Alexa Beverly sangat terkenal dengan julukan Aktris Figuran. Dia memerankan karakter tambahan hampir di setiap serial televisi, bahkan sudah tidak terhitung berapa kali Alexa hanya muncul di layar sebagai orang yang ditanyai arah jalan.
Peran figurannya membawa wanita itu bertemu aktor papan atas, Raymond Devano yang baru saja meraih gelar sebagai Pria Terseksi di Dunia menurut sebuah majalah terkenal. Alexa tidak menyukai aktor tampan yang terkenal dengan sikap ramah dan baik hati itu dengan alasan Raymond merebut gelar milik idolanya.
Sayangnya, Alexa tidak sengaja mengetahui rahasia paling gelap seorang pewaris perusahaan raksasa Apistle Group yang bersembunyi dibalik nama Raymond Devano sambil mengenakan topeng dan sayap malaikat. Lebih gilanya lagi, pemuda dengan tatapan kejam dan dingin itu mengklaim bahwa Alexa adalah miliknya.
Bagaimana Alexa bisa lepas dari kungkungan iblis berkedok malaikat yang terobsesi padanya?
Gambar cover : made by AI (Bing)
Desain : Canva Pro
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Pagi Hari
Alexa menyambut paginya dengan tersenyum. Saat para pelayan masuk ke kamarnya setelah wanita itu menekan bel dan mengurus segala keperluannya, Alexa sudah memasang senyum cerah.
Wanita itu tidak protes saat air mandi yang disiapkan terlalu banyak menggunakan parfum hingga wanginya menyebar ke setiap sudut kamar mandi, juga tidak mengatakan apa pun selama rambutnya ditata. Alexa bahkan memaafkan pelayan yang membawakan gaun berwarna merah muda lembut untuk dikenakannya.
Suasana hatinya sedang baik sejak menjauhkan ponsel dari pandangan dan tidak melihat berita apa pun di televisi. Sejak kemarin sore Alexa menghabiskan waktunya menonton film dan drama yang belum sempat dilihat dari bioskop mini di rumah itu.
"Suasana hatimu sepertinya lebih cerah dari matahari di luar sana."
Alexa yang baru keluar dari kamar setelah menyelesaikan seluruh rutinitas paginya tersenyum ketika Alena sudah berdiri di depan pintu kamar dengan tangan saling menyilang di dada. Kerutan di kening wanita itu membuat Alexa terkekeh.
"Jangan merusak pagi yang indah ini dengan mengerutkan wajah begitu, Alena!" Jari telunjuk Alexa menyentuh kening wanita di hadapannya, memberi isyarat agar Alena tidak menyambut hari dengan ekspresi tidak enak dilihat.
Alena langsung mendengkus, menjauhkan tangan Alexa dari keningnya dan melangkah pergi. Alexa mengekor dan berjalan di sisi Alena yang hanya mengenakan kaos putih lengan panjang dipadukan dengan jins belel biru tanpa aksesoris tambahan.
Berbeda dengan Alexa yang pagi ini mengenakan pakaian apa pun yang dipilih pelayan, tampak sangat anggun dengan gaun merah muda lembut yang jatuh dan melekat sempurna di tubuh, memperlihatkan lengan serta kaki jenjang wanita itu. Rambutnya diikat ke samping dan dibiarkan jatuh di bahu kanannya dengan pita besar yang juga berwarna merah muda. Alexa bahkan diam saja saat kalung putih dengan bandul berbentuk matahari dipasangkan di lehernya.
"Kau tahu kalau dia datang, makanya berdandan habis-habisan?" Alena akhirnya bertanya ketika langkah mereka sudah mencapai ujung tangga menuju lantai satu.
Alexa menautkan alis tidak mengerti. "Apa maksudmu? Aku hanya mengenakan apa yang pelayan siapkan," ucapnya sembari menahan lengan Alena. "Memangnya siapa yang datang?"
Alena menghela napas, "Lihat sendiri," katanya sembari mengendikkan bahu dan kembali berjalan.
Mereka tidak terlambat untuk sarapan bersama hari ini.
