Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Kejutan di Tengah Kesibukan
Proyek di Tanah Abang memasuki tahap yang semakin menuntut perhatian penuh dari semua pihak. Jadwal semakin padat, tekanan dari pihak manajemen meningkat, dan para pekerja mulai merasakan kelelahan. Meski begitu, Raka tetap berusaha menjalani harinya dengan kepala tegak, menjaga agar setiap tugas berjalan dengan lancar.
Pagi itu, Raka baru saja tiba di lokasi proyek saat ia mendapati pesan dari Pak Hasan. Pesan itu singkat, tetapi cukup membuatnya bingung:
*"Raka, nanti temui saya di ruang kontrol. Ada sesuatu yang perlu kita bahas."*
Raka segera berjalan menuju ruang kontrol, bertanya-tanya apa yang akan dibahas. Ketika ia sampai, Pak Hasan sudah menunggunya bersama seorang pria berjas yang tampak asing bagi Raka.
“Raka, kenalkan, ini Pak Rendi dari tim manajemen pusat,” kata Pak Hasan sambil menunjuk pria tersebut.
Raka menjabat tangan Pak Rendi, yang tampak memperhatikannya dengan senyum tipis.
“Senang bertemu dengan Anda, Raka. Saya sudah mendengar banyak tentang Anda dari Pak Hasan,” katanya.
Raka hanya mengangguk, masih tidak yakin ke mana arah pembicaraan ini.
“Raka,” lanjut Pak Hasan, “Pak Rendi di sini karena ada beberapa perubahan penting di proyek ini. Manajemen pusat memutuskan untuk mempercepat timeline pembangunan. Itu berarti kita harus bekerja lebih cepat dari jadwal yang sudah ada.”
Perkataan itu seperti petir di siang bolong bagi Raka. Mempercepat timeline berarti tekanan yang lebih besar, lebih banyak masalah yang mungkin muncul, dan risiko yang lebih tinggi.
“Tapi, Pak, bukankah ini berisiko?” tanya Raka, mencoba menahan kekhawatirannya.
“Benar,” jawab Pak Rendi, “tapi kami percaya bahwa dengan tim yang ada sekarang, termasuk Anda, hal ini bisa dilakukan. Anda akan diberi lebih banyak tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap sektor bekerja sesuai target baru.”
---
**Tantangan Baru**
Setelah pertemuan itu, Raka merasa pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Proyek yang sebelumnya sudah cukup berat kini terasa seperti beban yang hampir tidak mungkin diselesaikan. Ia menghabiskan hari itu dengan berjalan dari satu sektor ke sektor lain, memastikan semua pekerja memahami perubahan jadwal yang baru.
Namun, respons dari tim tidak semuanya positif. Beberapa pekerja mulai mengeluh, merasa bahwa tekanan ini terlalu besar.
“Mas, ini udah berat banget kerja di sini,” kata seorang pekerja bernama Udin. “Kalau ditambahin tekanan kayak gini, saya nggak yakin kita semua bisa bertahan.”
Raka mengerti kekhawatiran itu. Ia sendiri merasa tekanan ini tidak adil, tetapi ia tidak punya pilihan selain menjalankan perintah.
“Pak Udin, saya paham ini berat. Tapi kita semua ada di sini untuk satu tujuan—menyelesaikan proyek ini dengan baik. Kalau ada masalah, lapor ke saya. Saya akan bantu semampu saya,” jawab Raka dengan nada serius.
Udin mengangguk, meski wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran.
---
**Kejutan yang Tidak Terduga**
Di tengah hari yang sibuk itu, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Saat Raka sedang mengawasi pemasangan lantai di sektor enam, seseorang memanggilnya dari belakang.
“Raka?”
Suara itu membuat Raka menoleh. Ia langsung terkejut melihat sosok yang berdiri di depannya—Nadia, teman masa kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.
“Nadia?” Raka hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Iya, ini aku,” jawab Nadia sambil tersenyum lebar. “Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini.”
Raka mengusap matanya seolah memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Nadia tampak berbeda dari terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya kini lebih panjang, dan ia terlihat jauh lebih dewasa.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Raka setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.
