Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kesalahan satu malam
Calista membuka matanya, dan betapa terkejutnya ia melihat sosok laki-laki yang terbaring di sampingnya, tanpa sehelai baju pun. Hatinya berdegup kencang saat ia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Dengan cepat, ia memeriksa sekeliling ruangan. Ini bukan kamar tidurnya. Semua terasa asing dan menakutkan.
Ketika Calista mengintip tubuhnya dari balik selimut, rasa panik melanda saat ia menyadari bahwa ia pun tidak mengenakan sehelai benang pun. Noda merah yang menghiasi seprai putih di bawahnya menandakan sesuatu yang tak bisa ia elakkan—ia telah kehilangan keperawanan semalam. Air mata mulai mengalir di pipinya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa momen tersebut akan terjadi dengan orang yang tidak ia kenal.
Tangisan Calista membuat laki-laki di sampingnya terbangun. Ia terkejut dan segera menoleh. "Siapa lo?! Ngapain gue semalem?!" teriak Calista, suaranya bergetar penuh emosi.
Laki-laki itu mengernyit, tidak mengerti. "Loh, lo siapa?!" tanyanya, tidak kalah terkejut melihat Calista.
Tangisan Calista semakin keras, menciptakan suasana panik di ruangan. "Stop! Jangan bilang semalam…," kata laki-laki itu, suara serak dan gugup. Dia cepat-cepat melihat ke arah selimut, mencoba mengingat kembali kejadian semalam.
"Ahh, goblok! Bangsat! Kenapa bisa?!" teriaknya, yang membuat Calista semakin ketakutan. "Stop nangisnya! Coba bantu gue inget-inget kejadian semalam kenapa bisa sampai kita kebablasan."
Setelah beberapa saat dalam keheningan, mereka berdua akhirnya mulai mengingat potongan-potongan kejadian semalam. Calista merasa malu setiap kali mengingatnya, tetapi kenyataan tetap tak bisa diabaikan.
"Gue rasa kita sama-sama diobatin," Kenneth—laki-laki itu, berkata, mencoba mencari penjelasan. Namun, Calista hanya menunduk, bingung dengan apa yang harus dikatakan. "Gue Kenneth," katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Calista.
Dengan ragu, Calista membalas uluran tangan Kenneth. "Calista," ujarnya singkat.
"Sorry, gue bener-bener nggak sengaja ngelakuin itu sama lo," kata Kenneth, nada penyesalan jelas terdengar di suaranya.
Calista tiba-tiba menanyakan, "Lo pake pengaman semalam?" Suaranya bergetar, penuh kecemasan.
"Nggak, gue nggak punya pengaman. Dan gue juga bukan orang yang biasanya ngelakuin hal kayak gini," jawab Kenneth, menambahkan rasa sakit di hati Calista.
Tears streamed down Calista’s face again, her regret intensifying. She felt utterly defeated, thinking back to the night she had decided to go out with her friends to the nightclub.
"Stop! Jangan nangis! Gue juga pusing!" Kenneth omel, berusaha menenangkan Calista. Mereka berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Cali, lo bisa tolong hadap ke jendela dulu nggak? Gue mau pakai baju," Kenneth minta, dan Calista segera memalingkan wajahnya, memberi Kenneth sedikit privasi.
Kenneth cepat-cepat mengenakan pakaiannya dan mencari ponselnya untuk melihat jam. Ia beranjak masuk ke kamar mandi untuk sekedar menyegarkan diri.
"Lo mendingan mandi sana dan nanti lo bisa pakai baju gue, karena kayaknya baju lo bau alkohol banget," Kenneth menyarankan, sambil melirik pakaian Calista yang berserakan di lantai.
"Eh, nggak usah deh," Calista menolak, ragu-ragu.
"Jangan takut, gue nggak akan kabur. Ini jaminannya," Kenneth menepuk saku celananya, menunjukkan ponsel dan KTP-nya. "Lagipula masih ada hal yang mau gue omongin sama lo."