"Hey, jangan menakutiku, dong! Kau bohong tentang tamu, kan? Mana ada orang yang bertamu sepagi ini. Sekarang masih setengah tujuh, lho!"
Alena berdecih. Ia yang sudah lebih dulu ada di meja makan sejak pukul enam selama Alexa sibuk berdandan, tentu saja lebih tahu siapa yang bertamu pagi-pagi begini dan diterima dengan lapang oleh kepala keluarga di rumah ini. Vincent meminta Alena agar memanggil Alexa di kamarnya karena seseorang yang datang itu mencari si pembuat onar.
"Kendalikan ekspresi wajahmu," ucap Alena saat mereka memasuki pintu yang menghubungkan dengan ruangan besar yang di dalamnya sudah ada beberapa orang.
Harus dikendalikan seperti apa? Datar? Ramah? Ceria? Alexa tidak mengerti, jadi memilih memasang wajah ramah dan baik hati, sebuah image tentang wanita polos dan penurut.
"Selamat pagi," sapa Alexa saat memasuki ruang makan. Wanita itu tersenyum sopan sebelum sabit di bibirnya perlahan luntur, berubah menjadi garis lurus, sejak netra coklatnya melihat kehadiran sosok asing yang baru kemarin ia temui.
"Nah, orangnya sudah datang!" Vincent memberi isyarat pada dua wanita yang baru memasuki ruang makan untuk segera duduk. "Alexa, Edgar bilang ada yang ingin dibicarakan denganmu, tapi lebih baik kita sarapan dulu agar lebih nyaman saat berbicara nanti."
Alexa tidak tahu harus memasang senyum ramah atau memberikan tatapan ketus pada pria yang sedang menatapnya dengan senyum lembut. Cih!
Wanita yang memilih memasang wajah tidak suka secara terang-terangan itu segera duduk di tempatnya, mengabaikan tatapan peringatan Serra dan Vincent, juga membiarkan helaan napas Alena bagai angin lalu.
"Di mana Mama?" Alexa bertanya setelah menyadari bahwa Valisha tidak terlihat sama sekali.
"Oh, benar! Alena, bukankah tadi kau bilang mau memanggil Valisha juga?" Vincent bertanya pada wanita yang langsung duduk tanpa mengatakan apa-apa.
Alena memiringkan kepala, tampak berpikir. "Bibi Valisha belum bangun," ucapnya memberi informasi. "Katanya semalam tidak tidur?"
Alena memang pergi ke kamar Valisha sebelum mengunjungi Alexa, tentu saja untuk menyampaikan pada adik kandung ayahnya itu bahwa Edgar datang. Tentu saja Alena tidak terang-terangan mengatakan dia mengetahui siapa Edgar, dia hanya bilang bahwa calon besan keluarga ini, ayahnya Raymond, datang bertamu.
Serra yang mendengarnya langsung mengernyitkan dahi dan menatap tajam suaminya. "Memang semalam kalian begadang sampai pukul berapa? Sudah kubilang jangan mengganggu Valisha karena dia sedang sangat sibuk dan butuh banyak istirahat!"
Vincent meringis ketika Serra mencubit lengannya. "Mau bagaimana lagi? Dia selalu menggodaku," ucapnya sembari merengut, hilang sudah wibawanya sebagai pemimpin sebuah perusahaan raksasa.
Alena dan Alexa menggeleng, sudah tahu kalau Vincent akan selalu menantang Valisha untuk bermain catur setiap kali wanita itu pulang. Mereka bisa bermain hingga berjam-jam, hanya ingat makan kalau Serra datang dan menjewer lalu menyeret mereka ke meja makan.
Apalagi sejak Valisha yang tidak pernah terkalahkan dalam setiap permainan, berakhir wanita itu menggoda kakaknya dengan kata-kata ejekan dan wajah menyebalkan hingga membuat Vincent semakin bertekad untuk mengalahkannya.