“Aku sekarang kerja di perusahaan supplier material. Kebetulan, perusahaan kami yang memasok bahan untuk proyek ini,” jawab Nadia.
Raka tersenyum. Dunia memang kecil. Siapa sangka, di tengah kesibukannya di Jakarta, ia akan bertemu kembali dengan Nadia.
---
**Percakapan yang Menghidupkan Kenangan**
Setelah pekerjaan selesai, Raka dan Nadia memutuskan untuk duduk di warung kopi kecil dekat proyek. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari masa kecil mereka hingga apa yang terjadi selama bertahun-tahun mereka tidak bertemu.
“Kamu masih inget nggak, waktu kecil kita sering main layangan di lapangan belakang rumah?” tanya Nadia sambil tertawa kecil.
“Mana bisa lupa. Kamu selalu marah-marah kalau layanganmu putus,” balas Raka sambil ikut tertawa.
Momen itu membuat Raka merasa sejenak lupa dengan segala tekanan yang ia rasakan. Ia menyadari bahwa di tengah kerasnya Jakarta, ada hal-hal kecil seperti ini yang bisa membuat hidup terasa lebih ringan.
Namun, obrolan mereka juga mengingatkan Raka pada satu hal—mimpinya yang selama ini ia kejar di Jakarta. Pertemuan dengan Nadia seperti sebuah pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang hubungan dengan orang-orang di sekitar kita.
---
**Kesimpulan di Malam Hari**
Malam itu, setelah kembali ke kosannya, Raka merenung. Pertemuan dengan Nadia membuatnya merasa bahwa hidupnya tidak sepenuhnya tentang tekanan dan kesibukan. Ada sisi lain dari hidup yang harus ia jaga, seperti hubungan dengan teman lama dan momen-momen kecil yang membawa kebahagiaan.
Namun, ia juga tahu bahwa tantangan besar di proyek ini belum selesai. Dengan timeline baru yang lebih ketat dan tekanan yang semakin besar, ia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi hari-hari yang lebih berat.
Raka menatap jendela kecil di kamarnya, melihat lampu-lampu kota yang masih menyala terang. Ia tahu, seperti lampu-lampu itu, ia harus tetap menyala di tengah gelapnya tantangan yang menghadang.
“Gue nggak akan mundur,” bisiknya. “Apapun yang terjadi, gue akan terus maju.”
Dengan tekad yang baru, Raka menutup matanya, berharap esok akan membawa kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi semuanya.
Setelah pertemuan dengan Nadia, hari-hari Raka terasa sedikit lebih berwarna meskipun tantangan di proyek semakin berat.
Percakapan dengan teman lamanya itu membawa secercah kebahagiaan di tengah kesibukan yang melelahkan. Namun, ia sadar bahwa perasaan lega itu tidak bisa bertahan lama. Proyek ini tetap menjadi prioritas utama, dan ia harus kembali fokus.
Keesokan paginya, ketika ia baru saja tiba di lokasi proyek, Raka mendapatkan laporan dari tim pengawas bahwa salah satu alat berat mengalami kerusakan. Insiden itu menyebabkan keterlambatan pekerjaan di salah satu sektor utama, yang kebetulan memiliki jadwal paling ketat.
“Bang, excavator-nya mati mendadak. Kita udah coba benerin, tapi butuh teknisi dari luar buat ngecek mesinnya,” kata Dimas, salah seorang pengawas lapangan.
“Teknisinya kapan datang?” tanya Raka sambil memeriksa daftar pekerjaan.
“Katanya baru bisa sore ini, Bang. Kalau harus nunggu, pasti bakal mundur jauh dari target harian,” jawab Dimas dengan nada cemas.
Raka menghela napas panjang. Situasi ini adalah sesuatu yang ia khawatirkan sejak timeline baru diumumkan. Satu masalah kecil saja bisa berdampak besar pada keseluruhan proyek.
“Baik, sementara kita tunggu teknisi, fokuskan tenaga kerja ke sektor lain. Jangan sampai waktu terbuang percuma. Saya akan coba cari alternatif lain untuk mempercepat pekerjaan di sini,” ujar Raka, berusaha tetap tenang meskipun pikirannya dipenuhi rasa khawatir.
