Apakah ini ada hubungannya dengan malam di restoran itu? Atau mungkin Rose marah karena dirinya terlalu sibuk dan sering mengutamakan hal lain?
Ketika sesi istirahat tiba, Dylan segera meraih ponselnya. Ia mencoba menelepon Rose sekali lagi, tetapi panggilan itu langsung diarahkan ke voicemail. Ia membuka aplikasi pesan, tetapi tidak ada balasan. Bahkan, kini ia menyadari bahwa pesan-pesannya sebelumnya tidak lagi terkirim.
"Dia memblokirku," gumam Dylan dengan nada tidak percaya.
Setelah rapat selesai, Dylan keluar dari gedung dengan langkah berat. Ia merasa frustrasi dan bingung. Rose adalah pusat dari banyak hal yang ia kerjakan belakangan ini, baik di tempat kerja maupun di dalam hidupnya.
Dylan duduk di bangku taman di luar gedung, menatap layar ponselnya yang gelap. Ia memikirkan semua momen yang telah mereka lalui bersama—senyuman Rose, tawa kecilnya, bahkan caranya bersikap tenang di tengah tekanan. Namun, semua itu terasa semakin jauh dari jangkauannya.
"Rose, apa yang sebenarnya terjadi?" bisiknya pelan.
Ia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Rose seperti menghilang tanpa jejak, meninggalkan Dylan dalam kehampaan yang sulit dijelaskan. Kini, Dylan hanya bisa berharap, meski kecil, bahwa waktu akan memberinya jawaban—atau setidaknya, kesempatan untuk bertemu Rose lagi.