Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinda Dan Undangan
Setelah mendapatkan restu ibu, beberapa hari kemudian aku dan ibu pergi ke rumah Monika untuk melamarnya secara resmi. Perasaan gugup menyelimuti sepanjang perjalanan, tapi tekadku sudah bulat. Aku ingin menjadikan Monika sebagai pendamping hidupku.
Kami sekeluarga disambut dengan sangat hangat oleh ayah Monika. Setelah berbincang ringan, ibu mulai menyampaikan niat kedatangan kami ke keluarga besar Monika, Ayah Monika dan pihak keluarga mendengarkan dengan serius, Sedangkan Monika, yang duduk di samping ayahnya, sesekali menatapku dengan senyum gugup namun bahagia.
Setelah berdiskusi panjang, kami semua sepakat menentukan tanggal pernikahan Aku dan Monika.
"Bagaimana kalau tanggal 4 April?" usul ibu.
Ayah Monika berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Saya setuju. Satu bulan adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan semuanya."
"Terima kasih, Om," ucapku penuh syukur. Aku melirik Monika yang tampak berusaha menyembunyikan senyumnya.
Setelah pertemuan itu, aku dan Monika mulai sibuk dengan berbagai persiapan pernikahan. Dari menentukan gaun, undangan, hingga lokasi akad nikah, semuanya terasa begitu nyata. Monika terlihat lebih ceria dari biasanya, dan kami mulai sering bekerja sama untuk memastikan semuanya berjalan lancar.
Kedekatan kami semakin terlihat, dan kabar pernikahan ini dengan cepat menyebar di kampus. Saat berjalan di koridor, aku sering mendengar bisikan teman-teman. "Eh, itu Alan, calon suaminya Monika," atau "Gila, nggak nyangka mereka akhirnya beneran mau nikah!"
Beberapa teman dekat bahkan bertanya langsung, "Serius, Lan? Kamu sama Monika nikah bulan depan?"
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk. "Iya, doain ya, semuanya lancar."
Monika juga mendapat banyak perhatian dari teman-temannya. Beberapa terlihat ikut senang, sementara yang lain terlihat sedikit terkejut melihat perubahan besar dalam hidupnya.
Meskipun begitu, kami tetap fokus. Kami ingin memastikan semua berjalan dengan baik pada hari yang telah kami tunggu-tunggu, 4 April. Sebulan mungkin terasa singkat, tapi aku tahu, dengan Monika di sisiku, segala tantangan bisa kami hadapi bersama.
Hari itu, aku membawa beberapa undangan pernikahanku dengan Monika. Aku sudah memutuskan, orang pertama yang harus menerimanya adalah Dinda. Bukan hanya karena dia teman dekatku, tapi juga karena aku telah menganggapnya sebagai adikku sendiri.
Saat bertemu, aku menyerahkan undangan itu kepadanya. “Ini untukmu, Din. Kamu orang spesial yang aku pilih sebagai penerima undangan pertama,” kataku dengan senyum.
Dinda mengambil undangan itu, melihatnya sejenak, lalu bertanya dengan nada bingung, “Apa ini, Mas?”
“Ini undangan pernikahanku... sama Monika,” jawabku.
Wajahnya seketika berubah. Matanya berkaca-kaca, dan sebelum aku sempat berkata lebih banyak, ia mulai menangis. Bukan sekadar menangis, tapi tangisan yang membuat hatiku terasa berat.
“Mas... kenapa? Mas tega banget sama aku!” katanya dengan suara bergetar.
Aku terkejut. “Dinda... kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku, bingung.
“Selama ini aku mencintai Mas! Tapi kenapa Monika yang Mas pilih bukan aku yang Mas pilih? Kenapa Monika?”
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Kata-katanya seperti petir di siang bolong. Aku selalu menganggap Dinda sebagai sahabat, bahkan seperti adikku sendiri, dan sama sekali tidak pernah menyadari perasaannya.
“Din, aku...” Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Maafkan aku. Aku benar-benar nggak tahu soal perasaanmu ke aku. Tapi Din, cinta itu tidak bisa dipaksakan. Aku mencintai Monika, dan aku yakin dengan pilihanku.”
Dinda menunduk sambil terus menangis. “Aku selalu berusaha ada di samping Mas. Aku selalu mendukung Mas. Tapi Mas malah lebih memilih Monika ketimbang aku yang selalu ada disamping Mas.”
“Dinda, aku sangat menghargai apa yang sudah kamu lakukan untukku. Kamu adalah sahabat yang luar biasa, bahkan seperti keluargaku sendiri. Tapi, ini adalah keputusan hidupku. Aku minta maaf kalau ini menyakiti perasaanmu,” kataku dengan lembut.
Ia mengusap air matanya, mencoba menenangkan diri. “Aku ngerti, Mas. Cuma... rasanya sakit banget.”
“Dinda, aku berharap kamu bisa tetap ada di hari bahagia kami. Aku benar-benar ingin kamu jadi bagian dari momen bahagiaku sama Monika” ujarku.
Ia mengangguk pelan, meskipun aku tahu itu sulit baginya. Aku merasa berat meninggalkannya dalam keadaan seperti itu, tapi aku juga tahu ini adalah langkah yang harus diambil.
Saat berjalan pergi, aku berharap waktu akan membantu Dinda menerima semua ini. Karena bagiku, dia tetap teman dan saudara yang sangat berarti.