Setelah Kenneth meninggalkan kamar, Calista segera turun dari kasur. Dengan hati-hati, ia mengambil pakaiannya yang berserakan dan masuk ke kamar mandi. Mandi terasa menyegarkan, meskipun dia merasakan sedikit perih di bagian bawahnya.
Setelah selesai mandi, Calista mengenakan baju Kenneth yang ternyata jauh lebih besar untuknya, namun terasa nyaman. Dia merasa aneh mengenakan pakaian orang lain, tetapi itu lebih baik daripada baju yang masih tercium bau alkohol.
"Nanti gue kasih lo nomor handphone sama sosmed gue, jadi lo bisa foto KTP gue buat jaga-jaga," Kenneth berkata begitu kembali.
"Iya," jawab Calista singkat, merasa sedikit lebih tenang.
"Nanti lo pulang kemana? Biar gue anterin," tanya Kenneth dengan penuh perhatian.
"Gak usah, makasih. Gue naik ojek online aja," tolak Calista, berusaha menjaga jarak.
"Gue bukan orang jahat. Gue udah mesen hotel ini dari dua hari yang lalu karena mau cari suasana tenang. Dan gue sama sekali nggak berniat ngelakuin hal kotor kaya gini," Kenneth menjelaskan, seakan mengerti ketakutan Calista.
"Gue juga baru pertama kali ngelakuin hal ini sama lo, dan gue rasa lo juga baru pertama kali, kan? Gue liat ada noda darah di kasur," lanjutnya, menekankan bahwa ini adalah kesalahan bersama.
"Gue nggak anggap lo orang jahat. Ini murni kecelakaan," Calista menjelaskan, dan Kenneth mengangguk mengerti.
"Lo nggak perlu takut. Gue akan tanggung jawab kalau misalnya lo hamil," kata Kenneth, dan itu membuat Calista merasa lebih lesu.
"Btw, lo umur berapa?" tanya Calista, ingin tahu lebih banyak tentang Kenneth.
"Gue 21, kalau lo?" Kenneth balik bertanya.
"21," jawab Calista.
Mereka terus mengobrol, mencoba meredakan kecanggungan. Kenneth membuka percakapan dengan cerita tentang kuliahnya, Calista juga berbagi tentang kuliahnya di jurusan bahasa Inggris.
"Jadi, lo kuliah di mana?" tanya Kenneth, antusias.
"Di Universitas XYZ," jawab Calista. "Gue baru tahun kedua. Awalnya, gue nggak nyangka bakal berurusan dengan bahasa Inggris, tapi ternyata seru."
Obrolan mereka mengalir, membawa sedikit kelegaan di tengah situasi yang canggung. Mereka mulai saling mengenal, mengungkapkan mimpi dan harapan masing-masing, meskipun di tengah bayang-bayang kesalahan besar yang mereka buat semalam.
"Jadi, setelah ini, ada rencana apa?" tanya Kenneth, ingin tahu lebih jauh.
"Gue mau fokus sama kuliah dan nyari kerja sambilan. Gak mau terjebak dalam masalah lagi," jawab Calista.
"Good plan. Gue percaya lo bisa!" Kenneth memberikan dukungan, dan Calista merasakan semangat baru.
Setelah berbincang cukup lama, saatnya bagi Calista untuk pulang. Dia sudah mempersiapkan diri, meskipun ketidakpastian masih menghantuinya. Kenneth berjanji akan menghubunginya setelah semuanya reda, dan mereka berdua berharap bisa mengatasi situasi ini dengan bijak.
"Jaga diri baik-baik, Calista," ucap Kenneth saat mereka berpisah. Calista mengangguk, merasa campur aduk antara rasa takut dan harapan.
Sebagai langkah pertama, Calista meninggalkan hotel itu dengan tekad untuk melanjutkan hidupnya. Momen semalam adalah pelajaran berharga, dan ia bertekad untuk tidak membiarkan hal itu mendefinisikan dirinya.