NovelToon NovelToon
Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Status: sedang berlangsung
Genre:TimeTravel / Sistem / Epik Petualangan / Dendam Kesumat / Pulau Terpencil
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Deni S

Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.

Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.

Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2: Arkeologi Muda

Siang itu, matahari terik menyinari kampus Universitas Kebudayaan. Di sebuah kafe sederhana yang terletak di sudut area kampus, suara perdebatan empat orang menggema, meski di luar tampak suasana sepi. Di tengah meja yang dipenuhi buku-buku tua, peta kuno, dan secangkir kopi yang sudah mulai dingin, Satrio dan timnya berusaha menguraikan misteri yang terkandung dalam prasasti kuno yang baru saja mereka temukan.

Satrio duduk tegap di ujung meja, matanya menelusuri setiap detail pada peta di hadapannya. Posturnya yang tinggi dan atletis mencerminkan pengalaman panjangnya sebagai arkeolog lapangan. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh dan kulit sawo matang yang sering terpapar matahari. Rambut hitam ikalnya sedikit berantakan, tanda ia lebih sering fokus pada petualangan daripada penampilan. Di balik sorot tajam matanya, ada keyakinan yang tak tergoyahkan. “Gunung Niuts,” ucapnya pelan, namun penuh keyakinan. “Prasasti ini jelas merujuk ke sana. Lihat pola simboliknya, ini menggambarkan pegunungan yang terjal dan hutan lebat.”

Rio, yang duduk di seberangnya, menggeleng pelan. "Aku nggak yakin," katanya sambil meremas gelas kopinya yang masih hangat. Berbeda dari Satrio yang berkarakter tegas, Rio lebih kalem namun analitis. Sebagai ahli perhutanan, dia tahu betul betapa luasnya hutan-hutan di Barat. Tubuhnya sedikit lebih pendek daripada Satrio, dengan rambut lurus yang selalu rapi dan wajah yang tenang. "Kita nggak bisa langsung bilang kalau itu Gunung Niuts. Hutan di Barat terlalu luas, dan banyak yang belum kita teliti. Bisa saja ada gunung lain yang dimaksud."

Gilang, yang sedang membolak-balik buku kuno di tangannya, tersenyum tipis. "Terjemahannya jelas, kok," ujarnya sambil menunjuk beberapa catatan di bukunya. Gilang, dengan rambut keriting tebal dan kaca mata bundar di ujung hidungnya, adalah ahli teks kuno. Dia tampak lebih bersemangat dari biasanya, matanya berkilat-kilat setiap kali ia menemukan sesuatu yang baru dalam teks kuno. “Ini bukan sekadar soal hutan atau gunung. Lihat, ada kata frasa ‘persembahan hijau’ yang merujuk pada tempat di daerah Barat. Ini pasti merujuk ke suatu lokasi yang memiliki lembah hijau, dan aku tidak menunjuk itu mengarah ke Gunung Niuts.”

Bayu, yang duduk dengan tenang di samping Rio, memandangi peta dan prasasti itu dengan ekspresi tenang, seperti biasanya. Sebagai ahli biologi, Bayu lebih suka menganalisis fakta-fakta yang lebih konkret, meski dalam situasi seperti ini, ia sering kali menjadi penengah. Tubuhnya kekar, lebih besar daripada yang lain, dengan rambut pendek dan kulit yang juga terbakar matahari. “Aku rasa, kita harus mempertimbangkan semua opsi,” katanya bijak. “Baik itu teori Satrio ataupun kemungkinan lain yang diajukan Rio. Kita butuh lebih banyak bukti sebelum memutuskan apa pun.”

Satrio mendesah pelan, tapi dia tidak menyerah. Matanya beralih pada peta di meja, jarinya menunjuk ke sebuah titik di selatan. “Aku tahu ini Gunung Niuts. Segala bukti di prasasti mengarah ke sana. Kalau kalian ragu, biarkan aku yang pergi. Aku nggak mau kita buang waktu terlalu lama hanya untuk berdebat.”

Rio langsung mendongak, wajahnya tegang. “Pergi sendiri? Jangan gegabah, Tri! Gunung Niuts itu hutan tropis yang luas! Kita bahkan nggak tau apa yang ada di sana.”

Gilang menutup bukunya, sorot matanya tajam. “Setuju sama Rio. Kalau kau pergi sendiri lalu ada apa-apa, siapa yang bakal tahu? Ini bukan cuma soal Gunung Niuts atau hutan di Barat, tapi ini akan keselamatanmu, Tri."

Bayu menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Satrio dengan serius. “Sifat keras kepalamu kadang menyelamatkan kita, tapi ini terlalu berisiko.”

Satrio menatap mereka satu per satu, merasa terhimpit oleh kekhawatiran teman-temannya. Tapi, dia tidak bisa menunggu lebih lama. “Aku tau pilihan ini mengandung resiko tinggi, tapi aku juga nggak mau melibatkan kalian dalam ekspedisi yang belum pasti ini.”

