Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Masih terekam jelas di benak Fina, seorang dokter bedah dengan jam terbang tinggi, saat dirinya memimpin operasi salah satu pasiennya bernama Dina, yang harus melahirkan dengan operasi caesar. Saat Dina tiba dirumah sakit, tubuhnya tampak lemah dan tak berdaya.
Saat dia memulai, dan bagian tubuh Dina terbuka untuk operasi, mata Fina membelalak. Di balik gaun operasi, kulit Dina penuh lebam, memar berwarna ungu pekat, seperti bekas kekerasan yang lama disembunyikan.
Fina tak bisa menahan detak jantungnya yang mendadak berdebar kencang. Ada luka yang lebih dalam di balik kulit Dina—luka yang tak hanya bisa diobati dengan obat-obatan. Pikirannya berkecamuk, haruskan ia diam? Namun, insting keadilannya lebih kuat dari rasa takutnya.
Setelah operasi selesai dan Dina dibawa ke ruang pemulihan, Fina tahu apa yang harus dilakukan. Di balik diamnya, ia menyalakan telepon genggamnya dan menghubungi pihak berwenang. Ia melaporkan apa yang dilihatnya, tak peduli risikonya. Namun, ia tidak tahu bahwa tindakan berani ini akan mengubah hidupnya dalam hitungan hari.
Ronny, suami Dina, berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan berpengaruh. Namanya dikenal di banyak kalangan, dan kekuasaan yang dimilikinya cukup untuk menutupi segala kebenaran. Begitu laporan itu sampai ke polisi, kabar tersebut dengan cepat kembali ke telinga Ronny. Dalam hitungan jam, Ronny menghubungi direktur rumah sakit. Sebuah percakapan yang hanya berlangsung beberapa menit itu cukup untuk mengubah nasib Fina.
“Kau sudah melewati batas,” ucap direktur itu dingin, tatapan matanya tajam menusuk, seolah tak ada ruang untuk penjelasan. “Kamu dipecat, efektif per hari ini.”
Fina terpaku. Kata-kata itu menggema di kepalanya, lebih keras dari sirene ambulans yang biasa ia dengar setiap hari. "Apa maksudnya, Dok?" suaranya pecah, tak percaya.
"Kau sudah tahu alasannya. Pak Ronny mengetahui seseorang telah melaporkan sesuatu ke polisi. Dan itu menyangkut nama baiknya dan juga keluarganya. Kau tahu kan kalau keluarganya memiliki pengaruh yang cukup besar. Aku tidak punya pilihan selain memecatmu" ujar direktur itu, suaranya terdengar berat namun tak ada tanda belas kasihan di matanya.
Fina berontak. “Tapi ini tidak adil! Aku melaporkan karena ini masalah kemanusiaan. Dina—dia—dia dianiaya! Apa kalian akan menutup mata dengan kejadian ini? Aku yakin jika pelakunya adalah suaminya sendiri!!!”
"Tuduhanmu itu tidak memiliki bukti. Bagaimana kau bisa begitu yakin pelakunya adalah suaminya, kau tidak berpikir jika kau bisa saja dituduh melakukan pencemaran nama baik!!!" teriak direktur rumah sakit.
Direktur rumah sakit itu menggeleng, tanpa sedikitpun menunjukkan empati. Keputusan sudah bulat, tak bisa diubah. Fina resmi dipecat dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Fina keluar dari ruangan direktur, menahan getar di lututnya yang lemah. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena marah. Langkah kakinya gemetar saat dirinya melangkah menuju ruangannya sendiri. Dengan tangis tertahan, Fina mengemas barang-barangnya. Ia tahu, meski kebenaran ada di pihaknya, kekuasaan sering kali lebih besar dari kebenaran itu sendiri. Tapi dalam hatinya, meski kalah, ia tak menyesal. Ia memilih untuk melindungi seorang wanita yang mungkin tak bisa melindungi dirinya sendiri, meski harus kehilangan segalanya.
****
Selang beberapa hari kemudian,
Dina duduk di sudut kamar, memeluk putranya yang baru lahir dengan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang ibu. Bau harum bayi yang lembut dan suara napas kecil di dadanya sejenak menenangkan kegelisahan hatinya. Namun, semua ketenangan itu seolah hancur berantakan ketika Ronny, suaminya, tanpa perasaan menyerahkan selembar surat di depannya. Surat cerai. Surat itu bagai pukulan keras yang tak terduga, menghantam hati Dina lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan.
Wajah Dina pucat. Matanya menelusuri tulisan kaku yang ada di kertas tersebut, dan lebih parah lagi, di sana tertera bahwa hak asuh putra mereka diberikan sepenuhnya kepada Ronny. Hatinya mencelos, seperti ada jurang yang tiba-tiba terbuka di bawah kakinya.
“Ini... apa maksudmu, Ronny?” suaranya bergetar, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Ronny hanya memandangnya datar. Wajah pria yang dulu pernah ia cintai itu kini berubah begitu dingin, hampir asing. "Tandatangani saja. Semakin cepat selesai, semakin baik," katanya tanpa sedikit pun keraguan.