Bedanya, bagi seseorang yang tidak mengerti apa pun, hal yang dibicarakan dengan santai oleh Serra dan Vincent memiliki arti berbeda untuknya. Edgar menghela napas pelan. Ia ingin menemui Alexa sejak kemarin, menanyakan apakah alasan wanita itu marah padanya adalah karena skandal yang diakui Raymond, tapi Alexa tidak bisa dihubungi, begitu juga Vincent.
Edgar tidak bisa menahan diri lebih lama dan memutuskan untuk datang pagi-pagi sekali. Perasaannya sedikit aneh dan tidak nyaman melihat Alexa yang biasanya selalu tersenyum cerah ketika melihatnya, kini malah memasang raut tidak suka dan kesal yang sama sekali tidak ditutupi.
Edgar awalnya tidak mau bertemu dengan Alexa lagi. Ia memerintah orang-orangnya untuk mempercepat pembangunan rumahnya agar bisa segera pergi dari apartement itu. Edgar harusnya merasa terluka melihat Alexa, sosok yang merupakan putri dari wanita yang ia cinta bersama pria lain–itu pun sahabatnya sendiri.
"Makan dulu, Ed, nanti saja melamunnya."
Teguran Vincent membuat Edgar langsung menyadari tempatnya dan tersenyum kikuk. "Maaf," ucapnya sembari terkekeh pelan melihat kerutan di kening temannya.
"Iya, Tuan Edgar dan juga gadis cantik di sana, ayo makan dulu! Kalian bisa melanjutkan acara melamunnya setelah sarapan," ucap Serra seraya tersenyum, menatap pada wanita bersurai panjang yang sejak tadi mengaduk-aduk makanannya.
Alexa mengerjap setelah Alena menyenggol tangannya, langsung mendongak dan tersenyum melihat tatapan maut Serra.
"Alexa pasti memikirkan harus bilang apa pada Paman Edgar tentang kejadian kemarin," ucap Alena tiba-tiba, "Jangan terlalu keras pada Alexa, ya, Paman, dia masih anak-anak," lanjutnya sembari menatap Edgar dengan senyum lembut.
"Kemarin? Memangnya kau melakukan apa kemarin?" Vincent langsung bertanya. "Kemarin aku sudah memperingatkan untuk diam saja di rumah, kan? Jadi, kau menemui Edgar dan membuat masalah?"
Alexa hampir saja memukul kepala Alena dengan sendok di tangan. Bisa tidak, sih, sekali saja membantu Alexa lolos dari masalah?
"Kemarin Alexa--"
"Kita makan dulu, Paman!" ujar Alexa cepat saat Alena akan mengatakan sesuatu, membuat wanita yang duduk di sisinya itu menahan tawa.
"Kenapa Alexa memanggil Paman?" Edgar segera mengatupkan mulutnya saat semua orang langsung menoleh dan memberi atensi padanya. Ia tidak bisa menahan diri saat mendengar panggilan Alexa pada Vincent dan tanpa pikir panjang langsung menanyakannya.
"Tentu saja Paman, memang apa lagi? Masa aku harus dipanggil Bibi?" Vincent mengerutkan kening tidak mengerti.
Serra mengulum bibir, menahan tawanya, begitu juga dengan Alena dan Alexa.
"Kalau mau, akan aku panggil dengan sebutan Bibi. Bibi Vincent ...." Alexa memanggil dengan nada main-main. "Aku suka, kok, punya dua Bibi!" ujarnya dengan senyum lebar.
Edgar tidak mengerti saat semua orang malah menjadikan pertanyaannya sebagai candaan, tapi mungkin itu memang cara mereka menutupi kecanggungan yang disebabkan pertanyaan tidak sopannya. Seharusnya Edgar memahami situasi. Pasti sudah menjadi kebiasaan bagi Alexa untuk memanggil Vincent dengan sebutan Paman saat ada orang asing.
"Aku tidak mengerti kenapa kau mempertanyakan hal yang sudah jelas, tapi akan kupikirkan panggilan lain selain Paman untuk keponakanku. Mungkin panggilan Paman terlalu kuno untuk anak zaman sekarang?" Vincent ikut terkekeh dengan idenya sendiri.
"Keponakan? Bukankah Alexa adalah putrimu?"