Perdebatan kembali memanas, tapi kali ini ada kekhawatiran di dalamnya. Bukan lagi soal lokasi, melainkan keselamatan Satrio. Setelah beberapa saat, ketiga temannya akhirnya setuju, karena mereka tahu betul jika Satrio sudah menentukan pilihan tak akan ada seorangpun yang bisa merubahnya.

“Baiklah,” kata Rio, mengalah. “Tapi, dengan satu syarat! .... " Belum usai Rio berkata, Satrio memotongnya dengan percaya diri.

"Satu, aku harus melaporkan semua temuanku. Dua, setiap hari aku harus memberikan kabar. Itu, kan?" Ketiga teman Satrio hanya menghela nafas, tampak pasrah dengan keputusan yang telah ia buat.

"Satu lagi! timpal Rio, menaikan satu jarinya, "selalu kirim koordinat terakhir kepada kami."

Gilang menambahkan, “Dan jangan ambil risiko yang nggak perlu. Kita bisa mengejarnya bersama kalau sudah ada bukti lebih kuat.”

Bayu mengangguk setuju. “Kalau sampai kau hilang tanpa kabar, aku yang pertama akan menyusulmu!”

Satrio tersenyum tipis, merasa didukung meski mereka masih ragu. “Tenang saja, aku tahu apa yang kulakukan.”

Mereka semua tahu, ini bukan sekadar soal perdebatan. Ini adalah awal dari perjalanan yang bisa mengubah segalanya.

"Jadi... Kamu tetap beneran mau pergi sendiri?" tanya Rio sambil menyedot kopinya, ekspresinya setengah tak percaya.

Satrio mengangguk mantap, "Aku nggak mau kalian semua ikut kalau ini belum jelas. Aku sendiri pun belum yakin, tapi insting-ku kuat ke arah sana."

Gilang bersandar ke kursinya, ekspresi penuh ragu. "Instingmu itu selalu bawa kita ke petualangan gila sebelumnya, tapi khusus kali ini aku ngerasa ada risiko yang terlalu besar."

Bayu, yang sedari tadi diam saja, akhirnya bicara. "Ya... Kalau dia sudah yakin, kita nggak akan bisa cegah. Tapi tolong, Tri. Tepati syarat dari kita tadi! Jangan sampe buat kita bingung tiba-tiba kamu hilang di hutan."

Satrio tersenyum kecil. "Pasti, tenang aja."

Rio menutup laptopnya, merasa pembicaraan soal ekspedisi ini sudah selesai. "Aku masih nggak habis pikir kenapa kampus makin heboh gara-gara tim kita. Kita cuma ngerjain yang seharusnya, kan?"

Gilang tertawa. "Cuma? Kamu lupa gimana kita nemuin situs megalitikum di daerah terpencil waktu itu? Satu-satunya tim dari fakultas ini yang bisa narik kesimpulan dari temuan yang dianggap sepele sama orang lain."

Bayu ikut tersenyum. "Iya, aku inget ekspresi Rizal waktu itu. Kayak nggak percaya kita bisa nemuin struktur batu yang umurnya ribuan tahun."

"Dan aku yang harus bolak-balik ngejelasin soal artefak yang kita temuin," tambah Satrio. "Tapi ya, itu bikin kita dapet perhatian. Bagusnya sih, sekarang mereka lebih dukung penelitian kita, mempermudah mencari dana untuk penelitian."

Rio menyandarkan tubuhnya, menikmati cerita yang mereka kenang. "Waktu itu gila sih. Semua orang ngeremehin, bilang daerah itu nggak mungkin ada apa-apa. Andai kalaitu Satrio nggak keras kepala, mungkin sudah berakhir dengan tangan kosong."

"Insting," Satrio tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Sama kayak sekarang. Kita nggak bakal tahu apa yang tersembunyi di Hutan Gunung Niuts kalau aku nggak nyoba."

"Dan yakin banget instingmu kali ini benar?" tanya Gilang, suaranya terdengar serius.

Satrio terdiam sejenak, menatap ke luar jendela. "Aku nggak tahu pasti, tapi kadang sesuatu yang paling penting justru tersembunyi di tempat yang nggak kita sangka."

Rio menatap dalam ke arah Satrio sambil mengetuk jemari di atas meja, lalu menatap Satrio dengan serius. "Kamu tau kan, kalau hutan tropis itu nggak kayak yang ada di film dokumenter? Medannya berat, cuacanya nggak bisa ditebak, dan... binatang buas yang bisa mengintai kapa saja."

Satrio menarik napas dalam-dalam, jelas sudah mendengar kekhawatiran ini sebelumnya. "Aku udah siap, Rio. Aku tahu risikonya. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya kita ke hutan, kan?"