Dina menggelengkan kepalanya, matanya mulai memerah, tapi bukan karena kelemahan—melainkan kemarahan yang perlahan menyala. "Aku tidak akan menyerahkan anakku padamu. Apalagi setelah semua yang kau lakukan!" katanya dengan suara yang mulai meninggi.
Ronny menyeringai kecil, sinis. "Ini bukan soal dirimu, Dina. Hak asuh sudah aku atur. Anak kita akan lebih baik bersamaku."
Dan di saat itulah, luka itu terbuka lebih dalam. Dina baru saja melahirkan, tubuhnya masih lemah, emosinya rapuh, namun pengkhianatan itu tak terelakkan. Tari—sahabatnya, seseorang yang selama ini ia percaya seperti saudara—ternyata berselingkuh dengan Ronny di belakangnya. Seketika rasa sakit itu berubah menjadi dendam yang tak terbendung.
“Aku tahu tentang kau dan Tari,” bisik Dina, suaranya sarat dengan kekecewaan yang tajam. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja setelah kau menghancurkan semuanya?"
Ronny tertawa kecil, seolah apa yang baru saja dikatakan Dina hanyalah lelucon murahan. “Kau anak yatim piatu, Dina. Kau tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu? Siapa yang akan memihak padamu?” katanya dengan ejekan yang menusuk.
Tapi Dina tak gentar. Matanya menatap Ronny dengan api yang baru menyala. “Aku memang tidak punya keluarga kandung, tapi aku tahu papa mertuaku mencintaiku seperti anaknya sendiri. Beritahu dia tentang ini, Ronny. Aku ingin melihat bagaimana dia bereaksi setelah tahu apa yang sudah kamu lakukan.”
Wajah Ronny yang tadinya tenang berubah seketika. Matanya menyipit, dan dia mendekatkan wajahnya ke Dina. “Papa tidak akan peduli soal ini,” katanya dengan suara rendah dan dingin. Tapi ada sedikit keraguan di sana, sedikit kilatan di matanya yang menandakan bahwa Dina mungkin telah menyentuh titik lemahnya.
Dina menggenggam putranya lebih erat, perlahan berdiri meski tubuhnya masih terasa lemah. “Kita lihat saja nanti,” ujarnya tegas. “Aku tidak akan menyerah. Bukan padamu, bukan pada Tari, dan bukan pada siapa pun.”
Dina berdiri di tengah ruangan, wajahnya berapi-api ketika melihat Tari yang tersenyum sinis yang jelas-jelas menantang. "Tari," suaranya tajam, "apa kau sudah merasa cukup bangga merebut suamiku? Wanita murahan sepertimu hanya tahu menghancurkan kebahagiaan orang lain!"
Tari terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar, seolah mendapat hiburan dari kemarahan Dina. “Kau seharusnya berterima kasih, Dina. Kini Ronny bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa kau berikan. Toh, kau hanya seorang perempuan yang tak berharga.”
Dina merasa darahnya mendidih. Kata-kata Tari itu seperti sembilu yang menghujam tepat di jantungnya. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan serangannya, Ronny menginterupsi dengan tindakan yang lebih brutal. Dalam sekejap, telapak tangan Ronny menghantam pipi Dina, suara tamparan itu menggema di ruangan, menandai seolah dunia terhenti sejenak.
“Cukup, Dina!” teriak Ronny, suaranya dipenuhi kemarahan. “Tandatangani surat ini, atau aku tidak segan-segan melakukan lebih jauh!”
Dina terhuyung, merasakan panas dan perih di wajahnya, namun semangatnya tidak padam. Dia tidak akan menyerah. “Aku tidak akan menyerahkan Gio!” teriaknya, suaranya penuh ketegasan. “Dia adalah anakku! Lebih berharga daripada apapun bagiku!”
Ronny maju, tidak mau kalah. Dia mengarahkan pandangannya ke ajudannya, dan dalam sekejap, dua pria berjas rapi mendekat. “Ambil Gio!” perintahnya tegas, matanya membara dengan ancaman. “Bawa dia kemari. Jangan biarkan wanita busuk ini membawa anakku.”
Dina melihat ke arah baby sitter yang berdiri cemas di sudut ruangan, dan saat itu juga dia merasakan ketakutan yang mendalam. “Tidak!” teriaknya, melangkah maju dengan berani. “Jangan berani mendekat! Gio adalah anakku!”
Dina meronta, berjuang melawan pegangan dua pria itu yang berusaha merebut Gio darinya. Jeritan penuh emosi memenuhi ruangan, saat Dina berusaha menggenggam putranya yang baru berusia beberapa hari itu. “Gio, sayang! Mama di sini! Mama tidak akan membiarkan mereka membawamu pergi!”
Kepanikan menyelimuti Dina. Meskipun tubuhnya lemah dan bergetar, Dina tidak akan menyerah. Rasa sayangnya kepada Gio melampaui rasa sakit dan rasa takut yang menyerang jiwanya. Baginya, bercerai itu tidak masalah—tapi menyerahkan anaknya? Itu adalah batas yang tidak akan pernah ia lewati.
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.