Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Aerin menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Semua orang terus menatapnya hingga ia merasa canggung. Gadis itu tersenyum kikuk.
"A ... aku tidak tahu apa-apa," katanya merasa tidak enak karena semua orang menatapnya.
"Sudah-sudah." timpal dokter Ditha.
"Kalian tidak perlu seperti itu. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik satu sama lain."
Sang wakil direktur itu menatap mereka semua bergantian.
"Itu saja, kalian bisa keluar sekarang." kata dokter Ditha.
Aerin memutuskan keluar lebih dulu dari antara mereka semua, karena dia yang paling dekat dengan pintu keluar. Andrea mengikutinya dari belakang.
Pandangan Andrea fokus pada dua perawat yang bersama mereka diruangan tadi. keduanya tengah berbisik-bisik. Bisikan mereka cukup kuat hingga sampai ke telinganya. Andrea menggeram kesal lalu berbalik menegur mereka. Itu karena mereka sedang bergosip membawa-bawa nama Aerin.
"Apa kalian dibayar kerja di sini hanya untuk bergosip? Kerjakan saja tugas kalian dan jangan pedulikan hidup orang lain!" teguran tegas itu jelas membuat sih dua perawat terdiam. Mereka malu karena disitu juga masih ada Anson dan Logan. Dimarahi seperti itu tentu saja membuat mereka sangat malu. Setelah menunduk hormat ke para dokter yang lain termasuk Aerin dan Andrea, mereka lalu cepat-cepat pergi dari situ.
Aerin sendiri merasa kurang enak.
"Harusnya kau biarkan saja mereka Dre." gumamnya pelan. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Andrea melotot, ia sudah membela gadis itu, tapi apa yang dia dapat? Biarkan saja?
Ck, dia sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Aerin.
"Mereka sudah keterlaluan Rin, aku tidak tahan melihatnya." balasnya.
"Mereka memang benar," timpal Logan.
"Kalau jadi mereka, aku juga tidak akan senang ada yang masuk tim karena nepotisme." perkataan itu amat dingin dan menusuk. Logan sudah berdiri di sebelah Aerin, menatapnya sebentar dengan tatapan merendahkan kemudian berlalu pergi meninggalkan mereka.
"Kenapa lagi dengannya?" Andrea menggeleng-geleng menatapi kepergian Logan. Ia tidak menyadari Anson tengah berdiri di depan dia dan Aerin.
Anson menatap mereka bergantian. Raut wajahnya selalu sama, flat. Tapi dibanding Logan, Anson jauh lebih pandai mengatur emosinya dan lebih dewasa. Lelaki itu jauh lebih profesional, bisa membedakan pekerjaan dan masalah pribadi. Aerin mengakuinya. Karena menurutnya, Anson pasti lebih membencinya dibanding kebencian Logan terhadapnya.
Entah kenapa Aerin merasa dia dan Anson masih punya banyak hal di masa lalu yang belum selesai. Tapi ya sudahlah, ia tidak perlu mengungkit kisah lama lagi. Itu hanyalah masa lalu.
"Besok segera pindah ke bangsal VVIP." kata Anson datar. Andrea dan Aerin mengangguk.
Aerin sudah pasrah. Sebagai seorang dokter biasa yang hanya bawahan, dia tidak bisa bertingkah seenaknya bukan? Ia merasa dirinya tak ada pilihan lain sekarang. Kalau berhenti dari pekerjaan, bagaimana ia akan menghidupi kehidupannya sehari-hari? Jadi pilihan terbaiknya sekarang adalah bekerja saja terus meski harus satu tim dengan Anson dan Logan yang amat memusuhinya itu.
***
Malam harinya Aerin memutuskan langsung pulang setelah shift malamnya berakhir. Ia melirik jam tangannya. Lalu mendesah berat. Ternyata sudah jam sebelas lewat. Dengan cepat diambilnya ponsel dari dalam tasnya dan memesan taksi online.
Gadis itu meringis pelan karena baru mengetahui ternyata hpnya lowbat. Kalau menunggu mengisi daya akan lama. Ya sudah, naik bus saja. Kebetulan di depan rumah sakit itu ada halte, gampang saja dia pulang. Biasanya masih ada bus sampai jam segini.
Aerin melangkah keluar dengan berjalan santai. Sesekali ia akan menunduk hormat pada beberapa dokter yang berpapasan dengannya, sebaliknya para pekerja kecil di rumah sakit itu seperti tukang bersih-bersih atau satpam akan menyapanya hormat ketika melihatnya.