"Ya, tapi kali ini kamu itu sendirian!" Rio menekankan, suaranya naik setengah oktaf. "Kamu nggak ada back up. Kalau ada apa-apa, siapa yang bakal bantu di sana?"

Gilang yang dari tadi diam, akhirnya menyela. "Rio ada benarnya, Tri. Kita pernah hampir tersesat bareng, inget nggak? Itu aja udah parah, padahal kita berempat waktu itu."

Satrio mengangguk, mengingat pengalaman mereka dulu. "Aku nggak lupa, Gi. Pelajaran saat itu menjadi pondasi kuat untuk terus melangkah. Aku pasti siapkan semua peralatan penting."

Bayu yang sedari tadi diam ikut angkat bicara. "Peralatan penting, tapi itu bukan jaminan lo bisa balik dengan selamat, Tri. Apalagi kalo kamu kena masalah fisik, kecelakaan kecil aja di tengah hutan bisa fatal."

Satrio terdiam sesaat, merasakan beratnya kekhawatiran dari teman-temannya. "Aku nggak gegabah, kok. Setiap langkah bakal aku pertimbangkan."

Rio menghela napas, menunduk sejenak sebelum menatap Satrio lagi. "Oke, kita tau kamu itu keras kepala. Kalau udah mutusin, susah buat batalin. Tapi gue cuma minta satu hal, Tri—tolong, hati-hati di sana. Jangan anggap remeh alam liar. Hutan tropis itu kejam buat yang belum siap."

Satrio tersenyum tipis, menepuk bahu Rio. "Aku nggak akan lupa pesan itu, Rio. Aku bakal lebih hati-hati dari biasanya."

Rio hanya mengangguk pelan, tapi jelas masih ada rasa khawatir yang belum hilang dari wajahnya.

Satrio bangkit dari kursinya, memandangi teman-temannya satu per satu, membuat mereka semua ikut berdiri. Mereka paham jika akan ada tugas yang hendak diberikan kepada mereka dari kapten Tim ini. "Gilang, aku minta kamu siap sedia. Aku bakal kirim laporan langsung dari lapangan, jadi tolong pastiin kamu terus siaga. Kalau ada apa-apa, kamu orang pertama yang bakal aku hubungi."

Gilang mengangguk tegas. "Tenang aja, aku bakal mantau terus. Kalau ada info baru dari prasasti atau teks lain yang bisa bantu, langsung aku kabarin."

Satrio lalu menoleh ke Bayu. "Bay, kamu yang paling ngerti soal obat-obatan. Aku butuh persiapan khusus. Antisipasi gigitan ular, penyakit tropis, atau cedera lain yang mungkin aku alami di sana."

Bayu mengangguk sambil berpikir. "Aku bakal siapin kit lengkap. Anti-bisa, salep luka, dan vitamin buat jaga kondisi tubuhmu agar tetap prima. Jangan khawatir."

Akhirnya, pandangan Satrio beralih ke Rio. "Rio, aku butuh kamu untuk pelajari lebih lanjut tentang Gunung Niuts. Peta, rute aman, dan apa aja yang bisa kita temuin di hutan. Semakin banyak informasi, semakin kecil kemungkinan gue nyasar atau kena bahaya."

Rio tersenyum tipis, meski jelas masih khawatir. "Siap, aku bakal cari data secepat mungkin. Aku pastikan kamu ngga akan nyasar, Tri. Kalau masih sanyar juga, aku ngga akan memaafkanmu."

Satrio tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. "Santai aja, aku nggak kemana-mana."

Mereka semua berdiri, bersiap untuk berpisah. Sebelum benar-benar pergi, Satrio mengulurkan tangan dengan gestur yang sudah menjadi ciri khas tim mereka. Sebuah salam khusus yang mereka ciptakan setelah bertahun-tahun bekerja bersama.

Gilang, Rio, dan Bayu menyambut salam itu, tangan mereka bertemu dalam ikatan persahabatan yang kuat. "Tetap kompak, apapun yang terjadi," Satrio berkata dengan nada serius.

"Selalu," jawab Rio, diikuti senyuman setuju dari Gilang dan Bayu.

Setelah itu, mereka saling berpamitan, dan satu per satu meninggalkan kafe. Satrio menatap mereka pergi, merasa bersyukur punya tim yang begitu solid. Meski dia akan pergi sendiri, dia tahu dukungan mereka selalu ada di belakangnya.

1
Muslimah 123
1😇
Delita bae
salam kenal jika berkenan mampir juga👋👍🙏
Delita bae: iya , mksh semangat ya 😇💪👍🙏
Msdella: salam kenal kak.. wih banyak karyanya kak.. nnti aku baca juga kak
total 2 replies
miilieaa
haloo kak ..sampai sini ceritanya bagus kak
lanjut nanti yah
Msdella: Hallo.. Terima kasih kak.. Siap, kak. nanti saya update sampe tamat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!