**Tekanan dari Atas dan Bawah**
Masalah di lapangan bukan satu-satunya hal yang menguji mental Raka hari itu. Siang harinya, ia menerima panggilan dari pihak manajemen pusat.
“Raka, kami dengar ada keterlambatan di sektor enam. Apa yang terjadi?” suara di ujung telepon terdengar tegas, bahkan sedikit menyudutkan.
Raka menjelaskan dengan singkat tentang kerusakan alat berat dan langkah-langkah yang telah diambil untuk meminimalisir dampaknya. Namun, tanggapan dari pihak manajemen tidak seperti yang ia harapkan.
“Kita tidak bisa terus-menerus menghadapi masalah seperti ini tanpa solusi konkret. Anda harus lebih proaktif. Kalau perlu, cari cadangan alat berat dari tempat lain. Jangan hanya bergantung pada teknisi,” ujar suara itu sebelum menutup panggilan tanpa menunggu jawaban.
Panggilan itu membuat kepala Raka semakin berat. Ia merasa seperti berada di antara dua sisi yang saling bertentangan—manajemen yang terus menekan dari atas, dan para pekerja di lapangan yang semakin lelah dengan tekanan di bawah.
Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus tetap mencari solusi, tidak peduli seberapa sulit situasinya.
**Nadia dan Solusi Tak Terduga**
Di sore yang sama, ketika Raka sedang memutar otak mencari solusi untuk masalah alat berat, Nadia tiba-tiba muncul di lokasi proyek. Ia membawa dokumen untuk diserahkan ke bagian logistik, tetapi matanya segera menangkap wajah Raka yang terlihat lebih kusut dari biasanya.
“Raka, kamu kelihatan capek banget. Ada apa?” tanya Nadia sambil mendekatinya.
Raka tersenyum lemah. “Ah, biasa. Masalah proyek. Alat berat rusak, teknisi datangnya lama, dan sekarang manajemen minta solusi cepat. Padahal, nggak semudah itu.”
Nadia mengangguk pelan, lalu berpikir sejenak. “Kamu udah coba hubungi penyedia alat berat lainnya? Kadang mereka punya unit cadangan yang bisa dipinjam sementara.”
Raka terdiam. Ide itu belum sempat terpikirkan olehnya karena ia terlalu sibuk mengurusi detail teknis di lapangan.
“Kamu kenal penyedia alat berat?” tanya Raka, matanya mulai menunjukkan sedikit harapan.
Nadia tersenyum kecil.
“Kebetulan perusahaan tempatku kerja sering berurusan dengan mereka. Aku bisa coba tanya. Kalau ada yang tersedia, aku langsung kabari kamu.”
“Serius, Nad? Itu bakal sangat membantu,” kata Raka dengan nada penuh terima kasih.
Nadia mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya. Beberapa menit kemudian, ia berhasil menghubungi seorang kontak yang ternyata memiliki unit cadangan di lokasi tidak terlalu jauh dari proyek. Dalam waktu kurang dari dua jam, alat berat itu sudah tiba dan langsung digunakan untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
**Pelajaran tentang Kerja Sama**
Malam itu, Raka duduk di kantornya, memeriksa laporan harian sambil merenungkan apa yang terjadi. Bantuan dari Nadia adalah pengingat bahwa tidak semua hal harus ia tanggung sendiri. Ada kalanya ia perlu melibatkan orang lain dan percaya bahwa bantuan itu bisa datang dari arah yang tidak terduga.
Ia tersenyum kecil, mengingat bagaimana Nadia dengan cepat membantu menyelesaikan masalah yang awalnya terasa begitu besar.
“Hidup ini memang keras, tapi kadang kita cuma perlu percaya sama orang lain,” gumamnya sambil menatap ke luar jendela.
Raka tahu, tantangan besar masih menunggunya. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi semuanya. Dengan dukungan yang tepat, ia yakin mampu menyelesaikan proyek ini, meskipun jalan yang harus ia tempuh masih panjang dan penuh rintangan.
Malam itu, Raka menutup hari dengan perasaan sedikit lebih ringan, siap untuk menghadapi tantangan baru di esok hari.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)