Aerin tersenyum. Setidaknya masih ada orang-orang seperti itu yang menghargainya di gedung besar ini. Walaupun pekerjaan mereka sering dianggap remeh oleh banyak orang, di mata Aerin semua pekerjaan sama saja. Semuanya sama-sama bekerja keras supaya bisa hidup bukan? Jadi tidak perlu membeda-bedakan status sosial.
Aerin selalu tersenyum meski kehidupannya sebenarnya sangat rumit dan banyak yang meremehkannya. Tapi tidak apa-apa, semuanya akan berlalu. Papa dan mamanya pun sampai sekarang tidak pernah mengusirnya dari rumah. Artinya mereka masih peduli padanya bukan? gadis itu menghela nafas, kalau saja kakaknya masih ada, ia akan sangat senang karena punya tempat untuk berbagi keluh kesahnya. Memang kakaknya yang paling mengerti dia.
Jauh di depan sana ada Anson yang terus mengamati Aerin. Ia hendak pulang namun entah kenapa ketika melihat gadis itu berdiri di lobby rumah sakit ia jadi tertarik memperhatikannya.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu dan sudah tiga belas tahun mereka tidak bertemu, akhirnya hari ini ia dipertemukan dengan gadis itu lagi. Pandangannya masih sama. Aerin tetap Aerin yang dulu, selalu mendapatkan predikat buruk dari orang-orang.
Anson tidak paham kenapa, tapi Aerin sudah seperti seorang artis yang selalu menjadi bahan gosip di rumah sakit. bagus kalau gosip itu baik, mirisnya semua gosip tentangnya buruk. Apa gadis itu kena karma?
Anson tertawa kecil setengah mendengus.
Tunggu, Anson mengernyitkan mata.
Mau kemana dia? Lelaki itu menjalankan mobilnya perlahan-lahan mengikuti langkah Aerin yang entah mau berjalan kemana itu.
Oh halte
Ternyata gadis itu mau menunggu bus. Cukup lama Aerin menunggu sampai sebuah bus berhenti di depan Aerin dan gadis itu masuk. Tak lama setelah itu pria itu ikut menghilang dari tempat itu.
________________
Entah sudah berapa lama Aerin tidak pernah naik bus. Ia merasakan suasana yang berbeda. Entah kenapa ia selalu sangat menikmati pemandangan kota malam dari dalam kendaraan itu.
Malam hari, biasanya tidak begitu banyak penumpang. Malah bisa dihitung dengan jari, jadi membuat Aerin merasa lebih leluasa.
Mungkin orang-orang yang tahu latarbelakang keluarganya akan merasa aneh kalau melihatnya begitu senang naik kendaraan umum itu tapi ia tidak peduli. Keluarganya mungkin kaya, tapi ia ingat bahwa sejak kejadian di SMA itu, dirinya tumbuh dengan mengandalkan kemampuannya sendiri.
Aerin sudah bekerja sampingan untuk menghidupi dirinya sendiri sampai kuliah. Masuk universitas pun ia hanya mengandalkan beasiswa dari seorang profesor besar yang mengangkatnya menjadi murid.
Aerin terlalu takut untuk meminta uang atau sekedar jajan kepada orangtuanya. Setelah masalah besar yang terjadi di SMA, kedua orangtuanya semakin bersikap sangat dingin dan tidak mau peduli lagi padanya.
Aerin memang tinggal di rumah mewah, sayangnya tidak ada yang tahu kalau sebenarnya ia berusaha sendiri demi mencapai karirnya sebagai dokter seperti sekarang. Ia mau membanggakan orangtuanya.
Namun, bekerja sebagai dokter sepertinya tidak membuat kedua orangtuanya bangga. Aerin tersenyum miris. Mungkin memang mereka sudah tidak menyayanginya lagi sebagai anak.
Bertindak secara impulsif dan sulit mengontrol emosi.
Pendarahan selama Operasi Buruknya sangat beresiko dapat menyebabkan Infeksi setelah operasi . Gumpalan darah yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau masalah paru-paru .
Satu bab buruk dalam hidup itu tidak berarti itu adalah akhir, tetapi itu adalah awal dari babak baru dalam hidupmu..
Namun jika situasinya seperti ini tingkat Lithium yang sangat tinggi dalam darah dapat mengganggu fungsi ginjal dan organ tubuh lainnya jika dikonsumsi berlebihan.